Amerika Serikat Mundur, Legitimasi WHO di Ujung Tanduk?

0

Ilustrasi Donald Trump. Foto: AP News.

Tanggal 7 April 2020, selain diperingati sebagai hari kesehatan dunia, juga dirayakan sebagai ulang tahun World Health Organization (WHO) yang genap berusia 72 tahun. WHO secara konstitusi ditandatangani oleh 61 negara pada tahun 1946, sampai pada akhirnya tanggal 7 April 1948 WHO diresmikan dan berkantor pusat di Swiss. Organisasi ini dibawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang memiliki misi menjaga kesehatan internasional melalui kerja sama internasional. Secara spesifik, WHO dituntut untuk menciptakan kondisi kesehatan di tingkat global dalam kondisi yang sebaik mungkin.

Secara operasional, WHO memiliki World Health Assembly (Majelis Kesehatan Dunia) yang mengadakan pertemuan setiap tahun untuk membahas permasalahan-permasalahan internasional yang berkaitan dengan isu kesehatan. Pertemuan pertama pada tahun 1948, Majelis Kesehatan Dunia membahas permasalahan akan wabah malaria, tuberkolosis, penyakit kelamin, teknik sanitasi, nutrisi, dan kesehatan ibu dan anak yang kemudian menjadi prioritas utama dalam tugas WHO.

Semenjak tahun 1995, WHO meluncurkan laporan kesehatan dunia setiap dua kali dalam setahun. Dalam laporan-laporan tersebut, WHO menggambarkan bagaimana hasil surveinya dalam memperlihatkan perkembangan isu-isu kesehatan tingkat global. WHO juga dianggap sukses dalam mensosialisasikan AIDS, Malaria, Tuberkolosis, dan penyakit cacar. Dengan misi dan capaiannya yang semakin besar tersebut, tidak heran jika anggaran operasional WHO pada tahun 2017 telah menyentuh angka USD 200 juta. 

WHO dan Krisis Legitimasi Global

Institusi internasional memiliki salah satu faktor paling penting dalam mempertahankan kelangsungannya: Legitimasi. Faktor legitimasi menjadi krusial untuk dimiliki oleh seluruh institusi internasional. Dengan legitimasi, sebuah institusi internasional dapat mentrasformasikan legitimasi tersebut menjadi kekuatan, yang dapat memaksa negara-negara mengikuti segala kebijakan atau arahan yang dikeluarkan oleh institusi internasional tersebut.

Legitimasi suatu institusi internasional juga bisa diukur dari seberapa kuat dan mampu insititusi internasional tersebut dalam merespons perbedaan sikap dan pandangan antara negara-negara anggotanya. Salah satu contohnya adalah legitimasi Dewan Keamanan PBB dalam menegaskan pengaruhnya dalam dinamika politik internasional. Kehadiran Dewan Keamanan PBB memberikan prinsip dan norma yang dapat diperjuangkan bersama-sama oleh seluruh negara anggota PBB. Dalam artikel ini, penulis mencoba membahas upaya WHO, sebagai salah satu badan PBB, dalam mempertahankan legitimasinya di publik internasional. WHO mendapat ujian terberat terkait eksistensinya di dunia dalam beberapa bulan terakhir. 

Pada tanggal 11 Maret 2020, Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, menjelaskan tentang wabah virus Covid-19 telah masuk dalam kategori pandemi. Tedros menjelaskan bagaimana perilaku berbagai negara yang belum berbenah secara lebih untuk mencegah penyebaran virus Covid-19. Dirinya, bersama beberapa petinggi WHO, frustrasi dalam mendorong 194 negara anggota menjalankan panduan-panduan pencegahan Covid-19 yang disusun oleh WHO.

Dalam hal ini terdapat penyebab utama mengapa himbauan WHO terkesan tidak dijalankan oleh negara-negara anggotanya, yakni WHO merupakan badan internasional khusus yang berfokus di bidang kesehatan secara global dan dibawah naungan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). WHO bukan institusi internasional yang memiliki kekuatan mengikat selayaknya World Trade Organization (WTO) yang memiliki kekuatan untuk memberi sanksi pada negara-negara anggotanya yang tidak patuh atau melanggar perjanjian. WHO tidak memiliki kekuatan untuk memberikan sanksi atau hukuman kepada negara-negara anggotanya. Terlebih, anggaran per tahun operasional WHO hanya berkisar USD 2 miliar pada tahun 2019. Jumlah tersebut terbilang sangat kecil untuk ukuran badan PBB. 

Pada waktu yang sama, tata dunia global sedang tergoyahkan dengan munculnya gelombang nasionalisme yang mendominasi internal pemerintahan berbagai negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Brazil, dan Filipina. Gelombang nasionalisme ini cenderung melawan semangat-semangat globalisasi seperti ide-ide akan demokrasi, pluralisme, anti diskriminasi etnis, dan lingkungan. Terlebih lagi gelombang-gelombang nasionalisme ini mencoba mereduksi berbagai institusi-institusi internasional yang sebelumnya dipandang sebagai katalis dari globalisasi seperti Uni Eropa, WTO, dan badan-badan PBB.

Pada kasus WHO, organisasi ini dituduh oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, bahwa mereka dianggap terlalu lambat dalam membantu pencegahan penyebaran Covid-19 dan dianggap cenderung mengutamakan Cina sebagai mitra utama dalam mencegah penyebaran Covid-19. Selain itu, beberapa senator Partai Republik Amerika Serikat juga mengatakan hal yang serupa. Senator Marco Rubio menuduh WHO telah bekerja sama dengan Pemerintah Cina untuk saling menutupi kelemahannya masing-masing. Sedangkan Senator Rick Scott menuduh WHO membantu Pemerintah Cina dalam memberikan informasi palsu tentang jumlah korban Covid-19 di Cina. 

The W.H.O. really blew it. For some reason, funded largely by the United States, yet very China centric,” – Donald Trump via akun Twitter-nya pada 7 April 2020.

WHO selama ini dianggap sebagai legitimasi dari Tata Kelola Kesehatan Dunia (Global Health Governance) yang sudah mapan. Namun hari ini, tekanan yang dialami WHO tidak hanya dalam menghadapi pandemi Covid-19 yang dianggap pandemi terbesar semenjak WHO berdiri, namun tekanan terbesar justru muncul dari negara-negara anggotanya sendiri. Tuduhan-tuduhan ini dilancarkan oleh Presiden AS, Donald Trump, beserta beberapa politisi Partai Republik AS terkait netralitas WHO.

Dalam pandemi Covid-19, negara-negara besar memang terkesan tidak menggubris himbauan-himbauan WHO dalam mencegah penyebaran virus Covid-19. Di antaranya adalah Inggris dan Belanda yang justru mengambil sikap dengan menjalankan program Herd Immunity dan kemudian dianggap gagal. Herd Immunity berfokus menciptakan kondisi yang membuat orang dalam suatu lingkungan memiliki imunitas untuk mencegah virus tersebut masuk ke tubuhnya. Setelah menciptakan lingkungan yang berisi orang dengan tingkat kekebalan tinggi, maka virus itu dianggap akan hilang dengan sendirinya.

Bahkan, Swedia justru masih mewacanakan untuk menjalankan program Herd Immunity setelah terbukti gagal diterapkan di Inggris dan Belanda. Kemudian Amerika Serikat juga masih menyibukkan diri dengan konvensi partai-partai politiknya dan masih memilih untuk tidak menutup sekolah-sekolah dan fasilitas umum hingga tanggal 16 Maret 2020. Puncaknya, Amerika Serikat memutuskan untuk tidak lagi memberikan dukungan secara materiel untuk WHO pada tanggal 30 Mei 2020. Negara-negara tersebut memilih untuk menjaga jarak dari institusi internasional seperti WHO. Organisasi ini pun tidak bisa berbuat banyak karena tidak memiliki mekanisme khusus dalam mendisiplinkan negara-negara anggotanya seperti yang dimiliki oleh WTO.

“No one is thinking about reducing the global numbers, only their own. The WHO is a global force, but people aren’t thinking globally.” – Clare Wenham

Wildan Faisol adalah Dosen Prodi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Al Azhar Indonesia.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *