Cao Cao: Sang Machiavelli Tiongkok

0

Ilustrasi Cao Cao dalam media perfilman. Foto: Movie Three Kingdoms

Dalam mempelajari Ilmu Hubungan Internasional, kita pasti akan menemui tokoh Niccolo Machiavelli. Ia dapat dikatakan sebagai tokoh realis klasik fundamental yang memberikan dasar dari pemikiran realisme klasik itu sendiri. Pemikirannya tertuang dalam buku The Prince / Il Principe (1532) yang membahas mengenai pandangan Machiavelli mengenai seorang pemimpin (pangeran) yang ideal. Menariknya, jauh lama sebelum buku tersebut dipublikasikan ternyata telah ada sosok yang menyerupai pemimpin ideal Machiavelli di Tiongkok. Menurut penulis, Cao Cao adalah seorang Machiavelli dari Tiongkok yang menjiwai seluruh karakteristik seorang pemimpin ideal menurut buku The Prince oleh Niccolo Machiavelli.

Cao Cao, atau kadang dipanggil Mengde, merupakan pemimpin Kerajaan Wei di masa Tiga Kerajaan Tiongkok (220-280 M). Dia digambarkan sebagai seorang yang licik, percaya diri, dan tegas dalam setiap media publikasi yang pernah memunculkannya. Sikap seperti itu yang membuatnya menjadi tokoh antagonis dalam novel Romansa Tiga Kerajaan, serial TV Three Kingdoms (2010), dan bahkan seri gim video Dynasty Warriors. Menurut penulis, penggambaran Cao Cao dalam budaya populer tidaklah menunjukkan kepiawaiannya secara historis dan hal ini perlu dibenarkan. Cao Cao adalah seorang pemimpin berkualitas yang layak menjadi salah satu pemimpin dari tiga kerajaan, dan ia bukan seorang tiran yang sekadar haus akan kuasa.

Menurut Machiavelli, dunia adalah tempat yang berbahaya dan seorang pemimpin haruslah bisa muncul pada masa sulit untuk menyelamatkan negara itu. Hal tersebut seolah sebuah panggilan bagi Cao Cao yang mendapat julukan “Pahlawan dalam Kekacauan” (hero of chaos). Banyak yang salah menginterpretasi arti dari julukan ini dan mengasumsikan bahwa julukan ini menandakan bahwa Cao Cao adalah seorang pahlawan yang membawa kekacauan. Kenyataannya adalah, julukan ini berasal dari manifesto Cao Cao kepada Liu Bei yang mana ia menyatakan bahwa Kerajaan Han sudah tidak mampu memberi kesejahteraan bagi rakyatnya dan ia harus turun tangan di tengah kekacauan. Pada saat itu, Cao Cao bersumpah untuk menyelamatkan tanah Tiongkok dari kesengsaraan rakyatnya.

Cao Cao menyadari bahwa dalam perjuangannya menguasai Tiongkok, mau tak mau ia harus berhadapan dengan para kekuatan ancaman yang ada di sekitarnya. Menurutnya, pemimpin yang tidak segera ditaklukkan akan memiliki waktu untuk mengembangkan pasukan untuk mengalahkannya. Disinilah alasan Kerajaan Wei melakukan invasi terus menerus, untuk mempertahankan kekuatan mereka dari ancaman. Aksi Cao Cao menaklukkan sesama pemimpin seperti Tao Qian, Lu Bu, dan Yuan Shao adalah perwujudan dari keinginan Kerajaan Wei untuk mematikan kuasa lawan, sekaligus mengumpulkan kuasa sendiri. Hal yang sama dinyatakan oleh Machiavelli dalam bukunya yang mana seorang pemimpin harus mampu mematikan sumber kekuatan dari luar untuk mencegah munculnya kekuatan baru. Kenyataan bahwa Cao Cao membunuh semua pemimpin lokal yang ia kalahkan tanpa kecuali adalah perwujudan ketakutan Cao Cao atas munculnya pemberontakan di masa depan.

Machiavelli pernah menyatakan bahwa pemimpin yang baik harus mampu menjadi sosok rubah dan singa secara sekaligus. Menjadi singa berarti memiliki kuasa yang besar, ditakuti, dan dihormati oleh musuh, namun seekor singa saja hanya memiliki kuasa dan tidak piawai dalam menghindari jebakan. Untuk itulah, seorang pemimpin perlu menjadi rubah agar mereka bisa menyiasati jebakan dan menjebak orang lain. Akan tetapi, pemimpin yang piawai tidak boleh hanya menjadi singa atau rubah saja. Pemimpin yang kuat tapi bodoh hanya akan menjadi tiran dan pemimpin yang lemah tapi licik hanya akan dijatuhkan oleh rakyat. Cao Cao menunjukkan kedua sifat ini ketika ia memanggil Ma Teng, pemimpin daerah Xi Liang, untuk menghadap padanya. Cao Cao memiliki kuasa yang cukup besar untuk mengundang seorang musuh dan rasa hormat Ma Teng terhadap Cao Cao membuatnya tidak dapat menolak panggilan ke ibukota tersebut. Cao Cao menunjukkan sifat rubahnya ketika ia menyadari Ma Teng berencana membunuhnya ketika sampai di ibukota. Kemampuan Cao Cao untuk memanggil Ma Teng dan menghindari jebakannya adalah bukti bahwa Cao Cao telah berlaku layaknya singa dan rubah. 

Secara eksternal, hubungan Cao Cao dengan daerah lain di masa Tiga Kerajaan sangatlah buruk. Namun, hal itu tidak penting bagi Cao Cao yang memiliki militer dan teritori terbesar dibandingkan semua pemimpin lokal. Menurut Cao Cao, segala hal yang ia lakukan adalah tindakan yang terjustifikasi demi menjalankan ambisinya untuk mengembalikan kestabilan ke negeri Tiongkok. Sifat the end justifies the means adalah sifat yang kerap ditonjolkan Machiavelli dalam menjelaskan pemimpin idealnya. Sifat ini sendiri berarti seseorang tidak peduli akan proses yang ia lalui atau cara yang ia gunakan untuk mendapat sebuah hasil, yang penting adalah hasil tersebut sesuai dengan yang diinginkan.

Machiavelli menyatakan bahwa seorang pemimpin harus memenuhi beberapa karakter yang meliputi siap perang, ditakuti rakyat, meritokratis, tegas, dan tidak dibenci rakyatnya. Cao Cao sendiri merupakan komandan militer yang tangguh dan amat strategis. Bukti bahwa ia siap perang adalah penempatan jenderalnya yang ia atur agar selalu siap menghadapi serangan musuh. Kesiapan Cao Cao untuk perang dibuktikan ketika ia berhasil menjalankan kampanye timurnya sambil sukses bertahan dari serangan kerajaan Wu pimpinan Sun Quan dalam perang Hefei. Ia telah memprediksi serangan Sun Quan dan ia menempatkan Jenderal Zhang Liao, Li Dian dan Yue Jin untuk mempertahankan He Fei.

Cao Cao juga seorang figur yang ditakuti oleh rakyat, namun bukan karena ia berbuat semena-mena. Ia ditakuti oleh rakyat karena sifatnya yang sangat tegas dan karismatik dalam memberikan hukuman. Bentuk ketegasan Cao Cao adalah ketika ia menghukum Xu Chu, seorang jenderal andalannya dan melarang dirinya ikut berperang karena Xu Chu membunuh seseorang ketika mabuk. Cao Cao tidak memandang bulu dalam memberikan hukuman, ia menyatakan bahwa kekejaman adalah sesuatu yang memberikan ketakutan dan ketidakmampuannya menghukum orang hanya akan membuatnya terlihat lemah. Walau begitu, Cao Cao sendiri berhasil mereformasi agrikultural Tiongkok dan menghentikan krisis pangan masyarakat Tiongkok utara, hal itu membuat masyarakat Kerajaan Wei amat mengaguminya. Bahkan sepeninggal Cao Cao, ia menyatakan meritokrasinya dengan memilih Cao Pi yang lebih berpengalaman militer dibanding Cao Zhi untuk menjadi penerusnya. 

Salah satu faktor yang membuat Cao Cao memiliki sifat-sifat yang menyerupai pemimpin ideal Machiavelli nampaknya adalah pengaruh buku Art of War milik Sun Tzu. Pada masa Tiga Kerajaan, tidak semua orang mampu memahami sebenarnya arti buku tersebut. Seorang yang mampu membaca dan menerapkan Art of War dikatakan sebagai seseorang yang tidak akan pernah kalah dalam perang. Cao Cao tidak hanya mampu membaca Art of War, ia mampu menulis tanggapannya mengenai buku tersebut. Menurutnya, buku tersebut bukanlah manual perang biasa, melainkan adalah sebuah petunjuk cara hidup. Menyerang dengan akurat dan cepat misalnya, adalah cara Sun Tzu menyampaikan bahwa seseorang harus mampu menekan lawan bicara dengan akurat dan tidak memberi mereka waktu lama berpikir.

Pengaruh Art of War dalam Cao Cao pun menyebabkan pada pandangannya yang sangat menyerupai pandangan realpolitik. Cao Cao memandang bahwa segala sesuatu yang penting adalah kuasa yang nyata dan bisa ia eksploitasi. Peraduan politik dan militer menurut Cao Cao didasarkan atas kuasa nyata yang dimiliki oleh seseorang, hal ini berarti pihak yang lemah akan selalu kalah dengan yang kuat. Ketika Cao Cao harus kehilangan teritori Xuzhou untuk memperoleh stempel kekaisaran yang merupakan lambang kuasa kaisar Han, ia murka besar. Ia tahu bahwa stempel kekaisaran tidak lagi memiliki nilai kuasa yang besar jika dinasti Han telah sangat lemah. Machiavelli sendiri juga sangat berlandaskan realpolitik dalam menjelaskan pemimpin idealnya. 

Penggambaran Cao Cao sebagai psikopat yang kejam adalah pandangan yang sempit, mirip seperti pemahaman populer tentang Machiavelli. Cao Cao merupakan perwujudan dari realisme klasik yang diimplementasikan dalam kepemimpinan, serupa seperti yang ditulis Niccolo Machiavelli dalam bukunya, The Prince. Seandainya naskah resensi Cao Cao mengenai Art of War berhasil ditemukan dan diterjemahkan, ada kemungkinan bahwa Cao Cao akan menjadi salah satu tokoh Ilmu Hubungan Internasional non-Barat pelopor realisme klasik. Mao Zedong pun menyatakan bahwa Cao Cao adalah salah satu inspirasinya dalam menjadi seorang pemimpin. 

Walau pada akhirnya Cao Cao meninggal sebelum dapat menyatukan Tiongkok, setidaknya Cao Cao telah menunjukkan bahwa pemimpin Machiavellian bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dijalankan.

Albert Julio merupakan seorang mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @im.the.aj

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *