Belt and Road Initiative di Afrika dan Transformasi Tatanan Internasional a la Tiongkok

0

Ilustrasi Infrastruktur karya Tiongkok. Foto: pixabay.com.

Pendahuluan: BRI dan Ambisi Global Tiongkok

Pada tahun 2013, Presiden Republik Rakyat Tiongkok Xi Jinping melakukan kunjungan kenegaraan ke Pakistan, di mana ia mendeklarasikan sebuah inisiatif untuk menciptakan sebuah proyek bersama yang menjamin konektivitas di antara negara-negara di benua Asia, Afrika, dan Eropa. Kurang lebih satu bulan kemudian, Xi Jinping kembali melakukan kunjungan kenegaraan, kali ini ke Indonesia, di mana ia kembali mengusulkan sebuah inisiatif untuk membangkitkan kembali Jalur Sutra Maritim kuno menjadi sebuah Jalur Sutra Baru di abad ke-21.

Kedua deklarasi Presiden Tiongkok Xi Jinping di atas, menurut Chatzky dan McBride (2019), merupakan dua penyebutan pertama sekaligus dua elemen utama dari megaproyek geoekonomi Tiongkok, Belt and Road Initiative (BRI). Pada awalmya, Zou (2018) menganalisis bahwa Belt and Road Initiative berangkat dari inisiatif One Belt One Road (OBOR) Tiongkok yang dikembangkan secara lebih lanjut. Akan tetapi, berbeda dengan OBOR, BRI tidak hanya berfokus dalam membangun konektivitas darat, melainkan adanya upaya koordinasi dan pengayoman negara-negara dalam suatu rezim ekonomi internasional, dan adanya tambahan aspek maritim didalamnya. Namun, Cai (2017) juga menambahkan bahwa BRI bukan hanya sekedar proyek yang bersifat pragmatis, namun juga merupakan sebuah strategi raya (grand strategy) Tiongkok dalam mentransformasikan tatanan internasional yang ada. 

Sebagai sebuah megaproyek geoekonomi, BRI, sebagaimana dicatat oleh Gill (2017 dalam Damuri et al., 2019), telah merangkul setidaknya enam puluh negara, dan mencakup setidaknya setengah dari total populasi dunia serta sekitar sepertiga Pendapatan Domestik Bruto (PDB) dunia. BRI setidaknya terdiri atas dua elemen penting, yaitu sabuk ekonomi daratan (land economic belt) dan jalur maritim sutra modern (21st century Maritime Silk Road). Secara keseluruhan, Lee dan Kim (2017 dalam Damuri et al., 2019) mencatat bahwa BRI menggabungkan lima koridor ekonomi utama, terdiri atas tiga sabuk ekonomi daratan dan dua rute maritim. Terdapat setidaknya enam koridor ekonomi utama yang menghubungkan Tiongkok dengan belahan dunia lain, sebagaimana dapat dilihat dalam peta 1. Dalam hal ini, Komisi Reformasi dan Pengembangan Nasional Tiongkok (2015 dalam Damuri et al. 2019) menyatakan bahwa terdapat lima elemen utama dari berjalannya BRI. Pertama, yaitu koordinasi kebijakan antara Tiongkok dengan negara-negara rekanan. Kedua, adanya konektivitas fasilitas yang ditunjang dengan berbagai pembangunan infrastruktur, didukung oleh pemberian bantuan finansial oleh Tiongkok. Ketiga, yaitu ketiadaan hambatan perdagangan komoditas barang maupun jasa. Keempat, adanya integrasi finansial dalam rangka menciptakan stabilitas ekonomi regional. Kelima, adanya relasi antar-masyarakat. 

Tulisan ini berupaya menjelaskan relasi Sino-Afrika dalam kerangka BRI dalam dua tahapan utama. Pertama, tulisan ini akan memaparkan BRI sebagai sebuah strategi raya Tiongkok dalam merevolusi tatanan internasional dan conduct of foreign policy yang ada. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai karakteristik BRI yang revolusioner dalam berbagai aspek. Kedua, tulisan ini akan menjelaskan rationale dari kerangka kerja sama Tiongkok dengan negara-negara Afrika, yang membuat kerja sama ini menjadi contoh sempurna keberhasilan strategi kebangkitan Tiongkok.

Corridors
Peta 1. Elemen Umum Daratan dan Lautan dari BRI.
Sumber: Mercator Institute for China Studies (dalam Chatzky dan McBride 2019).

Menuju Tatatanan Internasional Khas Tiongkok

Komisi Reformasi dan Pengembangan Nasional Tiongkok (2015, dalam Damuri et al., 2019) mendeskripsikan BRI sebagai sebuah proyek sistematik yang mengintegrasikan strategi pengembangan ekonomi negara-negara dalam sebuah kerangka besar. Secara normatif, dapat dianalisis bahwa BRI merupakan sebuah upaya pragmatis Xi Jinping dalam meningkatkan kapasitas ekonomi Tiongkok. Hal ini diprediksi oleh Shang (2019) sebagai upaya dari Tiongkok dalam mengantisipasi perannya sebagai penyeimbang dari kekuatan Amerika Serikat dalam sistem internasional. Namun kemudian, kemunculan Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi berkembang tentu menjadi aneh bila sekedar dilihat sebagai sebuah keberuntungan atau kebetulan. Nantulya (2019) mencatat bahwa sebagaimana dijustifikasikan oleh pemerintah Tiongkok, tujuan utama dari BRI adalah penciptaan sebuah “komunitas common destiny umat manusia” yang menekankan Tiongkok sebagai sebuah “negara pusat” dan mendasarkan interaksi antar aktor pada interdependensi. Maka kemudian, BRI hadir sebagai sebuah strategi nasional Tiongkok dalam berbagai aspek.

Proposisi yang dikeluarkan oleh Mark Beeson (2018a; 2018b; 2019b) menyatakan bahwa Tiongkok secara umum bukan tidak memiliki intensi tersendiri dalam menjalankan strategi BRI ini. Beeson (2019b) bertesis bahwa BRI sejatinya muncul dikarenakan adanya faktor pendorong dari politik domestik Tiongkok yang sangat dipengaruhi oleh world view-nya, dan dikarenakan adanya kesempatan bagi Tiongkok untuk masuk sebagai patron bagi negara-negara dunia ketiga, khususnya di kawasan Asia Selatan, Asia Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara. Beeson (2019b) berpendapat bahwa potensi ini sejatinya muncul setelah kemerosotan peran Amerika Serikat dalam politik global, khususnya setelah terpilihnya Presiden Donald Trump yang membawa perspektif Neokonservatisme, dan bahkan isolasionisme. Selain itu, Beeson (2019b) juga melihat bagaimana Tiongkok sejatinya mengalami surplus kapasitas yang diubahnya menjadi potensi. 

BRI merupakan sebuah proyek geoekonomi dengan karateristik Tiongkok yang khas, dan merupakan sebuah tanda akan kebangkitan masif Tiongkok. Beberapa akademisi memang bertesis bahwa BRI merupakan sebuah upaya bagi Tiongkok dalam merebut posisi hegemon dalam sistem internasional. Namun, hal ini dibantah oleh Beeson dan Fujian Li (2016), yang secara umum mengatakan Tiongkok, melalui Presiden Xi Jinping, dianalisis tidak berkeinginan untuk mengambil alih peran Amerika Serikat. Dalam hal ini, posisi Amerika Serikat sebagai penjamin dalam sistem ekonomi dan finansial global pasca-Bretton Woods sangatlah dipengaruhi oleh nilai-nilai idealisme. Di sisi lain, menurut Beeson dan Fujian Li (2016), faktor Tiongkok dalam kasus ini masih terlihat sangat pragmatis. Namun, Beeson (2019b) juga tidak menolak anggapan bahwa Tiongkok ingin menjadi kekuatan dominan dalam sistem internasional, mengembalikan kejayaan masa lalunya. Secara eksplisit, Beeson dan Fujian Li (2016) telah mencatat bagaimana para pembuat kebijakan di Beijing sesungguhnya telah sadar akan prominensi dari tatanan internasional a la barat yang dibentuk oleh Amerika Serikat. Liu (2012, dalam Beeson dan Fujian Li, 2016) mencatat bahwa BRI merupakan sebuah akumulasi dari keresahan tiongkok akan tatanan liberal demokrasi barat yang selama ini mengekang negara-negara di dunia, termasuk Tiongkok. Dengan sebuah megaproyek ekonomi seperti BRI, Tiongkok berharap dapat menciptakan sebuah inisiatif institusional yang tidak hanya memastikan kembalinya Tiongkok sebagai sebuah kekuatan besar, namun juga menjadi sumber utama dari penyebaran nilai-nilai dan norma-norma dalam rezim ekonomi baru a la Tiongkok. 

Kebijakan dan rezim ekonomi baru yang ingin diciptakan oleh Tiongkok melalui BRI, menurut Beeson (2014 dalam Beeson dan Fujian Li, 2016) memang sangat dipengaruhi oleh faktor politik domestik dan identitas nasionalnya. Namun lebih penting, ia dipengaruhi oleh sistem internasional yang ada. Hegemoni Amerika Serikat kembali memukul Tiongkok secara keras, utamanya pada Krisis Finansial 2008 yang cukup memukul berat Tiongkok. Beeson dan Fujian Li (2015, dalam Beeson dan Fujian Li, 2016) menganalisis bahwa bentukan tatanan baru yang diimpikan oleh Tiongkok merupakan sebuah sintesis dari beberapa elemen. Pertama, adanya kepercayaan realisme yang cukup kuat akan sentralitas peran negara dan kedaulatannya, namun juga sangat percaya akan urgensi kekuatan nasional. Kedua, adanya prinsip-prinsip semi-sosialisme yang berasal dari diskursus politik domestik. Ketiga, yaitu adanya nilai-nilai world view Tiongkok yang melihat dirinya sebagai sebuah global great power. Tatanan baru ini utamanya menurut Bremmer (dalam Beeson, 2019a) dicirikan dnegan adanya praktik kaptalisme negara yang menjadi salah stau fitur utama dari ekonomi Tiongkok. 

Dalam hal ini, dalam menantang tatanan ekonomi liberal barat, Joshua Cooper Ramo (dalam Beeson, 2019a) mengibaratkan bahwa Tiongkok menantang Konsensus Washington—poin-poin standardisasi dan reformasi ekonomi liberal barat yang menjadi pilar International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia—dengan Konsensus Beijing. Konsensus Beijing ini merujuk pada praktik-praktik ekonomi pragmatis yang dianggap lebih “mudah”, logis, dan sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak dalam suatu relasi ekonomi. Praktik yang dimaksud adalah bagaimana Tiongkok melalui BRI berperan sebagai negara pemberi pinjaman bagi negara-negara rekanannya, tanpa memerlukan adanya reformasi ekonomi liberal ketat sebagaimana disyaratkan Amerika Setikat dan unholy trinity

Afrika: Laboratorium Global Konsensus Beijing

Manifestasi Konsensus Beijing sebagai rezim ekonomi revolusioner bentukan Tiongkok sangat prominen terjadi dalam kerja sama BRI di kawasan Afrika. Sejak tahun 2000 hingga 2011, Bank Kebijakan Beijing telah mengeluarkan setidaknya US$53.4 miliar berupa pinjaman kepada empat puluh tiga negara-negara Afrika, dimana kebanyakan diproyeksikan akan kembali ke AS melalui berbagai perusahaan-perusahaan Tiongkok yang membangun infrastruktur di negara-negara tersebut (Alden dan Lu Jiang, 2019). Pola ini merupakan sebuah pola yang umum terlihat di berbagai negara Afrika, dan merupakan asal-usul dari kemunculan konsep kehadiran Tiongkok di Afrika sebagai sebuah ‘jebakan’. Hal ini, menurut Alden dan Lu Jiang (2019), juga didukung dengan fakta bahwa Tiongkok merupakan salah satu pemberi pinjaman tunggal terbesar terhadap negara-negara Afrika secara keseluruhan.

Peta 2. Proyek Pembangunan Infrastruktur Tiongkok di Afrika. Sumber: Breuer (2017).

Namun, upaya transformasi kebijakan BRI ke negara-negara rekanan tidak selalu berjalan dengan mulus. Alih-alih, transformasi kebijakan di negara-negara rekanan Tiongkok sering dianggap sebagai jalur pintas dalam mencapai tujuan Tiongkok di negara-negara tersebut. Afrika, menurut Were (2019) dan Shattuck (2018), menjadi mangsa yang strategis bagi Tiongkok dan strategi BRI-nya, dikarenakan posisinya sebagai benua yang sedang berkembang, khususnya dalam sektor pembangunan infrastruktur dan energi. Selain itu, menurut Shattuck (2018), terdapat kesenjangan di antara potensi dan aktualisasi ekonomi negara-negara Afrika, khususnya dalam hal sumber daya. Selain itu, sebagaimana digarisbawahi Alden dan Lu Jiang (2019), berbagai negara Afrika yang tengah mengalami fase krisis, dengan adanya manajemen ekonomi yang luar biasa buruk menjadi mangsa yang sangat strategis bagi rentenir yang sedang berkembang seperti Tiongkok.

Were (2019) mengatakan bahwa masuknya Tiongkok ke Afrika menjadi prospek bagi pengulangan pembekuan finansial yang dialami oleh Afrika pada dekade 1990-an, dengan aktor utama pemberi pinjaman masif pada dekade 1980-an berupa IMF. Krisis finansial ini kemudian berakhir pada tahun 2005 dengan adanya penghapusan pinjaman terhadap Negara-Negara Berhutang dan Miskin (HIPCs). Keluarnya negara-negara dari krisis ini menjadi sebuah kelegaan, dan mulai memicu optimisme negara-negara untuk kembali membangun infrastruktur dan melakukan reformasi ekonomi, hal yang terjadi di berbagai negara seperti Ethiopia, Ghana, Mauritania, dan Kenya yang mulai mengeluarkan anggaran publik secara masif. Hal ini, menurut Were (2019), ditandai dengan tingginya rasio hutang terhadap GDP yang mencapai angka lebih dari 60% di beberapa negara seperti Sudan, Angola, Kenya, Gabon, dan Mauritius. 

Grafik 1. Komparasi Pinjaman Tiongkok terhadap Afrika, Total Pinjaman Afrika, dan Total Pemberian Pinjaman Tiongkok, 2009-2017 (dalam bilyar Dolar AS). Sumber: Alden dan Lu Jiang (2019: 643).

Akan tetapi, hutang bukanlah satu-satunya cara Tiongkok dalam mencapai kepentingannya di Afrika. Bagi Tiongkok, Afrika jauh lebih berarti dibanding serangkaian negara-negara penumpuk hutang. Alih-alih, sebagaimana digarisbawahi oleh Mustafic (2016), Afrika memainkan peranan penting sebagai pemasok sumber daya alam bagi Tiongkok, utamanya dalam komoditas minyak bumi, gas alam, dan metal, termasuk metal-metal berharga. Kebangkitan Tiongkok hadir dalam kerangkanya sebagai sebuah negara industri. Tiongkok tengah berusaha untuk menciptakan sebuah lompatan ekonomi kedua, terinspirasi oleh kebangkitannya sebagai Macan Asia pada tahun 1980-an bersama beberapa negara Asia Timur lain, seperti Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Jepang. Namun dalam kesempatannya kali ini, Tiongkok berfokus untuk menguasai komoditas produk barang jadi global seraya meningkatkan penguasaannya terhadap frontier teknologi yang ada. Berbagai manuver teknokratis Tiongkok—seperti mendukung industri teknologi informasi dan komunikasi berbasis 5G oleh Huawei—menjadi simbol dari kebangkitan industri teknologinya. 

Maka kemudian, sebagaimana dicatat oleh Mustafic (2016), terdapat peningkatan kebutuhan pasokan sumber daya Tiongkok secara tajam. Di sisi lain, Afrika merupakan negara-negara dengan komoditas ekspor sumber daya mentah—termasuk energi—yang cukup efektif dan murah. Dalam hal ini, BRI diutilisasikan Tiongkok untuk mempermudah berdagang dengan negara-negara Afrika. Hal ini dicapai dengan menciptakan jalur-jalur konektivitas distribusi sumber daya, serta dengan meperalat hutang negara sebagai alat kontrol bagi harga dagang minyak (Mustafic, 2016). Hal ini sesuai dengan realitas yang bisa diambil dari data Komisi Perdagangan PBB (dalam Eyewitness News, 2018) bahwa setidaknya pada tahun 2017, sumber daya alam baik dalam bentuk mentah (seperti mineral dan metal) maupun olahan (bahan bakar) menempati dua posisi tertinggi dalam komoditas ekspor Afrika ke Tiongkok. Hal ini utamanya banyak disusun dalam Kerja Sama Energi Tiongkok-Afrika yang tak lepas dari kerangka BRI (Xinhua, 2019). Tak lupa, sebagaimana dicatat oleh Komisi Perdagangan PBB (dalam China Africa Research Initiative, 2018) bahwa Tiongkok kini juga telah menggantikan AS sebagai mitra dagang terbesar negara-negar Afrika. 

BRI Tiongkok dan Ketundukan Afrika: Jebakan atau Harapan?

Were (2019) menggarisbawahi tiga alasan utama yang mendasari berhutangnya negara-negara Afrika terhadap Tiongkok, yaitu: (1) adanya ketidakseimbangan fiskal antara pengeluaran dan pemasukan negara setelah Krisis Finansial Global pada 2008, yang menyebabkan kebutuhan akan hutang untuk menutup hutang pengeluaran; (2) optimisme negara-negara Afrika untuk menciptakan atmosfer investasi; (3) nilai geostrategis Afrika yang menarik berbagai pemodal global. Ambisi negara-negara Afrika dalam membangun infrastruktur masif dalam upaya menarik investasi ini merupakan sebuah pertaruhan yang dilakukan dengan harapan mampu memutus rantai hutang Afrika. Dalam kaitannya dengan poin terakhir, Tiongkok berharap bahwa pinjamannya terhadap negara-negara Afrika yang diiringi dengan potensi pengembalian hutang yang kecil akan menjadi faktor pemulus dari pembentukan konektivitas jalur perdagangan Asia-Afrika dalam kerangka Jalur Sutra dan menjadikan negara-negara Afrika sebagai “negara boneka” yang berfungsi sebagai baik pemasok sumber daya mentah maupun pasar barang jadi Tiongkok. Were (2019) menyebutkan bahwa Tiongkok, paling tidak sejak Krisis Finansial Global 2008, menjadi tempat pinjaman yang jauh lebih dituju negara-negara Afrika, dikarenakan ketiadaan intensi politik tersembunyi yang terlihat pada awalnya, seperti berbagai program penyesuaian struktural (SAP) yang ditetapkan IMF pada Krisis Ekonomi 1990-an. 

Were (2019) juga menggarisbawahi bagaimana: (1) Tiongkok tidak memiliki stigma buruk sebagaimana negara-negara barat di Afrika dalam kaitannya dengan legasi perbudakan dan kolonialisme; (2) Tiongkok hadir sebagai sosok pemberi solusi terhadap negara-negara Afrika, serta penolong yang menjanjikan pertumbuhan ekonomi, dan bukan sekedar lender of the last resort.

Selain itu, Were (2019) juga menjabarkan beberapa argumen lain mengenai keberanian Tiongkok dalam “berinvestasi” di Afrika, antara lain (1) pinjaman merupakan sebuah upaya dalam membentuk kebijakan negara penerima untuk berpihak pada perusahaan-perusahaan Tiongkok di wilayah negara tersebut; (2) pinjaman merupakan upaya untuk menjamin pasokan sumber daya dari negara penerima menuju Tiongkok sebagai jaminan kegagalan pengembalian pinjaman; (3) pinjaman digunakan untuk membangun infrastruktur yang sesuai dengan visi konektivitas BRI; (4) pinjaman merupakan instrumen pengaruh geopolitik dan diplomatik Tiongkok di Afrika; (5) pinjaman justru menjadi sarana dalam membuka lapangan kerja bagi pekerja migran Tiongkok di Afrika, dikarenakan banyaknya proyek-proyek pembangunan. Adanya stigma “jebakan” muncul dikarenakan adanya intensi Tiongkok untuk ‘keluar dari jalur’, dikarenakan adanya pengetahuan bahwa kecil potensi negara-negara Afrika untuk mengembalikan hutang, dan bahwa sesungguhnya yang diinginkan Tiongkok dari Afrika bukanlah pengembalian pinjaman, melainkan kontrol politik dan sumber daya. 

Kesimpulan: BRI Tiongkok dan Dualisme Intensinya

Sebagai sebuah strategi raya, Tiongkok memiliki sejuta alasan dalam mendirikan megaproyek ini. Terlepas dari faktor-faktor pragmatisme ekonomi yang ada, Tiongkok dianggap memiliki nilai-nilai idealis yang dapat menjadi potensi untuk terjadinya transformasi dalam tatanan sistem internasional. Namun di sisi lain, stigma-stigma negatif yang muncul terhadap upaya Tiongkok dalam kasus ini juga bukan tanpa alasan. Bukti-bukti akan adanya diplomasi debt trap dalam BRI dirasa cukup menjadi bukti bahwa Tiongkok bukan ingin mengajukan diri sebagai hegemon yang mengayomi negara-negara rekanannya, tetapi hanyalah seorang aktor pragmatis dan rasional yang mengedepankan kepentingan nasionalnya. Namun pada akhirnya, terlepas dari intensi Tiongkok, strategi negara-negara dalam merespon kerja sama ekonominya dengan Tiongkok dalam kerangka BRI sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan pada dasarnya, BRI tetap memiliki potensi untuk menjadi kerangka kerja sama ekonomi yang sama-sama menguntungkan bagi semua pihak. Namun pada akhirnya, relasi ekonomi di antara negara-negara memang tidak dapat digeneralisasikan, dan masa depan dan keberlanjutan ekonomi dunia bukan merupakan sesuatu yang dapat diprediksi dengan mudah.

Demas Nauvarian adalah mahasiswa dan Asisten Dosen Mata Kuliah Masyarakat, Budaya, dan Politik Afrika program studi Sarjana Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga. Demas memiliki ketertarikan pada studi Geopolitik dan Geoekonomi serta Analisis Kebijakan Luar Negeri, dengan fokus utama pada politik luar negeri Amerika Serikat dan Tiongkok. Ia dapat dihubungi melalui surelnya (demas.nauvarian-2017@fisip.unair.ac.id) atau akun instagramnya (@demasnauvarian).

Referensi

Buku atau Artikel dalam Buku

Shang, Huping. (2019). The Belt and Road Initiative: Key Concepts. Springer Singapore.

Zou, Lei. (2018). The Political Economy of China’s Belt and Road Initiative. World Scientific Publishing.

Artikel Jurnal

Alden, Chris dan Jiang, Lu. (2019). Brave New World: Debt, Industrialization, and Security in China-Africa Relations. International Affairs, 95 (3). 641-657.

Beeson, Mark and Li, Fujian. (2016). China’s Place in Regional and Global Governance: a New World Comes into View. Global Policy. Juni. 

Beeson, Mark. (2018a). China’s Big Idea: Making Sense of the Belt and Road Initiative, Eonomic and Political Studies. 6 (3). 237-239.

Beeson, Mark. (2018b). Geoeconomics with Chinese Charateristics: the BRI and China’s Evolving Grand Strategy. Economic and Political Studies. 6 (3) 240-256.

Mustafic, Almir. (2016). China’s One Belt, One Road and Energy Security Initiatives: a Plan to Conquer the World. Sarajevo Journal of Social Sciences. 2: 153-190.

Seminar, Lokakarya, dan Perkuliahan

Beeson, Mark. (2019a). Geoeconomics. dalam Studium Generale China’s Belt and Road Initiative: the New Global Geopolitics Giant, 4 November, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. 

Beeson, Mark. (2019b). “BRI’s Global and Regional Impact”, dalam Studium Generale China’s Belt and Road Initiative: the New Global Geopolitics Giant, 4 November, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga. 

Laporan Penelitian

Breuer, Julia. (2017). Two Belts, One Road ? The Role of Africa in China’s Belt & Road Initiative. Blickwechsel Commentary. Stiftung Asienhaus.

Cai, Peter. (2017). Understanding China’s Belt and Road Initiative. Analisis. Maret. Lowy Institute.

Damuri, Yose Rizal et al. (2019). Perceptions and Readiness of Indonesia towards the Belt and Road Initiative. Laporan Riset. Centre for Strategic and International Studies.

Shattuck, Thomas J. (2018). “How China Dictates the Rules of the Game”, Laporan Penelitian. Foreign Policy Research Institute.

Were, Anzetse. (2018). Debt Trap? Chinese Loans and Africa’s Development Options. Policy Insights, nomor 66. South African Institute of International Affairs.

Artikel Daring

Chatzky, Andrew and McBride, James. (2019, 21 Mei). China’s Massive Belt and Road Initiative. Council on Foreign Relations https://www.cfr.org/backgrounder/chinas-massive-belt-and-road-initiative.

Eyewitness News. (2018). Sub-Saharan Africa’s Trade with China. https://ewn.co.za/2018/09/03/sub-saharan-africa-s-trade-with-china.

Nantulya, Paul. (2019, 22 Maret). Implications for Africa from China’s One Belt One Road Strategy. Africa Center for Strategic Studies. https://africacenter.org/spotlight/implications-for-africa-china-one-belt-one-road-strategy/.

Xinhua. (2019, 14 Desember). Kenya Host Forum on China-Africa Energy Cooperation. http://www.xinhuanet.com/english/2019-12/14/c_138629468_2.htm.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *