Dari Abe hingga Kishida: Jalan Panjang Demokratisasi Politik Perempuan Jepang

0

Ilustrasi. Foto dari Bloomberg.com

Partisipasi setiap individu merupakan hal fundamental dalam suatu pemerintahan yang demokratis. Adanya demokrasi menjamin bahwa setiap individu memiliki “hak yang sama” untuk menentukan kehidupannya dalam segala aspek berbangsa dan bernegara. Dengan begitu luas dan beragamnya konsep demokrasi, setiap negara menganut sistem demokrasi yang  unik dan  beragam Meski demikian, demokrasi akan dinilai tidak sempurna bahkan tidak berfungsi semestinya apabila masih terdapat ketidaksetaraan gender dalam sistem pemerintahan yang dijalankan suatu negara.

Dalam konteks inilah Jepang, berdasarkan data dari laporan Forum Ekonomi Dunia (2023)  merupakan negara yang berada di posisi 125 dari 146 negara dalam hal kesetaraan gender dan urutan 59 dari 138 negara dalam sub-indeks pemberdayaan politik perempuan (Sugiyama, 2023). Indeks ini merupakan ukuran yang terbilang rendah diantara negara-negara maju dan demokratis lainnya, termasuk di wilayah Asia Timur dan Tenggara (Stores, 2020). Seluruh data tersebut menunjukan minimnya kemajuan dari angka partisipasi politisi perempuan di Jepang dalam satu dekade terakhir. Pasalnya, Jepang hanya memiliki 5 dari 19 menteri kabinet dan 10% anggota Diet di DPR. Angka tersebut sangat jauh dari angka rata-rata global sebesar 25% (Akimoto, 2021). Rendahnya peringkat Jepang dalam indeks-indeks ini tentu menjadi suatu anomali, dan dalam konteks demokrasi, sesuatu yang harus diperbaiki.

Patriarki dan Pembatasan Perempuan Jepang Dalam Politik

Menurut Stores (2020), rendahnya kesetaraan gender dalam sistem pemerintahan Jepang, selain karena hambatan sosio-kultural, berakar pada stagnasi politik Jepang dan Undang-Undang (UU) mengenai kesetaraan gender yang belum mengikat secara hukum. Internalisasi nilai budaya patriarki dan maskulinitas di Jepang telah mentransformasi persepsi masyarakat mengenai pembagian kerja berdasarkan gender. Secara umum, kawasan Asia Timur mempunyai kenyataan serupa, tetapi sebagian besar berhasil meningkatkan jumlah perempuan dalam parlemen (Stores, 2020).

Di sisi lain, Jepang masih belum bisa meningkatkan jumlah persentase partisipasi perempuan dalam pemerintahannya. Kompleksitas permasalahan ini sejatinya diakibatkan oleh minimnya progresivitas pemerintah untuk melibatkan perempuan dalam sistem pemerintahan.  Kuota gender yang menjadi salah satu solusi dalam mengatasinya pun belum bisa terpenuhi karena adanya sistem pemilu dan dinasti politik yang menghambat proses pencalonan kandidat perempuan dalam pemerintahan. Padahal pada implementasinya, politisi perempuan lebih tangguh dalam memberantas korupsi, lebih kolaboratif dalam mencapai konsensus dengan pihak oposisi, dan lebih baik dalam menangani isu-isu terkait dengan pengasuhan anak dan kesejahteraan anak, pendidikan, rendahnya angka kelahiran, kesejahteraan sosial, dan pelayanan kesehatan di Jepang (Stores, 2020).

            Upaya peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik Jepang ditujukan untuk memberi goresan warna baru dalam pengambilan kebijakan dan perumusan hukum yang lebih peka gender.  Menurut John Stuart Mill dan Harriet Taylor dalam Tong & Botts (2017), keterlibatan perempuan dalam politik berdasarkan pandangan teori feminisme merupakan pemberian kesempatan dan hak yang sama bagi perempuan. Dengan menjadikan perempuan sebagai subjek dari politik, hal tersebut akan membentuk arah kebijakan pemerintahan yang lebih seimbang dan setara dalam menyalurkan aspirasi. Bagaimana persisnya manuver pemerintah Jepang dalam merespon hal ini? Seberapa besar dampaknya? Tulisan ini akan mengulas hal tersebut dengan menyajikan kebijakan PM Shinzo Abe dan Fumio Kishida

Pendorongan Keterlibatan Perempuan pada Masa Kepemimpinan Shinzo Abe

Pemerintahan Jepang di bawah Perdana Menteri Shinzo Abe melakukan perubahan yang lebih progresif terkait upaya menaikkan partisipasi perempuan di aspek politik. Perubahan ini muncul pada periode kedua kepemimpinannya yakni tahun 2012-2020. Melalui Womenomics, terimplementasikan beberapa kebijakan yang membuka akses kepada perempuan untuk lebih terlibat. Womenomics yang dibawakan Abe berupaya mendorong terciptanya masyarakat yang nyaman bagi laki-laki dan perempuan di mana keduanya bertanggung jawab bersama baik mengenai pekerjaan, pengurusan pekerjaan rumah, serta pengasuhan anak (Gender Equality Bureau, 2017).

Abe juga mendorong adanya kemudahan dan kenyamanan bagi perempuan usia produktif untuk aktif berpartisipasi di bangku pemerintahan. Misalnya, melalui The Guideline for Promotion of Women’s Empowerment and Work-life Balance of Female National Government Employee yang telah diformulasikan sejak 2014. The Fourth Basic Plan for Gender Equality disetujui kabinet pada tahun 2015 dan menjadi pedoman dalam membuat kebijakan yang inklusif. Output penting dari Fourth Basic Plan tersebut salah satunya ialah The Intensive Policy to Accelerate the Empowerment of Women. Kebijakan Intensif yang diimplementasikan pada tahun 2017 menandai pertama kalinya perspektif pemberdayaan perempuan masuk ke dalam alokasi anggaran.        Kebijakan ini berupaya untuk mengurangi hambatan-hambatan yang dihadapi perempuan dari potensi perannya di sektor publik (Gender Equality Bureau, 2017). Perubahan ini mencakup reformasi gaya bekerja yang lebih ramah perempuan, mendorong laki-laki terlibat aktif di ranah domestik, dan meluaskan peluang perempuan melalui berbagai pelatihan penunjang. Pendorongan laki-laki untuk lebih terlibat dalam urusan domestik lebih ditekankan lagi pada era ini; misalnya dengan menambah waktu cuti kerja berbayar bagi pekerja, baik laki-laki maupun perempuan hingga 52 minggu. Kebijakan ini tentunya berupaya untuk menjaga agar kehadiran perempuan dalam dunia kerja, salah satunya politik, tidak kandas ketika mereka mempunyai anak (Dharma et al, 2022).

Lebih lanjut, Abe juga menerapkan beberapa kebijakan untuk menaikkan partisipasi dan representasi perempuan baik di sektor eksekutif. Mengingat urgensi hadirnya perspektif serta kepentingan yang terkait khusus dengan perempuan, maka perwakilannya di parlemen dan kabinet sangat dibutuhkan. Berdasar pada urgensi ini, Abe meluncurkan UU yang dinamai Act on Promotion of Gender Equality in the Political Field pada tahun 2018. Target terukur yang diharapkan dari UU ini ialah meningkatkan partisipasi perempuan di bidang politik yang awalnya sangat rendah agar menyentuh angka 30% (Dharma et al, 2022). Angka 30% ini tidak dimaksudkan untuk membatasi kehadiran perempuan yang tidak boleh lebih dari itu, tetapi sebagai target yang ingin dicapai. Di tahun 2018 misalnya, rata-rata kehadiran perempuan di parlemen tidak melebihi 15% (McKee, 2023). Lebih lanjut, saat Abe menjabat tahun 2014 hanya lima menteri perempuan dari 23 menteri yang dilantik. Tak lama setelah itu pun, dua menteri perempuan mengundurkan diri. Pada periode reshuffle tahun 2018, hanya menyisakan satu perempuan dari kabinet yang ia pimpin. Hal ini menunjukkan bahwa meski telah dirumuskan berbagai kebijakan yang mendukung partisipasinya, perempuan masih menghadapi tantangan yang berat untuk secara aktif  terlibat dalam politik (Aulia, 2023).

Pendorongan Keterlibatan Perempuan pada Masa Kepemimpinan Fumio Kishida

Semenjak Fumio Kishida menjadi Perdana Menteri pada tahun 2021 sampai saat ini, belum ada perubahan signifikan mengenai keterlibatan perempuan dalam politik aktif di Jepang. Meskipun demikian, progres paling disoroti adalah jumlah partisipasi perempuan dalam pergantian kabinet baru pada tahun 2023 menjadi 5 orang dari total 19 orang. Mereka adalah Kamikawa Yoko sebagai Menteri Luar Negeri, Kato Ayuko sebagai Menteri Anak, Jinmi Hanako sebagai Menteri Revitalisasi Regional, Tsuchiya Hanako sebagai Menteri Rekonstruksi, dan Takachi Sanae sebagai Menteri Keamanan Regional. Jumlah partisipasi tersebut menyamai kabinet pada masa pemerintahan Shinzo Abe di tahun 2014 dan Koizumi Junichiro di tahun 2001 (Kim, 2023). Dengan demikian, meskipun terjadi peningkatan partisipasi perempuan dalam kabinet Kishida,  implikasi berarti belum benar-benar terjadi.

Namun, langkah kecil tetaplah sebuah progres. Langkah Kishida menambah jumlah perempuan dalam kabinetnya tak hanya dilihat sebagai komitmennya untuk meningkatkan kesetaraan gender, tapi juga harkat dan martabat perempuan dalam menentukan cara hidup mereka sendiri di ruang publik. Di sisi lain, pada Juni 2023, Kishida yang pada saat itu masih menjabat sebagai ketua umum Partai LDP menekankan perlunya peningkatan partisipasi perempuan menjadi 30% pada tahun 2030 dalam struktur LDP maupun parlemen (Takenaka, 2023). Hal senada juga ia utarakan pada pertemuan HeForShe Summit, di mana Kishida menyampaikan bahwa women’s economic independent merupakan pondasi dari bentuk kapitalisme baru, yang dimaksudkan untuk mengatasi permasalah struktural dan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan (Ministry of Foreign Affairs of Japan, 2022).

Berkaitan dengan hal tersebut, target kuota perempuan secara tersurat sama dengan kebijakan Perdana Menteri Sebelumnya, yaitu Abe dalam Womenomics. Akan tetapi, sampai saat ini, target tersebut belum pernah terpenuhi. Bahkan, partai Kishida, LDP, hanya memiliki 21 anggota perempuan dalam Diet. Jumlah secara keseluruhan dalam Diet pada tahun 2023 belum menyentuh angka di atas 15%. Tidak mengherankan jika Jepang tetap merupakan negara G7 dengan representasi perempuan terendah dalam politik. Hal ini juga didukung atas fakta bahwa dalam forum G7 mengenai gender equality and women empowerment tahun 2023, Jepang diwakili oleh laki-laki yang menjadikannya satu-satunya negara dalam forum yang menunjukkan absennya representasi perempuan (Takenaka, 2023). Dengan demikian, sejatinya Kishida berusaha untuk melanjutkan kebijakan yang digagas oleh Abe, baik dalam Womenomics maupun sistem kuota. Di luar itu, Kishida masih belum mengeluarkan terobosan baru yang progresif dalam menyelesaikan permasalahan tersebut.

Progresivitas dan Efektivitas Kebijakan Abe dan Kishida

Terlihat sejak pemerintahan Abe, pemerintah Jepang telah cukup memberikan progresivitas yang lebih baik sejak tahun 2001 dengan diangkatnya lima menteri perempuan yang sebelumnya selalu stagnan dalam jumlah dua atau tiga (Widyatama 2015). Selain itu, paket kebijakan womenomics pada masa pemerintahannya menjadi gebrakan baru yang mendorong kesetaraan gender dalam pekerjaan, pengurusan pekerjaan rumah, serta pengasuhan anak. Secara garis besar, program tersebut membuka peluang dan kesempatan bagi perempuan untuk lebih berperan aktif terlibat ke dalam seluruh aspek. Dalam pidatonya, Abe menyebut kebijakan ini memiliki tujuan untuk menciptakan lingkungan di mana perempuan dapat bersinar (Gender Equality Bureau, 2017).

Sekalipun kebijakan womenomics Abe terkenal feminis dan sangat peduli dengan isu-isu perempuan, pada praktiknya, kesenjangan gender dalam lingkungan sosial, ekonomi dan politik masih ada. Berdasarkan Lukum (2023), Womenomics yang didorong oleh Perdana Menteri Shinzo Abe memang bertujuan untuk melibatkan peran perempuan dalam segala aspek termasuk politik. Akan tetapi, pada realitanya upaya dan berbagai dobrakan baru yang ia kerahkan belum bisa menekan angka kesetaraan gender di Jepang. Coleman (2017) juga menyebut bahwa Womenomics merupakan salah satu upaya untuk menaikan citra Jepang di dunia berkaitan dengan isu kesetaraan gender dan hak perempuan, salah satunya dalam pemberian bantuan sebesar $3 miliar bagi perempuan di negara berkembang yang diumumkan Abe di majelis umum PBB pada tahun 2013. 

Di sisi lain, menurut Schneider, (2014), alih-alih dinilai sebagai kebijakan yang memperhatikan kesejahteraan hak perempuan, kebijakan Womenomics dinilai hanya terfokus  pada ekonomi nasional yang melibatkan perempuan sebagai alat bisnis untuk mendorong marketisasi dan perdagangan yang neoliberal. Dalam hal ini, Abe tidak mengangkat dan melibatkan perempuan secara konkret sebagai pelaku dari kebijakan, tetapi sebagai objek perhatian publik untuk mencapai kepentingannya. Hal ini diperkuat dengan keterlibatan perwakilan perempuan dalam kebijakan tersebut, yaitu Seiko Noda, Koike Yuriko, dan Tomomi Inada yang memiliki hubungan erat dengan Abe. Dikuatkan oleh data yang dikumpulkan oleh Statista mengenai indeks kesenjangan gender, Jepang selama masa pemerintahan Abe tahun 2016-2018 stagnan di angka 0,66/1 dan bahkan turunmenjadi 0,65 di 2020 (Statista Research Department, 2024).

Hal senada juga ditemui pada pemerintahan Perdana Menteri Fumio Kishida yang baru berjalan sekitar tiga tahun. Kebijakan yang diambil Kishida masih terkesan normatif. Belum ada kebijakan yang benar-benar mengikat dan harus dipatuhi mengenai minimum partisipasi perempuan sehingga hal ini cenderung dianggap remeh. Padahal, instrumen yang mengikat inilah yang akan mendorong lebih kuat agar target peningkatan partisipasi bertambah.  Sementara itu, dalam satu dekade terakhir, isu kesetaraan gender dan pemberdayaan kesejahteraan hak-hak perempuan menjadi sentral dan kerap kali dijadikan isu untuk menaikan elektabilitas. Hal ini serupa seperti yang telah dilakukan pada pemerintahan Abe dan Kishida saat mencalonkan diri. Hasilnya, mereka memang mendapatkan suara yang banyak. Akan tetapi, ketika mereka terpilih menjadi Perdana Menteri, kebijakan mengenai kesenjangan gender di Jepang belum benar-benar efektif (Lukum. 2023).

Kebijakan Kishida untuk menambah anggota perempuan dalam kabinetnya pun terkesan sebagai “formalitas” untuk menghadapi tuntutan domestik. Di sisi lain, kebijakannya ini juga secara tidak langsung dianggap sebagai upaya Kishida untuk kembali menaikkan elektabilitasnya dalam pemilihan Perdana Menteri selanjutnya. Apalagi, pernyataan Kishida dalam HeforShe Summit mengenai perempuan adalah pondasi dari kapitalisme baru menjadi perdebatan. Hal ini seakan upaya meningkatkan kesetaraan gender bukan semata-mata untuk memenuhi hakikat perempuan sebagai sebuah entitas dalam masyarakat, melainkan demi kebutuhan peningkatan ekonomi. 

            Dari hal tersebut, pemerintahan Jepang dari Abe hingga Kishida masih institutif tanpa melibatkan partisipasi dari subjek yang terdiskriminasi, yaitu perempuan. Pemerintah cenderung berfokus pada peningkatan jumlah partisipasi perempuan, khususnya dalam politik tanpa menyediakan ataupun memfasilitasi perubahan yang mendasar, terlebih mengubah perspektif masyarakat mengenai ekspektasi sosial berdasarkan gender. Akibatnya, meskipun pemerintah terus “mendorong” partisipasi perempuan dalam politik, mereka tetap terjebak dalam spektrum kesenjangan struktural secara terus menerus.

Menuju Peningkatan Inklusivitas Gender di Jepang

Tidak bisa dipungkiri bahwa faktor budaya adalah hal yang mendasar dalam kompleksitas permasalahan ini dan untuk melepaskannya merupakan hal yang cukup sulit. Meski begitu, upaya meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik Jepang bisa dimulai dari memperbaiki hambatan institusional yang menyulitkan perempuan Jepang masuk dalam dunia politik. Memperhatikan penelitian dari Ono (2023), masyarakat Jepang cenderung mempercayakan permasalahan politik terhadap laki-laki dan memandang perempuan lebih cocok dalam menangani isu yang cenderung domestik, seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan secara luas. Ono kemudian merekomendasikan penempatan perempuan Jepang dalam politik dengan memperhatikan aspek kepercayaan (trust) masyarakat Jepang atas bidang yang dipercayai bisa menjadi salah satu solusi efektif untuk mempromosikan perempuan dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik berskala nasional Jepang. Dengan memfokuskan keterlibatan perempuan dalam bidang tersebut, diharapkan partisipasi politik perempuan di Jepang akan meningkat karena menguatnya kepercayaan dari masyarakat. Meski begitu, jangan sampai partisipasi politik perempuan menjadi terlokalisir dalam bidang-bidang tertentu saja, sehingga perlu adanya pengawasan lebih lanjut dalam implementasi kebijakan ini.

Jepang di bawah Abe dan Kishida memang telah melakukan kebijakan promotif yang mendorong partisipasi perempuan dalam politik. Akan tetapi, dalam implementasinya belum terlihat tanda-tanda keberhasilan. Partisipasi perempuan masih minim, sementara indeks kesetaraan gender tidak kunjung membaik. Salah satu yang menjadi celah sulitnya menaikkan partisipasi perempuan dalam politik adalah kebijakan yang dibuat kurang mengikat secara hukum. Adanya kepastian hukum dalam kebijakan gender di Jepang memperkuat upaya implementasi menjadi lebih optimal. Rekomendasi untuk mendorong aktifnya perempuan di sektor tertentu yang dipercayai masyarakat memang tidak bisa menyelesaikan permasalahan gender di Jepang secara menyeluruh. Namun, apabila berhasil, hal tersebut dapat menjadi awal dari tumbuhnya kepercayaan terhadap perempuan yang akan secara bertahap meningkatkan partisipasi perempuan di politik. Selain itu, tingginya angka partisipasi perempuan meski melalui beberapa sektor saja, cukup untuk memastikan berbagai kebijakan yang dibuat melibatkan perspektif yang lebih beragam guna memaksimalkan pengimplementasian sistem demokrasi dan kesetaraan gender di Jepang.

Daftar Pustaka

Akimoto, D. (2021, June 22). Can Japan Fix the Gender Gap in Its Politics? The Diplomat. Retrieved January 27, 2024, from https://thediplomat.com/2021/06/can-japan-fix-the-gender-gap-in-its-politics/

Aulia, L. (2023, September 15). Lirih Suara Perempuan di Parlemen Jepang. Kompas.id.

Retrieved January 26, 2024, from

https://www.kompas.id/baca/internasional/2023/09/14/pelan-suara-perempuan-di-parl

emen-jepang

Coleman, L. (2017). Japan’s Womenomics Diplomacy: Fighting Stigma and Constructing ODA Leadership on Gender Equality. Japanese Journal of Political Science. 18(4):491-513. DOI:10.1017/S1468109917000147

Dharma, N. Y., Simanjuntak, T. R., & Hergianasari, P. (2022). Womenomics and Japan’s Domestic Politics: The Transformation of Women Roles in the Shinzo Abe Administration. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 12(2), 219-243.

Gender Equality Bureau. (2017). Gender Equality Policy in Japan. Government of Japan.

Accessed form

https://www.gender.go.jp/international/int_kaigi/int_acw3/pdf/contry_presentation_ja

pan_09.pdf

Kim, S. (2023, October 3). Japan’s New Cabinet Has a Record Number of Women. So What? Thediplomat.com.https://thediplomat.com/2023/10/japans-new-cabinet-has-a-record-number-of-women-so-what/

Lukum, A. A. (2023). Kebijakan Womenomics di Sektor Ketenagakerjaan pada Masa Pemerintahan Shinzo Abe (2013-2021). Universitas Islam Indonesia. https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/45045/SKRIPSI%20Alifa%20Ainun%20Lukum%20Revisi.pdf?sequence=1&isAllowed=y

McKee, L. (2023). Balancing the Ballot: Going Beyond the 2018 Gender Parity Law to

Encourage Women’s Political Participation in Japan. The Asia Pacific Journal – Japan

Focus. Vol. 21, Issue 12(2).

Ministry of Foreign Affairs of Japan. (2022, September 21). Prime Minister Kishida’s Participation in the “HeForShe” Summit. Ministry of Foreign Affairs of Japan. https://www.mofa.go.jp/fp/hr_ha/page3e_001248.html

Ono, Y. (2023, August 14). Gender Stereotypes among Japanese Voters: The Long Road to Political Parity | Research. The Tokyo Foundation for Policy Research. Retrieved February 9, 2024, from https://www.tokyofoundation.org/research/detail.php?id=949

Schieder, C. S. (2014). Womenomics vs. Women: Neoliberal Cooptation of Feminism in Japan. Meiji Journal of Political Science and Economics, 3, 53-60. https://www.researchgate.net/publication/336209315_Womenomics_vs_Women_Neoliberal_Cooptation_of_Feminism_in_Japan

Statista Research Department. (2024, January 9). Gender equality in Japan – Statistics & 

Facts. Statista. Retrieved February 8, 2024, from https://www.statista.com/topics/7768/gender-equality-in-japan/#topicOverview

Stores, N. (2020, September 17). In Japan’s Post-Abe Era, Addressing Political Gender Inequality is Essential. The Diplomat. Retrieved January 27, 2024, from https://thediplomat.com/2020/09/in-japans-post-abe-era-addressing-political-gender-inequality-is-essential/

Sugiyama, S. (2023, June 21). Japan to push for women’s participation after gender gap report. Reuters. Retrieved January 27, 2024, from https://www.reuters.com/sustainability/society-equity/japan-will-aggressively-push-womens-participation-after-gender-gap-report-2023-06-21/

Takenaka, K. (2023, September 13). Japan has five women in new government line-up but still misses G7 average. Reuters. https://www.reuters.com/world/asia-pacific/japan-has-five-women-new-govt-line-up-still-misses-g7-average-2023-09-13/

Tong, R., & Botts, T. F. (2017). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Avalon Publishing.

Widyatama, G. A. (2015). Kesenjangan Gender Pada Parlemen Jepang. Universitas

Gadjah Mada.

https://www.academia.edu/23756776/Kesenjangan_Gender_Pada_Parlemen_Jepang

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *