Gojira dan Lagu Global Warming: Sebuah Refleksi Environmentalism

0

Ilustrasi Band Gojira. Foto: Jimmie Fontaine/Pitchfork

Isu lingkungan adalah salah satu isu penting dalam kajian ilmu Hubungan Internasional di samping keamanan dan ekonomi. Kemunculan isu lingkungan ini didorong oleh kesadaran manusia tentang alam yang semakin rusak hingga pada ujungnya pemanasan global sulit untuk dihentikan. Kerusakan lingkungan juga dapat memengaruhi hubungan antarnegara, misalnya hubungan Indonesia yang beberapa kali memburuk dengan Singapura dan Malaysia karena kebakaran hutan yang menyebabkan kabut asap di negara tersebut. Menyadari dampaknya yang luas, kesadaran isu lingkungan telah menjadi nilai universal yang dibuktikan dengan adanya Deklarasi Stockholm, Protokol Kyoto, Paris Agreement, hingga SDGs.

Walaupun beberapa manusia memiliki kesadaran tentang isu pemanasan global, namun masih ada masyarakat hingga pemimpin dunia yang abai terhadap isu ini, misalnya Donald Trump, Jair Bolsonaro, dan beberapa pemimpin di negara berkembang yang mengabaikan lingkungan hidup demi kemajuan industri. Menanggapi sikap abai yang dimiliki beberapa kelompok masyarakat dan pemimpin negara, banyak aksi dilakukan oleh beberapa individu hingga kelompok seperti Greta Thunberg yang berkampanye tentang isu pemanasan global, Greenpeace dengan investigasi serta advokasi masalah lingkungan, hingga politisi Partai Hijau di parlemen beberapa negara yang turut membuat Undang-Undang. Selain beberapa hal umum tersebut, medium seni termasuk musik terkadang dilupakan dalam hal mengampanyekan isu lingkungan. Musik adalah salah satu seni yang banyak digemari orang sehingga menyampaikan pesan melalui musik bisa menjadi opsi untuk mengadvokasi isu pemanasan global. Barangkali substansi dari musik tersebut jika ditelaah secara mentah memang sering kurang komprehensif, namun dengan gaya penyampaian pesan yang atraktif dan emosional, musik dapat menarik perhatian dari pendengarnya sehingga mampu menyadarkan masyarakat tentang suatu isu.

Gojira adalah kelompok musik progressive-metal asal Bayonne Prancis yang memiliki concern terhadap isu pemanasan global. Beberapa lagunya yang menyampaikan pesan tentang isu lingkungan antara lain: “Global Warming”, “Toxic Garbage Island”, dan “Ocean Planet” (Julian Moss, 2018). Tulisan ini akan fokus pada lagu berjudul “Global Warming” dari album “From Mars to Sirius” yang dirilis pada tahun 2005. Walaupun lagu ini telah berusia 15 tahun sejak dirilis, namun makna liriknya masih sangat relevan dengan keadaan saat ini.

Kritik untuk Antroposentris pada Verse-1

Perlu dijelaskan terlebih dahulu sebelum membahas lebih jauh mengenai makna lirik bahwa pemaknaan sebuah karya seni khususnya musik sifatnya adalah subjektif, sehingga sangat wajar apabila pembaca memiliki pemaknaan yang berbeda terhadap lagu “global warming”. Berikut adalah verse-1 pada pada lagu “global warming” :

Four hundred thousand years ago
They came from outer space and gave us life here
And we are just taking everything for granted
I don’t think we should do this now
And when I see the smoke around
I feel like I’m not from humankind down there
I feel like glaciers are my eyes
And mountains are my head, my heart is ocean 
And I feel all alone
‘Cause everybody’s wrong, I fear the living
What is this thing that we call hate?
And that’s inside of me, get out of here

Potongan lirik tersebut menggunakan sudut pandang dari bumi sebagai entitas hidup yang memiliki indra sehingga dapat merasakan sesuatu dan dapat memiliki emosi seperti takut dan marah. Ini ditunjukkan pada kalimat “when I see the smoke around, I feel like I’m not from humankind down there atau “And I feel all alone, ‘Cause everybody’s wrong, I fear the living”. Verse-1 sejalan dengan pemikiran kelompok Environmentalist yang menempatkan lingkungan pada concern utama mereka. Environmentalism menyatakan bahwa makhluk hidup selain manusia, dan lingkungan alam secara keseluruhan, patut mendapat pertimbangan dalam menalar moralitas kebijakan politik, ekonomi, dan sosial (Elliott, 2020). Environmentalism melihat bahwa lingkungan hidup memiliki arti yang sangat penting karena beberapa fenomena global yang sedang terjadi seperti terus berkurangnya sumber daya alam, pemanasan global, serta degradasi lingkungan dan polusi merupakan ancaman bagi kondisi hidup ras manusia (Rani, 2013). 

Selain itu, potongan lirik tersebut juga mengkritik pandangan Antroposentris yang menganggap manusia adalah pusat dari alam semesta yang kelangsungan hidupnya mesti terpenuhi dalam jangka waktu yang panjang. Dalam Environmentalism, pendekatan Antroposentris berfokus terutama pada dampak negatif kerusakan lingkungan terhadap manusia dan kepentingan mereka, termasuk kepentingan kesehatan, rekreasi, dan kualitas hidup (Elliott). Di sisi lain, pandangan ini baik karena memasukkan kesadaran terhadap kerusakan lingkungan akan berdampak negatif, namun pandangan ini dipengaruhi oleh kepentingan manusia sehingga tanggung jawab terhadap alam secara keseluruhan dirasa kurang penting jika dibandingkan dengan kewajiban menjaga alam untuk menjamin terpenuhinya kepentingan manusia baik saat ini maupun di masa depan. Pada akhirnya, alam yang telah dilestarikan juga ditujukan untuk bisa dieksploitasi lebih lama lagi dan bukan semata-mata untuk melakukan tanggung jawabnya terhadap alam. Potongan lirik “I feel like I’m not from humankind down there” merupakan bentuk kesedihan alam terhadap pandangan dari Antroposentrisme.

Refleksi Ekoradikal pada Bridge

Berikut ini adalah potongan lirik pada bridge dalam lagu “global warming”.

A world is down, and none can rebuild it
Disabled lands are evolving
My eyes are shut, a vision is dying
My head explodes, and I fall in disgrace

Potongan lirik tersebut memiliki anggapan bahwa bumi ini memiliki batasan yang  terdapat pada kalimat “A world is down, and none can rebuild it.”. Selain itu, ”My eyes are shut, a vision is dying” merupakan metafora yang berarti mencairnya gletser sebagaimana diambil dari potongan lirik di verse-1 yang menyamakan mata dengan gletser. Di sisi lain eksistensi gletser sangat penting bagi Eropa sebagai sumber air bersih. Kemudian kengerian dari hancurnya bumi diperjelas dengan kalimat “My head explodes, and I fall in disgrace.”

 Dengan mengetahui bahwa bumi memiliki batasan dan tidak ada yang bisa menciptakannya kembali, maka kita perlu menyesuaikan diri dengan membatasi pola hidup sebagai manusia agar bumi tidak semakin rusak. Secara implisit, lirik tersebut sejalan dengan pemikiran kelompok Ekoradikal yang memiliki pandangan bahwa ekosistem mempunyai daya dukung yang terbatas. Keterbatasan tersebut mendefinisikan seberapa besar populasi spesies dapat terjadi sebelum menggunakan secara berlebihan sumber daya yang ada dalam ekosistem (Hughes, 1991). Ekoradikal percaya bahwa bumi sedang menuju batasannya dan akan sangat membahayakan umat manusia apabila sudah mencapai batasnya. Ekoradikal percaya tidak ada teknologi sederhana yang bisa mengatasi masalah tersebut sehingga manusia harus mengendalikan populasi dan mengubah pola hidupnya secara drastis ke arah yang lebih ramah lingkungan. Misalnya dengan berhenti menggunakan kendaraan bermotor yang menghasilkan emisi karbon, membatasi belanja untuk mengurangi sampah, menghentikan penggunaan energi karbon, dsb.

Pemikiran Ekoradikal memiliki peranan yang penting dalam mengonstruksi isu lingkungan. Kampanye meminimalisir limbah merupakan salah satu hasil dari pemikiran ini sehingga terdapat tren anti penggunaan plastik sekali pakai di beberapa daerah di dunia. Lebih jauh lagi, pemikiran Ekoradikal juga dirasa memiliki pengaruh dalam pembentukan Paris Agreement yang memiliki visi membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 sampai 1,5 derajat Celcius, dibandingkan dengan tingkat pra-industri (UNFCC). Komitmen ini ditunjukkan oleh negara-negara Eropa pada Desember 2020 dengan persetujuan pemimpin 27 negara Uni Eropa untuk menekan 55 persen gas rumah kaca pada tahun 2030. Keputusan tersebut merupakan revisi dari target UE sebelumnya untuk memotong setidaknya 40% emisi rumah kaca pada akhir dekade ini (Euronews, 2020). Walaupun dalam praktiknya akan banyak tantangan untuk mencapai target, namun kesepakatan tersebut merupakan bentuk nyata akan kesadaran beberapa pemimpin bahwa bumi memiliki batasan sehingga manusia harus menyesuaikan pola hidupnya walaupun belum seekstrem kelompok Ekoradikal.

Harapan Selamatnya Bumi pada Verse 2, 3, dan Outro

Berikut ini adalah isi dari Verse 2 hingga outro :

[Verse 2]
I hold my inner child within
And tell him not to cry: “Don’t fear the living”
One day you will stand as a king
And no fear can erase this light below us
Each one of us is now engaged
This secret we all have, this truth is growing
And as a warrior, I have to fight
I can already feel the love I’ll discover

[Verse 3]
I had this dream, our planet surviving
The guiding stars always growing
And all the worlds, the fates all the countries
They’re all rebuilding at the same time
I never fell and always believed in
We could evolve and get older
Open thy eyes and let all this flow in
Now see a new hope is growing inside

[Outro]
We will see our children growing

Verse-2 hingga outro lebih menggambarkan tentang harapan kelompok Environmentalist tentang alam yang lebih lestari. Salah satu harapannya adalah pemimpin dengan kesadaran akan kerusakan lingkungan yang kemudian menyelamatkan bumi dari kerusakan. Ini ditunjukkan dengan lirik “One day you will stand as a king, And no fear can erase this light below us, Each one of us is now engaged.”

Beberapa pemimpin dunia sebenarnya telah memiliki kesadaran tentang kerusakan lingkungan yang dibuktikan dengan beberapa perjanjian internasional yang berkaitan dengan lingkungan seperti komitmen 27 negara UE yang telah disebutkan sebelumnya. Contoh lain adalah Tiongkok, Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, Rusia dan India yang tergabung dalam proyek ITER untuk membuat perangkat matahari buatan demi mencapai cita-cita energi terbarukan dan ramah lingkungan yang tak terbatas. Kesadaran ini tak lepas dari ancaman yang didapat dari masalah lingkungan itu sendiri yang semakin terasa dan semakin sulit untuk dibendung sehingga memaksa mereka untuk melakukan kerja sama mengatasi krisis lingkungan. Alasannya adalah degradasi lingkungan dapat dikatakan membentuk jenis ancaman tertentu yang bukan mengancam negara tetapi kepada manusia itu sendiri (Jackson & Sorensen, 2013).

Walaupun negara-negara tersebut telah menyatakan komitmennya sejak lama, namun aksinya sendiri belum optimal. Misalnya, berdasarkan laporan dari Euronews, Perancis, belum memadai untuk memenuhi target iklimnya walaupun sudah berhasil membuat kebijakan seputar penghentian transportasi bertenaga batu bara dan bahan bakar fosil. Begitu juga dengan Jerman yang belum memenuhi target walaupun ada arah positif yang mengarah pada bangunan tanpa energi baru. Hampir serupa dengan Italia dengan tindakan iklim yang tidak memadai untuk memenuhi target walaupun nyatanya lebih baik daripada yang lain dalam hal efisiensi energi, bangunan tanpa energi, dan penghentian penggunaan batu bara (Euronews, 2020). Tentunya dapat kita pahami mengapa negara-negara di dunia belum optimal dalam aksi perubahan iklimnya karena mereka memiliki urgensi lain di bidang ekonomi, sosial, hingga politik yang menyebabkan mereka tidak bisa hanya berfokus pada isu lingkungan. Namun di sisi lain, alam yang semakin rusak juga akan memberikan tekanan kepada pemimpin negara sehingga memaksa mereka untuk memberi fokus lebih kepada isu lingkungan. Inilah yang termanifestasikan dalam potongan lirik “This secret we all have”, bahwa kerusakan lingkungan yang semakin parah sudah menjadi rahasia umum. “This truth is growing” kebenaran alam yang rusak semakin nyata dan memaksa pemimpin dunia untuk membuka mata agar harapan yang ada seperti pada verse-3 hingga bisa terwujud. Tak kalah penting, kita juga berhadap seperti yang tertulis pada outro, “we will see, our children growing.”

Daftar Referensi:

Elliott, Lorraine. Environmentalism. Britannica. https://www.britannica.com/explore/savingearth/environmentalism

Elliott, Lorraine (2020, 9 September). Environmentalism. Britannica. https://www.britannica.com/topic/environmentalism 

Euronews (2020, 12 Desember). EU27 leaders agree to cut greenhouse gas emissions at least 55% by 2030. . Euronews. https://www.euronews.com/2020/12/11/eu27-leaders-agree-to-cut-greenhouse-gas-emissions-at-least-55-by-2030.

Euronews (2020). India the Only G20 Nation on Track to Meet 2C Global Warming Targets. Euronews. https://www.euronews.com/living/2020/11/19/india-the-only-g20-nation-on-track-to-meet-2c-global-warming-targets 

Hughes, B.B. (1991). Continuity and Change in World Politics : The Clash of Perspectives. Englewood Cliffs, NJ : Prentice Hall.

 Jackson, Robert dan Sorensen George. (2013). Introduction to International Relation. Oxford University Press Inc.

Moss, Julian (2018, 7 Mei). 10 Essential Environmental Songs for the Metalhead in All of Us. Greenpeace. https://www.greenpeace.org/usa/10-essential-environmental-songs-for-the-metalhead-in-all-of-us/.

Rani, Faisyal. (2013). Perspektif Green Thought Dalam Paradigma Baru Politik Internasional (Teori Dan Praktek). Jurnal Transnasional. 4 (2). 870-880.

UNFCC (2020). The Paris Agreement. UNFCC. https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/the-paris-agreement.

Lucky Kardanardi merupakan Lulusan Hubungan Internasional UPN “Veteran” Yogyakarta tahun 2020 yang memiliki ketertarikan terhadap Eropa dan Prancis. Dapat ditemukan di sosial media dengan nama pengguna @four_kardanardi

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *