Antara Indonesia dan Hong Kong: Yang Perlu Diadopsi KPK dari ICAC

0

Ilustrasi kerja sama antara KPK dan ICAC. Foto: Antara Foto/Reno Esnir (Stringer)

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara di Indonesia yang bersifat independen. Awal mula dibentuknya KPK dimulai pada masa reformasi tahun 1999, lahir UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN serta UU Nomor 31 Tahun 1999. Di tahun 2001, lahir UU Nomor 20 Tahun 2001 sebagai ganti dan pelengkap UU Nomor 31 Tahun 1999. Sebagai tindak lanjut, pada 27 Desember 2002 dikeluarkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga KPK resmi dilahirkan.

Dibentuk pada tahun 2002 dan masih ada hingga saat ini artinya kurang lebih sembilan belas tahun KPK tetap tegak dalam upayanya memerangi dan memberantas permasalahan korupsi di Indonesia. Dalam kurun waktu itu, KPK banyak menuai prestasi namun juga polemik. Prestasi KPK bisa dibilang sangat luar biasa dengan menangkap banyak pejabat atau elite politik. Diantaranya adalah KPK berhasil menjerat tiga menteri aktif di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, yakni Andi Mallarangeng (eks Menpora), Jero Wacik (eks Menteri ESDM), dan Suryadharma Ali (eks Menteri Agama).

KPK juga berhasil menjerat penegak hukum aktif, seperti perwira polisi dalam kasus simulator SIM, Ketua MK dalam kasus dugaan suap penyelenggaraan Pilkada, dan hakim adhoc Tipikor. Selain itu, KPK juga menjerat pimpinan partai politik aktif, yaitu Suryadharma Ali (PPP), Anas Urbaningrum (Partai Demokrat), dan Luthfi Hasan Ishaaq (PKS). Tak lupa juga KPK menjadi penerima penghargaan Ramon Magsaysay di tahun 2013. Pada waktu itu, KPK dianggap menjadi inspirasi pemberantasan praktik korupsi di Asia—utamanya Asia Tenggara.

Walau dengan deretan prestasi tersebut, dewasa ini KPK kian tergerus oleh polemik yang tampak membuat kinerjanya menurun. Dimulai dari disahkannya Revisi UU KPK yang dinilai justru melemahkan KPK, adanya TWK (Tes Wawasan Kebangsaan) yang penuh dengan kontroversi dengan pertanyaan yang terbilang aneh dan dianggap masuk ke dalam ranah privasi. Hingga saat ini tentu polemik tersebut tidak kunjung menemukan solusi.

Beralih dari Indonesia, Hong Kong juga memiliki lembaga anti korupsi yang dikenal dengan nama “The Independent Commission Against Corruption” atau ICAC. ICAC dinilai berhasil memukul mundur permasalahan korupsi di Hong Kong. Pasalnya, menurut Tony Kwok selaku Deputi Komisioner dan Kepala Operasi ICAC sepanjang 1996-2002, pada waktu itu Hong Kong adalah wilayah paling korup di dunia. ICAC didirikan oleh Gubernur Sir Murray MacLehose pada tanggal 15 Februari 1974 ketika Hong Kong berada di bawah kekuasaan Inggris. Beberapa capaian fantastis ICAC dalam memberantas kasus korupsi di Hong Kong adalah penyelesaian fenomena koruptif yang dikenal dengan istilah “money tea” dan juga menumpas korupsi di kepolisian Hong Kong hingga menjadikan institusi kepolisian Hong Kong sebagai salah satu yang terbersih di dunia. Selain itu, ICAC tidak tebang pilih dalam menangani kasus korupsi karena mereka bukan hanya mengusut kasus korupsi di kubu pejabat namun juga di sektor swasta—meski dari beberapa sumber, kasus korupsi di Hong Kong memang lebih cenderung dominan di sektor swasta.

Indonesia dan Hong Kong berada di kawasan yang berbeda dan tentu realitas sosialnya pun tidak sama. Namun, kedua organisasi tersebut sama-sama lahir karena ada masalah berkepanjangan yang sama, yaitu korupsi. Adalah menarik jika KPK bisa berkaca dari ICAC dan keberhasilannya memberantas korupsi di Hong Kong.

Salah satu jurus jitu ICAC adalah “Tiga Mata Garpu” yang berisi mengenai investigasi, pencegahan, dan pendidikan. Namun dari ketiganya, yang menarik adalah poin mengenai “pendidikan”. Dari konsep “Tiga mata garpu” a la ICAC, ada baiknya KPK mulai menerapkan pendidikan anti-korupsi yang tersebar di banyak daerah di Indonesia. Hal ini karena masih banyak masyarakat Indonesia yang masih asing dengan apa itu korupsi. Contoh kecilnya adalah fenomena politik uang menjelang Pilkades hingga Pilpres yang masih banyak dianggap masyarakat Indonesia sebagai hal yang wajar. Bahkan, akan lebih naas lagi apabila praktik politik uang menjadi sebuah budaya di Indonesia.

Selanjutnya adalah usulan dari Bertrand de Speville (eks ICAC) yang mana KPK harus menambah SDM. Pada awal pendirian ICAC, jumlah anggotanya adalah sekitar 1.200 orang yang pada masa itu, populasi Hong Kong berada di kisaran 5-6 juta orang. Sedangkan di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), hasil sensus penduduk (SP2020) pada September 2020 mencatat jumlah penduduk sebesar 270,20 juta jiwa. Dengan jumlah populasi sebanyak itu, maka anggota KPK juga harus ditambah lagi. Bertrand de Speville juga menyarankan bahwa lembaga seperti KPK harus beranggotakan 8.000 orang dan bahkan lebih karena untuk mengusut kasus korupsi hingga pelosok Indonesia akan membutuhkan SDM yang tidak sedikit. Hal ini juga menjadi keresahan saya secara pribadi, pasalnya jika KPK hanya beroperasi di pusat lalu siapa yang mengusut kasus di daerah pelosok Indonesia? Tentu saja kasus korupsi tidak hanya terjadi di pusat atau kota-kota besar saja, tetapi juga hingga daerah pelosok.

Hal tersebut adalah tentu merupakan perencanaan program yang besar, maka akan memerlukan dana yang besar pula. Memberikan pendidikan anti-korupsi dan penambahan SDM di badan KPK tentu mewajibkan lembaga antirasuah dari Indonesia untuk diberikan tambahan dana yang lebih besar lagi. Menurut saya, KPK perlu mengadopsi beberapa hal penting di atas dari ICAC. KPK adalah salah satu harapan besar bangsa Indonesia untuk tetap gigih dalam memberantas permasalahan korupsi, dan selama kasus korupsi masih ada di negara kita maka KPK juga harus tetap ada karena KPK dibentuk atas dasar adanya permasalahan besar terkait korupsi di Indonesia.

Dion Faruk Alquraniawan merupakan seorang mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Malang. Dapat ditemukan di Instagram dan Twitter melalui nama pengguna @dionfrk

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *