Bakar Al-Qur’an di Swedia: Kebebasan yang Kebablasan?

0

Politisi Swedia Rasmus Paludan sebelum melakukan aksi pembakaran kitab suci di depan Kedutaan Besar Turki di Stockholm. Foto: Sweden Posts English

Margaret Thatcher pernah mengatakan bahwa kita berhak untuk bebas, bukan sekadar bebas, melainkan kebebasan yang berdasarkan hukum. Tepat sekali apa yang diutarakan mendiang perdana menteri Inggris tersebut, kebebasan yang berdasar hukum adalah suatu ekspresi kebebasan yang senantiasa menjunjung tinggi supremasi hukum. Sebagaimana salah satu esensi dari hukum adalah terciptanya ketertiban dan perdamaian, maka kebebasan yang justru bertentangan dengan itu, dalam arti ekspresi kebebasan yang malah menimbulkan kerusuhan dan kekacauan, adalah kebebasan yang “ugal-ugalan”. 

Kebebasan yang ugal-ugalan adalah ungkapan yang barangkali tepat menggambarkan aksi pembakaran Al-Qur’an di Swedia, yang dilakukan oleh salah satu politisi sayap kanan, yakni Rasmus Paludan. Pembakaran kitab suci umat Islam dengan dalih kebebasan berekspresi tersebut merupakan suatu tentangan yang nyata terhadap hukum dan ketertiban, karena secara langsung menyulut konflik identitas yang panjang dan berskala internasional. Hukum harus menjamin setiap hak kebebasan individu berdasarkan asas equality before the law, dengan tanpa menafikan kebebasan sekelompok individu lain. Artinya hukum memiliki peranan yang signifikan bagi terciptanya kebebasan yang humanistis dan berkeadilan. Sebagaimana ungkapan filsuf liberal John Locke, “di mana tidak ada hukum, di situ tidak ada keadilan”.

Rasmus Paludan adalah seorang ekstrimis kanan yang berafiliasi dengan Partai Stram Kurs (Hard Line) di Swedia. Ia turut serta bergabung dalam demonstrasi yang dilakukan di depan kedutaan besar Turki di Stockholm, yang menyuarakan protes kepada Turki sebagai anggota NATO yang tidak kunjung memberikan persetujuannya bagi aksesi keanggotaan Swedia ke dalam NATO. Namun, ketidakmampuannya dalam berpikir dan memahami pilar-pilar kebebasan berbasis supremasi hukum, membuat Paludan melakukan aksi yang menyakiti hati umat Islam di seluruh dunia yaitu dengan membakar Al-Qur’an. 

Kebebasan dan Intervensi Negara: Perdebatan Intra-Liberalisme

Saya berpendapat, peristiwa yang terjadi di Swedia tersebut merupakan bentuk ketidakmampuan Rasmus Paludan dalam memahami makna sejati dari kebebasan. Kebebasan yang secara ideologis disebut liberalisme, dibangga-banggakan sebagai suatu produk agung dari peradaban barat. Bahkan secara politis, kebebasan selalu diidentikkan dengan bangunan peradaban barat yang kokoh, terutama pasca reformasi gereja dan revolusi borjuis di Eropa yang menandai runtuhnya feodalisme. 

Filsuf John Locke meyakini bahwasannya kebebasan adalah salah satu hak alamiah yang diberikan secara mutlak kepada setiap individu, di samping hak untuk hidup dan kepemilikan. Artinya, John Locke meyakini bahwa kebebasan adalah suatu yang tidak bisa dipisahkan dari setiap individu. Apabila kita menafsirkan pemikiran Locke ini dengan suatu ungkapan yang hiperbolis, kebebasan yang tercerabut atau dipisahkan dari seorang individu maka tercerabut pulalah sebagian jiwa dan hak almiahnya yang mutlak diberikan Tuhan. 

Karena pemikiran Lockean ini dijadikan semacam pilar liberalisme barat, maka orang-orang liberal meyakini bahwa hak kebebasan dan juga hak untuk hidup dan hak kepemilikan adalah sebagai nilai ideal dan fundamental yang harus diimplementasikan. Namun, kemudian timbul perdebatan, adakah pembatasan dalam kebebasan? Sampai batasan manakah hak kebebasan seorang individu?

Inilah perdebatan yang mewarnai tahap perkembangan liberalisme awal, bahkan mungkin hingga sekarang. Dalam konteks ini, berkaca pada kasus Rasmus Paludan di Swedia, ketidakpahamannya terhadap batasan kebebasan bisa menyebabkan perilaku yang gegabah yang akan menimbulkan konflik yang tajam yang berbasis identitas religiositas.

Mengenai batasan kebebasan, John Rawls menggambarkannya dengan sangat baik bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pribadi seluas mungkin, namun tetap harus selaras dengan kebebasan semua orang. Dalam kasus Paludan, ia melakukan aksi membakar Al-Qur’an dengan dalih hak kebebasannya dalam berekspresi. Ia tidak menyadari bahwa aksinya tersebut, secara langsung membatalkan atau menafikan kebebasan orang-orang muslim atas keyakinannya bahwa Al-Qur’an adalah kitab yang suci dan absolut kebenarannya. Dibantah dan dilecehkan secara verbal saja sudah termasuk penghinaan yang melukai keyakinan umat Islam, terlebih dalam kasus ini dibakar, tentu amat sangat melukai umat Islam.

Dalam kasus Paludan, di saat kebebasan dijadikan legitimasi untuk merongrong kebebasan pihak lainnya, maka perlu ada suatu otoritas yang lebih tinggi yang memiliki kewenangan dalam mengaturnya. Otoritas tersebut tidak lain adalah negara. Kaum liberal klasik yang sangat anti terhadap intervensi negara atau penganut paham negara minimal, meyakini bahwa negara dibutuhkan sebagai otoritas penjamin bagi terjaganya kebebasan yang tertib dan berkeadilan. Sebagaimana ungkap Thomas Paine, “negara adalah kejahatan yang dibutuhkan.” 

John Stuart Mill dalam karyanya On Liberty, mengatakan bahwa satu-satunya tujuan dari kekuasaan terhadap anggota-anggota di dalamnya adalah untuk mencegahnya melukai orang lain. Mill pun berkeyakinan, sebagaimana Thomas Paine menyatakan bahwa otoritas negara diperlukan untuk mengatur ketertiban dan menjamin tidak adanya hak-hak kebebasan dan hak fundamental lainnya yang dilanggar oleh setiap individu kepada individu yang lain. Negara yang harus menjamin persamaan hak, dalam hal ini mencakup hak kebebasan.

Oleh karena itu, pemerintah Swedia atas nama kebebasan tidak boleh membiarkan apalagi membenarkan tindakan yang dilakukan Rasmus Paludan. Sejauh ini, pemerintahan Swedia merespon dengan cukup bijak. Hal ini tergambarkan dari pernyataan Menteri Luar Negeri Swedia Tobias Billstrom yang mengatakan bahwa provokasi Islamofobia sangat mengerikan. Billstrom juga menegaskan bahwa Swedia sangat menghargai kebebasan berekspresi, tetapi tidak mendukung pendapat atau aksi yang dilakukan oleh Paludan. Saya berpendapat, untuk meredam implikasi politis dan konflik yang berkepanjangan, maka penegakan hukum adalah kuncinya. Paludan harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum atas tindakan yang diperbuatnya. Jika ini tidak dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa Swedia adalah negara yang mendukung kebebasan ugal-ugalan, bukan kebebasan yang berdasar hukum dan keadilan. 

Ekstremisme Paludan: Demonstrasi Politis Berujung Konflik Identitas Religiusitas

Aksi pembakaran Al-Qur’an di Swedia mengundang respon internasional yang keras dan penuh dengan nada-nada kecaman, terutama dari negara-negara muslim. Peristiwa ini pada dasarnya dilatarbelakangi oleh suatu motif politis, di mana para demonstran menyuarakan protesnya kepada Turki karena tidak kunjung memberikan persetujuannya dalam internal NATO bagi aksesi keanggotaan Swedia. Secara politis, penolakan Turki atas keanggotaan Swedia dan juga Finlandia di dalam NATO adalah karena menurut Turki kedua negara tersebut melindungi teroris dari Partai Pekerja Kurdistan (PKK).

Penolakan Turki atas keanggotaan Swedia dan Finlandia ke dalam NATO sejatinya adalah persoalan politis semata, yang barangkali dapat ditemukan jalan kompromi melalui diplomasi. Adapun demonstrasi yang dilakukan di kedutaan besar Turki di Stockholm, juga bukan suatu masalah, karena berkaitan dengan penyampaian aspirasi dan bagian dari kebebasan berekspresi, terlebih adanya izin yang diperoleh dari otoritas kepolisian. Namun, persoalannya adalah hal-hal yang bersifat politis tadi justru menimbulkan suatu konflik dan ketegangan identitas dengan dibakarnya Al-Qur’an sebagai kitab suci umat Islam oleh Rasmus Paludan.

Hampir seluruh negara yang mayoritas penduduknya muslim di dunia melakukan kecaman terhadap peristiwa pembakaran Al-Qur’an tersebut. Turki sebagai negara yang menjadi sebab unjuk protes di Stockholm, melalui menteri luar negerinya mengecam keras apa yang dilakukan Paludan dengan mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan tindakan keji dan melecehkan terhadap kitab suci. Dari adanya peristiwa ini, juga aksi protes yang berkepanjangan, kunjungan menteri pertahanan Swedia yang sebelumnya sudah direncanakan dan dijadwalkan terpaksa harus dibatalkan.

Selain Turki, negara-negara lain yang turut memberikan kecaman keras di antaranya, yakni Arab Saudi, Pakistan, Kuwait, Uni Emirat Arab, Qatar, Iran, Yordania, Mesir, Malaysia, dan Indonesia. Bahkan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) juga turut melontarkan kecaman dengan mengatakan bahwa tindakan Paludan tersebut adalah suatu tindakan provokatif yang menghina nilai-nilai suci agama Islam dan meminta pemerintah Swedia untuk melakukan tindakan yang tegas secara hukum dalam menyelesaikannya.

Kenapa harus Al-Qur’an yang dibakar? Kenapa bukan salinan konstitusi Turki atau benderanya yang dibakar? Dalam hal ini saya bukan berarti membenarkan tindakan yang kedua, namun mengapa tindakan membakar Al-Qur’an justru yang dilakukan. Saya melihat persoalan ini sebagai suatu persoalan identitas berbasis agama yang selamanya akan selalu mengalami benturan. Jika kita merujuk pada tesis Samuel Huntington tentang benturan peradaban, maka setidaknya peristiwa ini membawa kita pada suatu kesadaran bahwasannya persoalan agama-kultural akan selalu membawa kita pada konflik dan benturan. Penegasan ‘kita’ dan ‘mereka’ secara kultural masih mewarnai pola hubungan masyarakat global, meskipun dalam arus perkembangan globalisasi yang cenderung kosmopolitan. 

Padahal apabila kita lihat, penolakan Turki atas keanggotaan Swedia di dalam NATO sama sekali tidak ada kaitannya dengan Al-Qur’an. Akan tetapi, karena secara identitas kultural Turki dikenal sebagai negara yang pada periode sejarah tertentu, terutama pra-Kemal Attaturk, menjadi representasi dari Islam sebagai agama dan kekuatan politik. Oleh karena itu, sentimen anti-Turki akan sekaligus menciptakan sentimen anti-Islam. Rasmus Paludan dalam hal ini didorong secara ideologis oleh suatu keyakinan nasionalisme ultra-kanan, dan ketidakpahamannya akan kosep kebebasan sejati, membuat sentimen anti-Turki di dalam dirinya diekspresikan menjadi suatu sentimen anti-Islam yang salah kaprah.

Kesimpulan

Mispersepsi terhadap arti kebebasan akan berimplikasi pada penyalahgunaan kebebasan itu sendiri, sebagaimana peristiwa pembakaran Al-Qur’an yang dilakukan Rasmus Paludan di Swedia. Kebebasan setiap individu harus selaras dengan kebebasan setiap orang, sebagaimana John Rawls menafsirkan kebebasan. Mengutip Heywood, penting juga untuk memahami bahwa kemerdekaan kita mensyaratkan orang lain tidak menggerogoti kebebasan kita, dan sebaliknya kemerdekaan orang lain mensyaratkan mereka aman dari rongrongan kita. Toleransi adalah kunci untuk saling menghargai dalam hak kebebasan. 

Saya juga menyimpulkan, berdasarkan pada pandangan pribadi saya, peristiwa pembakaran Al-Qur’an sebagai bentuk protes terhadap Turki di Swedia ini menandakan bahwasannya konflik identitas berbasis agama dan budaya akan selalu mewarnai relasi antarmasyarakat global di setiap zaman. Sebagaimana dalam tesisnya, Huntington mendalilkan bahwa relasi yang terjalin antara masyarakat global selalu diwarnai kecurigaan satu sama lain antar identitas peradaban, oleh karenanya penegasan ‘kita’ dan ‘mereka’ juga ‘kita bukan mereka dan mereka bukan kita’ masih merupakan hal yang penting, terlebih berkaca pada kasus pembakaran Al-Qur’an di Swedia dan berbagai implikasinya. 

Adrian Aulia Rahman merupakan mahasiswa Universitas Padjadjaran. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @adrianauliar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *