Between EU and Belarus: Who Should be Responsible for Belarus–Poland Migrant Crisis?

0

Ilustrasi dari FPCI UMY

Jika negara menciptakan kondisi yang berbahaya dan tidak aman bagi warga negaranya, rasa takut dan khawatir akan timbul di benak masyarakat. Sesuai dengan sifat dasar manusia yang ingin terus bertahan hidup, warga negara yang merasa dirinya terancam akan mencari tempat terbaik menurut mereka yang bisa melindungi dan menjamin kehidupan mereka kedepannya. Mereka berani mengambil risiko yang besar dan melakukan segala cara agar bisa terhindar dari bahaya untuk dapat melanjutkan kehidupan mereka seperti biasa. Namun terkadang, tidak semua hal berjalan sesuai dengan rencana. Krisis imigran yang sedang terjadi di perbatasan Belarus–Polandia adalah akibat dari kegagalan negara dalam melindungi warga negaranya dari ancaman dan rasa takut. Banyak pengungsi asal Timur Tengah dan Afrika yang mencari suaka untuk melindungi diri karena kondisi negara yang tidak aman. Negara asal imigran memang memiliki andil dalam kejadian ini, namun apakah krisis ini murni kesalahan mereka yang gagal melindungi warga negaranya?

Krisis imigran di perbatasan Belarus–Polandia bermula dari Belarus yang membuka akses perbatasannya dengan Polandia, dan mendorong imigran ilegal yang berasal dari Timur Tengah dan Afrika untuk masuk ke wilayah Polandia. Sejak awal Oktober 2021, ribuan imigran berusaha untuk masuk ke Polandia melalui perbatasan Belarus–Polandia (Reuters, 2021). Belarus melakukan penyaluran imigran dari Timur Tengah dan Afrika dengan cara bekerja sama dengan agen travel di Timur Tengah, dan memberikan visa liburan bagi warga Timur Tengah dan Afrika untuk terbang ke Minsk, Belarus. Dengan membayar ribuan dollar, warga berbondong-bondong terbang ke Belarus dan ingin bermigrasi ke negara-negara Uni Eropa (UE)  dengan harapan akan mendapat bantuan yang lebih baik. 

Bukannya untung malah buntung, para imigran terjebak di perbatasan Belarus–Polandia tanpa kejelasan. Mereka tidak bisa menggantungkan nasibnya pada kedua negara tersebut, karena Belarus terus mendorong mereka untuk masuk ke wilayah Polandia sedangkan Polandia tidak mau menerima imigran ilegal yang memaksakan diri untuk masuk ke wilayah negaranya. Belarus juga membuka akses perbatasan ke negara UE seperti Latvia dan Lithuania, namun kebanyakan pengungsi memilih Polandia sebagai tempat pelarian mereka. Meskipun begitu, tak banyak imigran berhasil masuk ke wilayah Polandia, Latvia dan Lithuania, hanya imigran yang beruntung menemukan jalur tersembunyi saja yang berhasil. Imigran yang gagal masuk ke negara UE harus tetap tinggal di perbatasan, karena mereka juga tidak bisa kembali ke Belarus. Jumlah imigran juga meningkat setiap harinya sehingga menimbulkan krisis imigran di perbatasan Belarus–Polandia.

Puncak dari krisis imigran di perbatasan Belarus–Polandia terjadi pada 16 November 2021, bentrok antara aparat kepolisian Polandia dan imigran pecah di perbatasan dua negara tersebut (Tempo.co, 2021). Polisi Polandia berusaha mencegah imigran ilegal yang berusaha masuk ke negara mereka, sedangkan imigran terus memaksakan diri untuk menyebrang ke Polandia dengan mendorong pagar perbatasan dan melemparkan batu ke tentara dan penjaga perbatasan. Kondisi imigran yang tak terkendali ini akhirnya membuat aparat polisi Polandia menembakkan meriam air dan gas air mata ke arah massa. Sejauh ini, tiga belas nyawa melayang karena krisis imigran yang terjadi. Hal ini disebabkan karena cuaca musim dingin yang buruk serta kekurangan obat-obatan dan makanan. 

Mengapa Belarus dengan mudah membuka akses bagi para imigran untuk masuk ke tanah Eropa? Menurut UE, Belarus sengaja melakukan hal tersebut karena adanya dendam atas sanksi yang telah dijatuhkan UE ke Belarus sejak 2020 (BBC News, 2021). Sanksi yang dijatuhkan UE pada Belarus berawal dari dugaan kecurangan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Belarus tahun 2020 yang dimenangkan Alexander Lukashenko dengan perolehan suara lebih dari 80% (AP News, 2020). Mengutip dari AP News, pihak Lukashenko melakukan kecurangan dengan cara memanipulasi suara kosong dan memaksa petugas pemungutan suara untuk menandatangani dokumen yang berisikan manipulasi data yang memenangkan Lukashenko sebagai presiden terpilih. UE menyatakan dengan adanya kecurangan tersebut menandakan bahwa Pilpres ini tidak memenuhi standar internasional. UE juga menyebutkan jika Pilpres Belarus di tahun 2020 sebagai “neither free, nor fair” (tidak bebas dan tidak adil), serta tidak mengakui Alexander Lukashenko sebagai presiden terpilih (UE relations with Belarus, n.d.). Alexander Lukashenko merupakan Presiden Belarus yang sudah menjabat selama 26 tahun atau sejak 1994, dan dikenal sebagai diktator terakhir di tanah Eropa (Sicca, 2020).

Dugaan kecurangan hasil Pilpres tersebut membuat warga Belarus turun ke jalan dan menolak hasil Pilpres. Protes besar-besaran tersebut dilakukan para demonstran karena mereka menganggap bahwa pilpres Belarus dipenuhi dengan kecurangan, dan mereka tidak bisa menerima hasilnya (Tempo.co, 2020). Menanggapi aksi protes tersebut, Pemerintah Belarusia melakukan kekerasan, penindasan dan penahanan pada pihak yang terlibat seperti demonstran, pihak oposisi, hingga wartawan. Tindakan yang menimbulkan korban berjatuhan, mulai dari luka ringan hingga adanya korban jiwa ini membuat UE geram. UE yang memegang teguh nilai demokrasi, menentang keras tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Belarus tersebut dan meminta agar kekerasan tersebut segera dihentikan. 

Untuk mencegah hal yang sama terulang kembali, UE menjatuhkan sanksi pada 44 pihak Belarusia pada 2 Oktober 2020 (European Council, 2021). Sanksi tersebut berisi larangan masuk atau transit ke wilayah UE, pembekuan aset, dan penutupan akses ekonomi bagi pihak-pihak terkait. Kemudian pada 16 November 2020, UE menambah 15 nama ke dalam daftar sanksi termasuk Presiden Belarusia, Alexander Lukashenko. Di kemudian hari, UE kembali menambah 36 nama ke dalam daftar sanksi bagi Belarus pada 17 Desember 2020. Dengan penambahan tersebut, total pihak yang terlibat dalam pelanggaran adalah sebanyak 88 individu dan 7 entitas. 

Tak kenal takut, Belarus kembali berulah dengan mencegat pesawat ‘Ryanair’ untuk mendarat paksa di Minsk, Belarus pada 23 Mei 2021 (BBC News, 2021). Alasan Belarus meminta pendaratan paksa pesawat tujuan Yunani–Lithuania tersebut adalah karena adanya dugaan ancaman bom yang berasal dari Swiss, namun pada akhirnya bom tidak ditemukan di dalam pesawat. Berbeda dengan tujuan awal, Pemerintah Belarus malah menangkap Roman Protosevich yang merupakan wartawan asal Belarus beserta kekasihnya, Sofia Sapega. Protosevich ditahan oleh Belarus atas dugaan pemberontakan rezim Belarus di bawah Alexander Lukashenko. Selama masa interogasi, Belarus menggunakan cara kekerasan dan penindasan yang melanggar hak asasi manusia (HAM).

Menanggapi insiden ini, pada 4 Juni 2021 UE menambahkan sanksi pada Belarus yaitu dengan menerbitkan larangan untuk melintasi udara negara UE dan larangan memasuki bandara negara UE bagi seluruh penerbangan asal Belarus. Larangan akses penerbangan bagi Belarusia tersebut juga berlaku di negara yang mendukung keputusan UE seperti Makedonia Utara, Montenegro, Serbia dan Albania sebagai calon anggota UE serta Islandia, Liechtenstein, dan Norwegia sebagai anggota EFTA sekaligus anggota European Economic Area. Pada 21 Juni 2021, UE akhirnya mengadakan pertemuan putaran keempat terkait sanksi yang dijatuhkan ke Belarus. Sebanyak 78 individu dan 8 entitas asal Belarus masuk sebagai nama baru di daftar sanksi milik UE. Hingga saat ini, pihak yang terdaftar dalam sanksi milik UE untuk Belarus adalah sebanyak 166 individu dan 15 entitas.

Pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Belarus menjadi dasar mengapa UE menjatuhkan sanksi ke pihak-pihak terkait. Perilaku semena-mena Pemerintah Belarus yang tidak sejalan dengan norma internasional tidak bisa dibiarkan begitu saja, sehingga UE berusaha untuk membuat Belarus jera dan tidak mengulang kembali pelanggaran tersebut. Jika Belarus bisa memperbaiki keadaan negaranya, maka ada kemungkinan UE akan mencabut sanksi yang telah dijatuhkan selama tahun 2020 hingga 2021. UE juga telah menyiapkan dukungan bagi Belarus untuk melakukan perubahan demokrasi yang damai, termasuk bantuan penuh dalam perekonomian Belarus (Council of the EU press release, 2020).  Sebaliknya, jika Belarus terus melawan norma internasional dan kembali melakukan pelanggaran, UE bisa saja menambah sanksi lebih dari yang berlaku saat ini. 

Apabila kita melihat dalam gambaran besar, dalang dari krisis imigran ini adalah Belarus yang membuka perbatasan mereka ke negara anggota UE yang berbatasan langsung dengan Belarus seperti Latvia, Lithuania, dan Polandia. Tindakan Belarus yang ingin membalas dendam kepada UE dengan menggunakan cara tidak manusiawi ini tidak dibenarkan, karena Belarus hanya mendorong imigran ilegal tanpa memberikan mereka perlindungan setelah masuk ke area perbatasan. Ketika mereka memutuskan untuk kembali ke Belarus, mereka malah mendapat kekerasan dari penjaga perbatasan Belarus, dan menyuruh imigran untuk masuk ke Polandia saja (Adler, 2021). Nyawa ribuan orang terancam tanpa adanya kepastian menjadi kesalahan besar yang dilakukan oleh Belarus. Tidak seharusnya Belarus melakukan balas dendam dengan mempertaruhkan nyawa manusia demi membuktikan seberapa kuat negaranya mampu melawan UE.

Dengan menggunakan imigran sebagai senjata melawan UE, cara ini menjadi bumerang bagi Belarus karena pada akhirnya mereka harus bertanggungjawab untuk menampung imigran yang mereka bawa. Ribuan imigran yang berada di perbatasan Belarus–Polandia ditarik ke Belarus dan dievakuasi ke daerah lain untuk selanjutnya dipulangkan ke negara asal (Dixon, 2020). Perlawanan yang dilakukan Belarus ke UE ini dapat dianggap gagal, karena UE kembali memperketat sanksi yang telah dijatuhkan ke Belarus sebelumnya. Kejadian ini menjadi pil pahit yang harus ditelan Alexander Lukashenko karena menanggung malu atas gagalnya upaya melawan UE. Kini Belarus harus menanggung konsekuensi dari kebijakan yang telah diambilnya dan harus bertanggungjawab atas imigran yang mereka ‘tipu’.

Di sisi lain, Polandia yang menjadi anggota Uni Eropa juga mengambil tindakan yang salah dalam mengatasi situasi buruk ini. Polandia tidak seharusnya menggunakan kekerasan saat berhadapan dengan imigran yang melakukan pemberontakan. Sebagai anggota UE, sudah seharusnya Polandia mengutamakan kemanusiaan dalam masalah ini. Terlebih UE memiliki kebijakan tentang imigran, yaitu The European Union Common European Asylum System (CEAS) yang mana negara UE wajib memberi perlindungan pada pencari suaka atau pengungsi sebagai hak dasar bagi setiap manusia (Setiabudi, 2021). Polandia melarang negara lain untuk ikut campur dalam penyelesaian krisis imigran ini. Menteri Luar Negeri Polandia, Mateusz Morawiecki menyatakan bahwa tidak ada negara UE yang bisa memutuskan bagaimana Polandia harus mengambil sikap, karena ini terkait dengan kedaulatan Polandia (Bloomberg, 2021). Dalam krisis ini, Polandia tidak memberikan perlindungan kepada imigran sejak awal mereka datang ke daerah perbatasan, karena mereka merupakan imigran ilegal. Namun terlepas dari kekerasan yang dilakukan pada 16 November 2021, penjaga perbatasan Polandia terus menyuruh imigran untuk kembali ke Belarus tanpa adanya kekerasan. Serba salah, Polandia tidak bisa berbuat banyak selain melarang para imigran yang berusaha masuk ke Polandia. 

Sementara itu, Lukashenko terus menekan UE yang dianggap tidak ingin menyelesaikan masalah krisis migran ini. Akhirnya, pada Rabu 17 November 2021 UE memutuskan akan mengirim bantuan berupa makanan, selimut, dan bantuan lainnya senilai €700.000 bagi imigran yang terjebak di perbatasan Belarus–Polandia (Reuters, 2021). Selain itu, Lukashenko juga menginginkan agar UE menampung 2.000 imigran di negara UE, sedangkan 5.000 imigran lainnya akan dipulangkan ke negara masing-masing oleh Belarus (Reuters, 2021). Dalam pernyataan yang diberikan oleh Menteri Dalam Negeri Jerman, Horst Seehofer, UE akan melakukan apapun demi melindungi imigran yang berjuang di tengah cuaca dingin yang buruk. Namun penampungan sementara itu bukan berarti UE menerima usul dari Lukashenko, karena UE tidak akan menerima imigran ilegal. UE juga menyatakan bahwa tidak akan ada negosiasi lanjut dengan Belarus, karena krisis ini merupakan tanggung jawab Belarus sebagai negara yang membuka perbatasan (AlJazeera, 2021). UE sudah mengambil keputusan terbaik untuk melindungi kemanusiaan, kini saatnya Belarus mengembalikan situasi seperti semula.

Seberapa besar kepentingan nasional yang dimiliki negara, tidak seharusnya kemanusiaan digunakan sebagai alat untuk mencapai hal tersebut, terlebih jika mengorbankan nyawa seseorang. Ini bukan saatnya menunjuk satu sama lain tentang siapa yang harus bertanggung jawab, melainkan semua pihak yang terlibat harus bertanggung jawab atas kejadian ini. Negara harus membuka mata terhadap kondisi memprihatinkan ini. Kejadian ini harus menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk memastikan bahwa krisis imigran karena kepentingan negara tidak akan terulang kembali di seluruh belahan bumi.

References:

Adler, N. (2021, November 15). Poland-Belarus border: ‘People are dying in the forest’. Retrieved from AlJazeera: https://www.aljazeera.com/features/2021/11/15/belarus-poland-border-people-are-dying-in-the-forest

AlJazeera. (2021, November 18). Belarus moves migrants and refugees away from Polish border. Retrieved from AlJazeera: https://www.aljazeera.com/news/2021/11/18/minsk-proposes-plan-to-ease-belarus-poland-border-crisis

BBC News. (2021, November 9). Belarus migrants: EU accuses Lukashenko of gangster-style abuse. Retrieved from BBC News: https://www.bbc.com/news/world-europe-59215769

Dixon, R. (2020, November 17). Belarus’s Lukashenko tried to use migrants as a weapon. That’s now turned against him. Retrieved from The Washington Post: https://www.washingtonpost.com/world/europe/belarus-migrant-crisis-lukashenko/2021/11/17/6c05c4a6-46fd-11ec-beca-3cc7103bd814_story.html

Donahue, P., & Kudrytski, A. (2021, November 19). Germany Rejects Belarus’ Call for EU to Take 2,000 Refugees. Retrieved from Bloomberg: https://www.bloomberg.com/news/articles/2021-11-18/germany-rejects-belarus-call-for-eu-to-take-2-000-refugees

EU relations with Belarus. (n.d.). Retrieved from European Council: Council of the European Union: https://www.consilium.europa.eu/en/policies/eastern-partnership/belarus/

European Council. (2021). Timeline – EU restrictive measures against Belarus. Retrieved from European Council: Council of the European Union: https://www.consilium.europa.eu/en/policies/sanctions/restrictive-measures-against-belarus/belarus-timeline/#

European Council Press Release.(2020, December 17). Belarus: EU imposes third round of sanctions over ongoing repression. Retrieved from European Council: Council of the European Union: https://www.consilium.europa.eu/en/press/press-releases/2020/12/17/belarus-eu-imposes-third-round-of-sanctions-over-ongoing-repression/

Manenkov, K., & Litvinova, D. (2020, September 1). Belarus poll workers describe fraud in Aug. 9 election. Retrieved from AP News: https://apnews.com/article/international-news-ap-top-news-europe-72e43a8b9e4c56362d4c1d6393bd54fb

Reuters. (2021, November 18). Belarus says it will return 5,000 migrants, wants EU to take 2,000. Retrieved from Reuters: https://www.reuters.com/business/aerospace-defense/belarus-says-it-will-return-5000-migrants-wants-eu-take-2000-2021-11-18/

Reuters. (2021, November 17). EU to send aid to migrants at Belarus border. Retrieved from Reuters: https://www.reuters.com/world/europe/poland-faces-months-migration-pressure-belarus-minister-says-2021-11-17/

Setiabudi, C. S. (2021). PENGARUH KEBIJAKAN PENGUNGSI UNI EROPA TERHADAP PERKEMBANGAN GERAKAN EUROSCEPTIC DI EROPA. WANUA: WANUA : JURNAL HUBUNGAN INTERNASIONAL, Vol. 6 No. 2 , 13-35.

Sicca, S. P. (2020, September 17). Setelah November Parlemen Eropa Tidak Akui Alexander Lukashenko sebagai Presiden Belarus. Retrieved from Kompas.com: https://www.kompas.com/global/read/2020/09/17/224639170/setelah-november-parlemen-eropa-tidak-akui-alexander-lukashenko-sebagai

Tempo.co. (2020, August 13). Kepala HAM PBB Mengutuk Kekerasan di Belarus. Retrieved from Tempo.co: https://dunia.tempo.co/read/1375345/kepala-ham-pbb-mengutuk-kekerasan-di-belarus/full&view=ok

Farah Diana Patcha adalah mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Staff Research and Analysis FPCI Chapter UMY. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @patcha.f

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *