Debat Masker di AS, Penyebaran COVID-19 di Indonesia, dan Dilema Pembukaan Kembali Sekolah

0

Siswa Sekolah Dasar (SD) saat mengikuti sekolah tatap muka. (Foto: Pemkab Bolmut)

Setelah 1,5 tahun pandemi COVID-19 berlangsung, selama itu pula sekolah dan berbagai institusi pendidikan di berbagai belahan dunia ikut ditutup.

Sistem pembelajaran kemudian berubah drastis menjadi pembelajaran daring di rumah masing-masing. Duduk di depan gawai pun jadi kebiasaan baru ratusan juta siswa di dunia.

Meskipun dinilai efektif menahan laju penyebaran COVID-19, pembelajaran daring memunculkan efek negatif berupa ancaman kesehatan siswa.

Sistem pembelajaran daring menyebabkan siswa tidak mampu menerima pembelajaran dengan maksimal sehingga memunculkan potensi learning loss. Efek tersebut masih ditambah dengan rasa kesepian, ketiadaan privasi, atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di dalam rumah yang buruk bagi mental siswa.

Oleh karena itu, ketika kasus COVID-19 sudah mulai stabil dan tingkat vaksinasi sudah cukup tinggi, berbagai pihak mulai mengupayakan pembukaan sekolah dan pembelajaran tatap muka seperti sediakala.

Namun, pembukaan sekolah juga bukan perkara mudah sehingga memicu berbagai kontroversi hingga potensi baru penyebaran COVID-19.

Pembelajaran Daring: Beban Bagi Siswa

Dikutip dari VOA, UNICEF telah meminta negara-negara di dunia untuk kembali membuka sekolah. Organisasi PBB yang berfokus kepada anak itu memperingatkan bahwa penutupan sekolah membahayakan masa depan anak-anak di dunia.

UNICEF juga menyoroti ketimpangan yang dialami oleh anak-anak di belahan dunia, terutama antara Global North dengan Global South karena ketiadaan akses internet yang baik di banyak wilayah di Global South yang menyebabkan puluhan juta anak sekolah benar-benar kehilangan akses pembelajaran.

Oleh karena itu, organisasi tersebut merekomendasikan agar sekolah tatap muka kembali dilakukan agar kesehatan dan masa depan anak-anak dapat terjamin dengan baik.

Ketat atau Longgar Pun, Kasus Tetap Melonjak

Mengikuti rekomendasi UNICEF atau inisiatif sendiri, beberapa negara di dunia mulai melakukan sekolah tatap muka.

Di AS, hampir seluruh negara bagian sudah memperbolehkan adanya kelas tatap muka di sekolah-sekolah. Namun, sejumlah negara bagian malah tidak memerhatikan protokol kesehatan di sekolah atau bahkan berusaha menghambatnya.

Gubernur Arizona, Texas, dan Florida melarang adanya aturan yang mewajibkan penggunaan masker di sekolah. Sementara itu, setelah pengadilan Florida menganggap larangan aturan wajib masker adalah inkonstitusional, pemerintah setempat malah menyetop pembiayaan bagi dua distrik yang memberlakukan aturan masker tersebut.

Hasilnya, terjadi lonjakan kasus COVID-19 pada anak-anak AS  setelah pembukaan kembali sekolah di Negeri Paman Sam itu. Sebagai gambaran, sekitar 14.000 kasus COVID-19 atau 40% kasus keseluruhan di Tennessee berasal dari anak dan remaja di bawah 18 tahun. Sementara itu, ada 20.256 kasus COVID-19 saat tahun ajaran baru dimulai di Texas dan 7.488 di antaranya berasal dari tenaga pengajar dan staf sekolah.

Di saat yang bersamaan, Indonesia juga memulai pembukaan sekolah dengan program Pembelajaran Tatap Muka (PTM) yang dicanangkan Kemendikbud Ristek untuk memulai sekolah tatap muka di tingkat SD hingga SMA.

Namun, berbeda dari AS, pembukaan sekolah di Indonesia dilakukan dengan protokol kesehatan yang ketat. Salah satu bentuk protokol kesehatan yang ketat tersebut adalah pembatasan jumlah siswa, pemangkasan jam sekolah tatap muka, dan jaga jarak di dalam kelas.

Meskipun demikian, Indonesia pernah mencatatkan kasus klaster COVID di berbagai sekolah di Indonesia pada bulan Juli sebelum gelombang varian delta. Kemendikbud Ristek menyebut bahwa penyebab terbesar kemunculan klaster sekolah tersebut adalah adanya guru sakit yang tetap masuk demi mendapatkan tunjangan mengajar.

Kedua negara memang menghadapi dua faktor lonjakan kasus COVID-19 yang berbeda dengan satu sama lain. Namun, terdapat faktor lain yang belum diperhatikan, yaitu minimnya vaksin untuk anak usia di bawah 12 tahun.

Melihat fenomena tersebut, berbagai masalah yang dihadapi dalam upaya membuka sekolah membuka dilema besar yang harus dihadapi oleh setiap otoritas di seluruh dunia. Pembukaan kembali sekolah menjadi semakin penting, tetapi keselamatan murid dan masyarakat juga harus dijaga—belum lagi menangani berbagai kontroversi yang mengikutinya.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *