Geliat Hong Kong Melawan Jeratan Cina

0

Unjuk rasa di Hong Kong. Foto: AP.

Teriakan “Batalkan!” kembali terdengar di Hong Kong pada Jumat lalu (21/6). Para pendemo yang mayoritas berpakaian hitam, kembali berkumpul dalam rangka menuntut pembatalan rancangan UU ekstradisi sekaligus menuntut Carrie Lam, Kepala Pemerintahan Hong Kong untuk mundur dari posisinya. Terdapat pula tuntutan untuk membebaskan demonstran yang ditangkap oleh polisi dan mengadakan investigasi terkait penanganan polisi terhadap massa demonstran yang dianggap menggunakan kekerasan.

Sebelumnya pada sabtu (15/6) lalu, Pemerintah Hong Kong telah memutuskan untuk menunda perancangan UU ekstradisi tersebut sekaligus meminta maaf atas kekacauan yang terjadi. Namun, massa yang berkumpul merasa hal tersebut tidak cukup dan menuntut agar peraturan tersebut dibatalkan.  “Situasi saat ini telah menemui jalan buntu. Carrie Lam hanya meminta maaf terhadap kekacauan yang disebabkan oleh dirinya sendiri, dia harus mempertanggungjawabkan semua hal ini,” ujar Claudia Mo, seorang pakar hukum Hong Kong, dilansir dari TIME. Sampai dengan sejauh ini, jumlah demonstran yang hadir diklaim oleh penyelanggara telah mencapai 2 juta orang pada senin lalu (17/6).

Demonstrasi ini mulai berubah menjadi kericuhan pada 12 Juni, ketika badan legislatif Hong Kong memutuskan untuk menunda pembahasan RUU ekstradisi. Bentrokan antara massa dan pihak kepolisian tidak terhindarkan. Gas air mata dan peluru karet ditembakkan kearah demonstran. Akibat insiden ini, tercatat lebih dari 80 orang menderita luka-luka.

Wacana RUU ini dikeluarkan setelah diduga adanya pembunuhan yang dilakukan oleh seorang warga negara Hong Kong kepada kekasihnya di Taiwan. Hong Kong yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Taiwan membuat sang pelaku terhindar dari hukuman pidana.

Jika RUU ini diresmikan, Hong Kong akan memiliki perjanjian ekstradisi dengan Taiwan, yang berarti secara otomatis Hong Kong juga akan memiliki perjanjian ektradisi dengan Cina. Hal inilah yang kemudian tidak diinginkan oleh para demonstran. Mereka khawatir hal ini akan dimanfaatkan oleh Pemerintah Cina untuk memenjarakan masyarakat maupun tokoh-tokoh Hong Kong yang mengkritik Pemerintah Cina.

Dilema antara Menepati Perjanjian Internasional dan Menegakan Kebebasan Masyarakat Hong Kong

Demonstrasi yang telah berlangsung kurang lebih dua minggu ini bukan hanya sebuah bentuk protes terhadap RUU tersebut, namun juga bentuk penolakan terhadap Pemerintah Cina. Di tengah-tengah demonstrasi tersebut, membentang sebuah spanduk bertuliskan “Ini adalah Hong Kong bukan Cina”, sebuah gambaran nyata bagaimana masyarakat Hong Kong enggan mengakui bahwa mereka adalah bagian dari Cina.

Hal ini kemudian menimbulkan dilema, karena berdasarkan Sino-British Agreement antara Cina dan Britania Raya, Hong Kong akan kembali menjadi bagian dari Cina pada 2047. Perjanjian ini merupakan bentuk serah terima Hong Kong dari Britania Raya terhadap Pemerintahan Cina pada 1997, setelah dulunya Hong Kong dikuasai oleh Britania Raya pada masa kolonialisme.

Dalam proses pengembalian Hong Kong, Britania Raya meminta agar kebebasan berdemokrasi masyarakat Hong Kong tidak diganggu. Hal ini pun disetujui oleh pemerintah Cina dengan memberikan masa transisi kepada Hong Kong untuk dapat beradaptasi pada sistem Pemerintahan Cina, yang dikenal dengan istilah one country, two systems.

Jika dilihat dari jumlah kursi dewan legislatif, Hong Kong memang mulai beradaptasi terhadap bentuk Pemerintahan Cina dengan terus bertambahnya anggota parlemen Pro-Cina. Namun, hal ini tidak tercermin di masyarakat Hong Kong. Sejak 2014, total ratusan ribu bahkan jutaan masyarakat Hong Kong telah melakukan demonstrasi terhadap Pemerintah Cina. Hal ini juga yang menjadi awal lahirnya gerakan yang dikenal dengan Umbrella Movement sebuah aksi pro-demokrasi.

Penolakan masyarakat Hong Kong terhadap Cina sebenarnya bukanlah sebuah anomali. Jika dilihat lagi, sudah lebih dari 100 tahun sejak Hong Kong tidak lagi sepenuhnya menjadi bagian dari Cina. Demokrasi yang ditinggalkan oleh Britania Raya dan janji akan penegakan kebebasan di wilayah Hong Kong sudah menjadi bagian dari kehidupan mereka selama kurang lebih 22 tahun terakhir.  Suatu hal yang cukup mustahil untuk dipertahankan jika dikemudian hari Hong Kong kembali menjadi bagian dari Cina.

Namun dalam beberapa tahun terakhir, Cina memang mulai tak sabar menunggu sampai tahun 2047 dan mulai mengambil berbagai langkah kontroversial. Bahkan pada tahun 2014, Pemerintah Britania Raya mengecam Pemerintah Cina yang dianggap melanggar perjanjian karena telah melakukan intervensi pada Hong Kong dalam mengatur wilayah perbatasannya.

Dalam ranah hubungan internasional, ditepatinya sebuah perjanjian internasional hanyalah berdasar kepada iktikad baik dari pihak-pihak yang terlibat. Namun dalam hal ini, pemerintahan Hong Kong tidak pernah memiliki kekuatan untuk menjadi pihak yang terlibat dalam perjanjian tersebut, terutama pada Sino-British Agreement. Hal ini memunculkan pertanyaan terkait relevansi dari perjanjian tersebut dan juga sistem pemerintahan one country, two systems. Manakah yang harus didahulukan, perjanjian internasional atau keinginan masyarakat Hong Kong?

Satria Yuma adalah kontributor Kontekstual lulusan sarjana Hubungan Internasional Universitas Parahyangan.Dapat Dihubungi di Instagram @satriayuma dan surel satriayuma@outlook.com.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *