Analisis Justifikasi Serta Praktik Intervensi Libya Pada Tahun 2011 Sebagai Misi Humaniter

0

Peluncuran Rudal Tomahawk dari USS Barry dalam rangka Intervensi Militer AS di Libya. Foto: Wikimedia Commons

Intervesi kemanusiaan telah menjadi salah satu manifestasi kewajiban komunitas internasional dalam menjaga perdamaian global yang signifikan saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari peningkatan tren intervensi, baik secara multilateral atauapun melalui institusi internasional, selama 30 tahun terakhir (Desai, 2014). Namun dari sekian banyak intervensi yang telah dilakukan, Intervensi Libya pada tahun 2011 merupakan salah satu contoh kasus yang cukup menonjol. Hal tersebut dikarenakan terlepas dari operasi yang hanya memakan waktu 7 bulan, intervensi tersebut dinilai mampu membawa hasil akhir yang jelas sehingga seringkali disebut sebagai contoh sukses sebuah intervensi (Daalder dan Stavridis, 2012). Intervensi yang dipimpin negara koalisi NATO tersebut merupakan sebuah usaha kolektif yang dilakukan untuk menanggapi perang sipil yang terjadi di negara tersebut. Setelah ditemukannya beragam pelanggaran hak asasi manusia, Dewan Keamanan PBB pun mengadopsi resolusi 1973 yang mengizinkan pengambilan tindakan kolektif demi menjaga perdamaian (UNSC, 2011). Melalui resolusi tersebut, beberapa aksi berupa embargo persenjataan, larangan berpergian, pembekuan aset, hingga pemberlakuan zona larangan terbang pun dilakukan. Selain usaha-usaha tersebut, serangan juga dilakukan di beberapa titik seperti Benghazi dan Misrata (Adams, 2012). 

Akan tetapi, terlepas dari klaim populer mengenai kesuksesan intervensi tersebut, nyatanya banyak pihak yang masih mempertanyakan keabsahan intervensi tersebut. Umumnya, kritik menekankan bahwa tindakan intervensi tersebut bukanlah sebuah misi kemanusiaan dan hanya didasarkan atas justifikasi kepentingan dan politik. Kritik tersebut umumnya muncul dari keberadaan berbagai motif tersembunyi dibalik pengambilan tindakan intervensi, praktik di lapangan yang bertentangan dengan hukum internasional, hingga dampak pasca-konflik yang jauh lebih buruk dari sebelum konflik. Berangkat dari premis tersebut, maka penulis melihat pentingnya mengevaluasi ulang intervensi Libya pada tahun 2011. Penulis akan menggunakan parameter yang disediakan konsep Just War untuk menentukan keabsahan dari praktik serta justifikasi dari intervensi yang menyebabkan jatuhnya rezim Gaddafi tersebut. 

Kerangka Analisis: Just War

Just War adalah sebuah konsep dalam ilmu hubungan internasional yang berusaha menjelaskan serta menyediakan parameter atas layak atau tidaknya sebuah perang untuk dilakukan. Dengan berlandaskan ajaran agama yang menekankan moralitas, maka semangat utama dari konsep ini sendiri terletak pada premis kemanusiaan (Coverdale, 2004). Konsep ini pada dasarnya terdiri atas dua tema utama: 1) jus ad bellum, justifikasi moral sebelum melakukan perang; dan 2) jus in bello, ketentuan moral saat melakukan perang. Untuk dianggap sebagai hal yang benar, maka praktik sebuah perang harus memenuhi parameter atau prinsip-prinsip dari kedua tema tersebut. 

Terdapat enam parameter utama dalam jus ad bellum yang digunakan untuk menentukan benar atau tidaknya sebuah perang (Wells, 1996). Pertama, alasan yang pantas (just cause). Alasan yang disebut pantas untuk melakukan perang secara paling fundamental adalah alasan untuk mempertahankan diri. Akan tetapi, seiring perkembangan, alasan untuk melindungi hak asasi ataupun tindakan pencegahan turut diklasifikasikan sebagai alasan yang pantas. Kedua, otoritas yang berwenang. Untuk dianggap absah, maka keputusan untuk berperang hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang secara sah berwenang melalui sesuai prosedur yang ada. Ketiga, intensi yang benar. Perang hanya boleh dilakukan untuk memenuhi tujuan awal dan membawa perdamaian. Dalam konteks ini maka intensi untuk mendominasi, balas dendam, atau memenuhi kepentingan semata tidak dapat dibenarkan. Keempat, usaha terakhir. Mengingat kerugian yang dapat disebabkan perang, maka perang hanya boleh dilakukan jika sudah tidak ada pilihan lain yang memungkinkan. Kelima, jaminan keberhasilan Selain kondisi berupa pilihan terakhir, sebuah perang juga hanya boleh dilakukan jika jaminan kesuksesannya untuk membawa perdamaian lebih besar dari risikonya. Keenam, proporsionalitas. Berkaitan dengan parameter sebelumnya, perang yang benar juga seharusnya mampu membawa manfaat yang sama atau lebih besar dari kerugian yang dihasilkan. 

Di sisi lain, jus in bello yang berperan sebagai ketentuan moral saat perang terjadi sendiri memiliki dua prinsip utama. Pertama, prinsip diskriminasi yang menklasifikasikan target serangan. Dalam perang, seluruh warga sipil yang tidak terlibat dalam perang  tidak boleh diserang dalam kondisi apapun. Kedua, prinsip proporsionalitas. Serupa dengan parameter keenam dari jus ad bellum sebelumnya, prinsip proporsionalitas dalam jus in bello juga menekankan pentingnya menimbang atas jumlah kekuatan yang dikerahkan agar tetap berada dalam batasan yang “pantas”. Hal tersebut berarti serangan berlebihan yang dapat mengenai atau membahayakan target non militer tidak diperbolehkan dalam kondisi apapun.  

Intervensi Libya dalam Kacamata Moral Just War

Dalam mengevaluasi kembali intervensi Libya tahun 2011, keenam parameter jus ad bellum akan diaplikasikan untuk menentukan justifikasi negara-negara NATO dalam melakukan operasi tersebut. Pertama, just cause. Secara sekilas, dengan adanya laporan investigasi dari berbagai organisasi yang menyatakan eksistensi korban jiwa, maka dapat dikatakan bahwa dalih eksekusi intervensi untuk melindungi masyarakat Libya dari kejahatan humaniter nyata adanya. Akan tetapi, menurut penulis, poin penting yang harus digarisbawahi adalah mengenai data dan statistik yang ada di lapangan. Berdasarkan laporan dari Human Rights Watch, jumlah korban dalam penyerangan Benghazi berjumlah 233 orang dan 257 orang dalam penyerangan Misrata (Human Rights Watch, 2011). Namun dalam beberapa laporan media Barat, jumlah korban dari insiden di Libya tersebut dilaporkan hingga menyentuh angka 2000 korban jiwa (Kuperman, 2013). Selain itu, mengenai klaim adanya kejahatan perang berupa penargetan warga sipil oleh pemerintah, hal ini pun terbukti patut dipertanyakan karena jumlah korban terluka perempuan dan anak-anak di Misrata yang hanya berjumlah 22 dan 8 orang dari 949 orang (Kuperman, 2013). Padahal eskalasi Misrata merupakan konflik militer antara pemerintah dengan pemberontak yang paling sengit. Meskipun tidak menampik probabilita adanya masyarakat sipil di antara 919 laki-laki lainnya, dengan melihat perbandingan populasi laki-laki dengan perempuan yang bernilai 1.06 (CIA World Factbook, n.d.), presentasi korban perempuan seharusnya tetap tidak serendah angka 3 persen jika serangan yang memang ditunjukan kepada warga sipil. Dengan begitu, justifikasi dilakukannya intervensi atas adanya tindak kejahatan perang yang struktural dan masif seharusnya dievaluasi kembali.

Kedua, otoritas yang berwenang. Pengambilan tindakan kolektif berupa intervensi militer atas basis resolusi 1973 Dewan Keamanan PBB dalam kasus intervensi Libya tahun 2011 sebenarnya dapat dikatakan telah memenuhi parameter yang ada. Hal ini didukung oleh mandat utama dari Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga perdamaian, sebagaimana yang tertera dalam Bab 7 Piagam PBB (United Nations, n.d.). Selain itu, dengan berhasilnya adopsi resolusi, maka otorisasi tersebut pun telah dilakukan melalui prosedur yang seharusnya. Maka dari itu, kriteria untuk parameter kedua dalam kasus intervensi Libya tahun 2011 dapat dianggap terpenuhi.

Ketiga, intensi yang benar. Dari seluruh parameter, sebagaimana intensi bergantung banyak pada subjektivitas aktor, menentukan benar tidaknya intensi dibalik intervensi Libya tahun 2011 merupakan hal yang paling abstrak dan dinamis. Namun dengan premis utama berupa misi kemanusiaan, maka motif politik ataupun militer sudah jelas tidak boleh terlibat dalam hal ini. Permasalahannya, terlepas dari penekanan nilai-nilai kemanusiaan dalam operasi ini, advokasi perubahan rezim tetap menjadi agenda politik yang hadir secara konstan. Padahal korelasi antara perubahan rezim dan perlindungan kemanusiaan sendiri tidak pernah dijabarkan secara jelas (Pommier, 2011). Dalam praktiknya, bahkan beberapa operasi yang diluncurkan dalam intervensi militer tersebut juga tidak terlihat memiliki hubungan langsung dengan usaha melindungi masyarakat sipil. Selain itu, penulis juga melihat motif tersembunyi dari intervensi Libya dapat dijelaskan dalam konteks dinamika geopolitik Afrika serta ekonomi. Mengingat posisi Libya sebagai salah satu negara yang cukup kuat dan signifikan di benua Afrika saat itu, tidak dapat dipungkiri bahwa Libya akan memiliki peran serta potensial geopolitik tersendiri bagi keberhasilan inisiatif AFRICOM milik Amerika Serikat (Forte, 2012). Kemudian dalam konteks ekonomi, Libya terkenal memiliki sumber daya minyak yang melimpah. Dengan nilai yang mencapai 46.4 miliar USD, cadangan minyak Libya merupakan cadangan terbesar di Afrika (Igwe et al., 2017). Sayangnya, di bawah kepemimpinan Gaddafi, Libya saat itu memiliki kecenderungan untuk bersebrangan dengan kepentingan Barat; misalnya dukungan terhadap pan-Afrikanisme dibanding AFRICOM atau wacana kebijakan ekonomi yang terpisah dari institusi keuangan internasional yang ada. Dengan menimbang poin-poin di atas, maka intensi dilakukannya intervensi militer ke Libya tahun 2011 tidak dapat dipastikan sepenuhnya berbasis misi kemanusiaan saja.

Keempat, usaha terakhir. Sesuai artikel 33 Piagam PBB, disebutkan bahwa mekanisme penyelesaian berupa negosiasi, penyelidikan, mediasi, konsiliasi, arbitrasi, penyelesaian yudisial, serta usaha badan regional diprioritaskan terlebih dahulu sebelum tindakan lainnya (United Nations, n.d.). Dalam konteks konflik di Libya, pilihan arbitrasi dan penyelesaian yudisial dapat dieliminasi karena nihilnya entitas yudisial di tingkat internasional yang memiliki mandat untuk menentukan permasalahan domestik sebuah negara. Di sisi lain, sebelum diadopsinya resolusi 1973, beberapa pihak seperti Sekretariat PBB, UNHRC, Liga Arab, dan Uni Afrika telah mencoba untuk menghentikan Gaddafi melalui pemanggilan damai (Adams, 2012). Penyelidikan juga telah dilakukan oleh beragam institusi seperti UNHRC, Human Rights Watch, ataupun ICC. Permasalahannya, dapat dilihat bahwa pilihan mediasi ataupun konsiliasi masih belum sepenuhnya diusahakan lebih jauh. Berbeda dengan permasalahan jalur yudisial, mediasi ataupun konsiliasi nyatanya masih menjadi pilihan yang memungkinkan sebagaimana yang terjadi dalam kasus Suriah. Bahkan usaha untuk melakukan gencatan senjata sebagai tindakan manajemen konflik paling mendasar tidak diusahakan sama sekali sebelum keputusan intervensi tersebut. Hal ini juga ditekankan lebih jauh oleh perwakilan dari Tiongkok, Russia, India, Jerman, dan Brazil dalam rapat pengambilan suara resolusi 1973 yang menggarisbawahi kurangnya usaha penyelesaian secara damai (United Nations, 2011). Maka dari itu, parameter keempat ini dapat dibilang tidak terpenuhi.

Kelima, jaminan keberhasilan. Dalam analisis jaminan keberhasilan, parameter ini akan dimaknai sebagai kalkulasi cost and benefit dari sebuah tindakan. Untuk kalkulasi yang lebih konkret, penulis akan membandingkan kapabilitas antara kedua pihak. Jika kita membandingkan kapabilitas Libya dengan negara-negara insiator intervensi secara langsung, maka posisi Libya jelas lebih dirugikan. Meskipun begitu, terdapat beberapa poin yang cukup menarik untuk diperhatikan dalam kasus ini, yaitu: 1) politik domestik Libya; dan 2) isu mobilisasi logistik. Sebelum konflik di Libya terjadi, negara tersebut diklasifikasikan sebagai negara dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi (UNDP, 2012), dengan angka GDP per kapita terbesar di antara negara-negara Afrika lainnya. Selain itu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah juga tergolong tinggi sehingga ide penggulingan Gaddafi tidak menjadi opini populer. Hal ini terbukti saat tahap-tahap awal intervensi dilakukan, ditambah dengan adanya isu logistik, NATO pun menghadapi kesulitan dalam mengalahkan pasukan Gaddafi. Hingga pada akhirnya, tindakan tidak terhormat seperti memberikan dukungan kepada golongan pemberontak pun harus dilakukan untuk mengatasi hal tersebut. Dengan kondisi-kondisi tersebut, maka parameter jaminan keberhasilan dilakukannya intervensi pun tidak dapat dikatakan terpenuhi.

Keenam, proporsionalitas. Dalam melihat parameter ini, penulis akan menyorot dampak dari.  intervensi yang dilakukan sebagaimana perang yang benar seharusnya mampu membawa manfaat yang sama—atau lebih besar—dari kerugian yang dihasilkan. Sayangnya, dalam kasus intervensi Libya, perlindungan hak asasi masyarakat yang seharusnya menjadi tujuan utama operasi pada akhirnya menjadi lebih jauh terpuruk. Hal ini dapat dilihat melalui memburuknya ekonomi terlepas dari sumber daya yang memadai, instabilitas politik, hingga melemahnya keamanan perbatasan yang mempermudah invasi Islamic State (IS) (Kuperman, 2013). Kemudian, runtuhnya tatanan politik dan sosial di Libya pun secara lebih luas menyebabkan menyebarnya instabilitas di negara-negara tetangga, terutama Mali dan wilayah Sahel, yang kemudian menyebabkan masalah kawasan yang lebih besar lagi (Corten dan Koutroulis, 2013). Hal ini menunjukan bahwa manfaat yang dirasakan masyarakat Libya setelah “diselamatkan” oleh intervensi militer tidak lebih banyak dari dampak buruk yang harus mereka rasakan, membuat parameter ini tidak terpenuhi dalam praktiknya.

Setelah analisis studi kasus dalam parameter jus ad bello menentukan justifikasi alasan dilakukannya intervensi, pembahasan akan dilanjutkan ke dalam ranah praktik intervensi itu sendiri. Sesuai dengan jus in bello, praktik perang—dalam kasus ini intervensi—yang baik seharusnya menjunjung prinsip diskriminasi dan proporsionalitas. Untuk mengevaluasi hal tersebut, kita dapat merujuk kepada hukum humaniter internasional sebagai manifestasi konkret dari jus in bello. Ditemukan setidaknya dua permasalahan yang dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hukum humaniter internasional, yaitu menyangkut dukungan militer terhadap pemberontak serta proporsi penyerangan yang dilakukan. 

Pertama, dukungan militer NATO terhadap kelompok pemberontak dianggap sebagai tindakan yang secara langsung tidak menghormati eksistensi dan semangat dari hukum humaniter internasional. Dukungan NATO kepada kelompok pemberontak sendiri merupakan sebuah hal yang telah diketahui banyak pihak. Dukungan udara, pelumpuhan tantara nasional Libya, hingga penolakan kesepakatan gencatan senjata merupakan beberapa contoh dukungan yang diberikan NATO terhadap kelompok pemberontak (Corten dan Koutroulis, 2013). Dengan dukungan-dukungan tersebut, maka negara-negara anggota tidak dianggap menunjukan komitmennya dalam mencegah konflik ataupun menjaga perdamaian, sehingga dianggap tidak menghormati hukum yang ada. Klaim atas pelanggaran ini sendiri dibuat berdasarkan artikel 1 Protokol Tambahan Pertama tahun 1977, artikel 38 Konvensi Hak Anak tahun 1898, serta preseden ICJ dalam kasus Nicaragua (Corten dan Koutroulis, 2013). 

Kedua, proporsi serangan yang tidak seimbang sebagai penyalahgunaan mandat. Melalui resolusi 1973 Dewan Keamanan PBB, “segala bentuk tindakan yang dibutuhkan” memang diberikan sebagai justifikasi intervensi. Namun dalam prosesnya, mandat tersebut pun ditetapkan di bawah asumsi bahwa konflik Libya tidak akan berdampak secara langsung atau masif terhadap perdamaian global. Dengan begitu, mandat yang diberikan pun dapat dikatakan terbatas maknanya (Corten dan Koutroulis, 2013). Akan tetapi dalam praktiknya, pasukan yang dikirim negara-negara penginvasi nyatanya justru menyalahgunakan mandat yang diberikan. Klaim ini dibuat atas beberapa serangan berskala besar yang dilakukan NATO di beberapa fasilitas publik serta target non militer, seperti Sirte. Hal ini pun menyebabkan berjatuhannya korban sipil. Dilaporkan juga bahwa 200 misil jelajah dan 20.000 bom diluncurkan di titik-titik yang tidak memiliki korelasi dengan perlindungan hak asasi (Igwe et al., 2017). Melalui tindakan serta dampak yang dihasilkan tersebut, maka mandat Dewan Keamanan bukan satu-satunya yang dilanggar operasi intervensi Libya tahun 2011 namun juga hukum humaniter internasional dalam makna yang lebih luas. 

Kesimpulan

Dengan melihat pertimbangan atas beberapa parameter dan prinsip humaniter yang menentukan benar tidaknya justifikasi sebuah perang, intervensi Libya tahun 2011 dapat disebut tidak terjustifikasi sebagai sebuah misi kemanusiaan. Hal tersebut dikarenakan tidak tercapainya sebagian besar parameter atau prinsip humaniter yang ada. Dari total delapan parameter serta prinsip yang dibahas dalam tulisan ini, intervensi tersebut hanya mampu memenuhi parameter mengenai pengeluaran keputusan perang atau intervensi oleh otoritas yang berkuasa melalui prosedur yang benar, yakni Dewan Keamanan PBB. 

Menurut penulis, variabel yang paling fatal dalam parameter serta prinsip yang ada adalah terkait dampak yang dihasilkan pasca-perang. Jika sebuah intervensi dilakukan di awal dengan tujuan melindungi hak asasi warga sipil, maka instabilitas pasca-konflik yang ada saat ini justru memposisikan mereka pada titik yang lebih rentan terhadap defisiensi hak asasi. Misalnya, dalam kasus intervensi Libya tahun 2011, dengan instabilitas politik, ekonomi, dan sosial, ancaman terhadap hak asasi individu setelah tumbangnya rezim Gaddafi jelas menjadi lebih besar dan konkret. Dengan begitu, just cause ataupun intensi yang benar di awal bahkan tidak dapat terwujud sama sekali. Maka dari itu, penulis melihat jika komunitas internasional benar-benar peduli terhadap perlindungan hak asasi individu dalam konflik serta perdamaian global, maka asistensi pasca-konflik seharusnya dapat menjadi hal yang lebih diperhatikan lagi.

Referensi

Adams, Simon. (2012, 3 Oktober). Libya and the Responsibility to Protect. Global Centre for the Responsibility to Protect, 1-28. https://reliefweb.int/sites/reliefweb.int/files/resources/Libya andr2poccasionalpaper-1.pdf

Corten, Olivier dan Vaios Koutroulis. (2013). The Illegality of Military Support to Rebels in the Libyan War: Aspects of jus contra bellum and jus in bello. Journal of Conflict & Security Law, 18(1), 59-93. https://doi.org/10.1093/jcsl/krs029

Coverdale, John. (2004). “An Introduction to the Just War Tradition.” Pace International Law Review, 16(2), 221-277. https://digitalcommons.pace.edu/pilr/vol16/ iss2/1

Daalder, Ivo dan J. G. Stavridis. (2012). “NATO’s Victory in Libya: The Right Way to Run an Intervention.” Foreign Affairs, 91(2), 1-7. https://doi.org/10.1057/978113727 3956_9

Desai, Misha. (2014). “Humanitarian Intervention in the Post-Cold War Era: A postcolonial critique on new interventionism.” Lund University Publications, 1-29. http://lup.lub. lu.se/luur/download?func=downloadFile&recordOId=4238398&fileOId=4238430

Forte, M. (2012). Slouching towards Sirte: NATO’s war on Libya and Africa. Montrael: Baraka Books.

Igwe, Stanley C., dkk. (2017). “An Assessment of the Motivations for the 2011 NATO Intervention in Libya and its implication for Africa.” Canadian Social Science, 13(4), 1-11. https://doi.org/10.1080/13600826.2015.1094029

Kuperman, Alan J. (2013). “A Model Humanitarian Intervention? Reassessing NATO’s Libya Campaign.” International Security, 38(1), 105-136. https://www.jstor.org/stable/24480571

Pommier, Bruno. (2011, Desember). “The use of force to protect civilians and humanitarian action: the case of Libya and beyond.” International Review of the Red Cross, 93(884), 443-461. https://www.corteidh.or.cr/tablas/r29540.pdf

Wells, Donald A. (1996).  An Encyclopedia of War and Ethics. Westport, Conn.: Greenwood Press.

CIA World Factbook. (n.d.). Africa: Libya. https://www.cia.gov/library/ publications/the-world-fact book/geos/ly.html

UNDP. (2012). Human Development Report 2011. https://www.ly.undp.org/ content/libya/en/home/library/human_development/human_developmentreport2011.html

Human Rights Watch. (2011). Libya: Government Attacks in Misrata Kill Civilians. https://www. hrw.org/news/2011/04/10/libya-government-attacks-misrata-kill-civilians

United Nations Security Council. (2011). Resolution 1973 (2011). https://www.undocs.org/S/RES /1973%20(2011)

UN Meetings Coverage and Press Releases. (2011). Security Council Approves ‘No-Fly Zone’ over Libya, Authorizing ‘All Necessary Measures’ to Protect Civilians, by Vote of 10 in Favour with 5 Abstentions. https: //www.un.org/press/en/2011/sc10200.doc.htm

United Nations. (n.d). UN Charter (full text). https://www.un.org/en/sections/un-charter/un-charter-full-text/

Adelia Rahmawati adalah seorang mahasiswi sarjana Hubungan Internasional, Universitas Indonesia

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *