Indikasi Tantangan Demokrasi di Korea Selatan: Chaebols sebagai Civil Oligarchy

0

Illustrasi chaebols Korea Selatan. Foto: Griffith University

Korea Selatan merupakan salah satu negara yang konteks historisnya relatif mirip dengan Indonesia; adanya rezim otoriter bertahun-tahun, krisis ekonomi tahun 90-an, dan mengalami pergantian kepemimpinan otoriter di tahun 1998. Setelahnya Korea Selatan mengalami liberalisasi serta pembatasan intervensi negara, termasuk dalam hal ekonomi. Terlepas dari kemajuan pesat ekonomi Korea Selatan yang dibentuk oleh rezim otoriter (Park Chung-hee), hal ini tidak mengindikasikan kepercayaan warga, utamanya chaebol (konglomerat) untuk melanjutkan kesuksesan tersebut dengan cara yang sama.

Chaebol sendiri merupakan konglomerat industri yang dikelola oleh keluarga tertentu dan biasanya keluarga ini mendominasi jajaran puncak eksekutif perusahaan (Lee, 2008, p. 440). Perlu diketahui jika chaebol juga mengalami tekanan meskipun kondisi saat itu juga menguntungkannya (Seng, 2017). Karena itu, liberalisasi ekonomi dalam payung demokrasi merupakan opsi terbaik untuk mewujudkan partisipasi masyarakat; dalam hal ini para pelaku ekonomi memiliki andil dalam membentuk kebijakan ekonomi sehingga hasil kebijakan tidak begitu bersifat sentralistik.

Pasca demokratisasi, Korea Selatan tampil sebagai negara yang memiliki citra serupa dengan Amerika Serikat (AS), di mana kebebasan masyarakat sipil sangat menonjol. Negara demokrasi baru ini pun dalam hitungan singkat sudah dapat menyandingkan dirinya dengan negara-negara Barat (Diamond & Shin, 2014, p. 28). Indikator seperti kebebasan bersuara dan akuntabilitas, stabilitas politik, minimnya tindakan represif, kualitas peraturan, penegakkan hukum, dan pengendalian korupsi cukup terpenuhi; meskipun masih perlu perbaikan khusus pada indikator terakhir (p. 28).

Demokrasi ini di sisi lain juga memberikan kebebasan bagi para pelaku ekonomi, terutama chaebol. Tidak dapat disangkal jika demokrasi menjadi wadah bagi para chaebol memperoleh keuntungan lebih dibandingkan pada masa kepemimpinan otoriter. Hal ini seharusnya menimbulkan pertanyaan terkait ancaman para chaebol terhadap demokrasi. Diskursus mengenai oligarki dan/atau patronase sebagai bentuk ancaman demokrasi pun belum begitu banyak disinggung dalam membahas kasus Korea Selatan. Terlepas dari kebebasan politik dan sipil yang telah digalakkan, ini tidak serta-merta menjadi justifikasi untuk menghambat hingga menghentikan upaya demokratisasi di aspek lainnya, seperti ekonomi. Melalui tulisan ini, penulis ingin menejelaskan bagaimana praktik demokrasi di Korea Selatan juga terindikasi berbagai ancaman, utamanya dari ekonomi, hingga masa Presiden Moon Jae-in (2017-2020).

Relasi Negara dan Chaebol 

Kebijakan globalisasi pada masa transisi 1990-an telah mengantarkan para chaebol ke pasar global tanpa restriksi pemerintah. Para chaebol telah mendirikan perusahaan transnasional dan memperoleh kekuatan politiknya. Negara memandang chaebol sebagai fundamental dari pertumbuhan ekonomi sehingga untuk mereformasi politik, chaebol dianggap akan merugikan negara. Hingga memasuki pemerintahan Moon Jae-in, relasi negara dan bisnis tetap mendominasi melalui program Official Development Assistant (ODA). Para chaebol seringkali bernegosiasi dengan elit negara dan memasukkan kepentingannya. Relasi antara elit negara dan bisnis ini juga memiliki relasi hubungan personal yang kuat, seperti identitas alumni dari tiga kampus ternama di Korea (Schwak, 2018).

Korea sendiri sudah memasuki masa pasca-developmentalis yang ditandai dengan posisi chaebol tidak tersubordinat lagi, melainkan setara dengan negara. Oleh karenanya, hubungan yang terbentuk bersifat saling ketergantungan. Negara dalam hal ini mendukung kepentingan bisnis dan lingkungan peraturan yang menguntungkan para chaebol, dan chaebol menawarkan daya saing Korea di pasar global (Schwak, 2019 p. 110).

Relasi negara dan chaebol yang kuat tidak begitu mengalami penurunan, melainkan hanya menghasilkan perubahan bentuk. Pra krisis finansial, tujuan politis chaebol adalah mengekspansi bisnis melalui akuisisi pinjaman berbunga rendah dan bantuan pemerintah lainnya. Hal ini ditempuh dengan melalui suap dan lobi. Sekarang ini, chaebol cenderung bertindak untuk melemahkan atau mengelak peraturan pemerintah guna mencapai suksesi dinasti kontrol perusahaan (You, 2021, p. 83). Hal ini mengarahkan pada diskursus mengenai neoliberalisasi di Korea sejak tahun 1997 dengan kebijakan negara yang mendukung investasi para chaebol di pasar yang sedang berkembang, di samping ekspor dan rezim yang eksploitatif terhadap buruh (Schwak, 2020 p. 303). Menariknya, neoliberalisasi ini diprakarsai oleh rezim demokratis Kim Dae-jung yang juga berasal dari Partai Demokrat; yang notabenenya pro terhadap rakyat kecil.

Winters dalam bukunya Oligarchy (2011) membagi beberapa jenis oligarki dan salah satunya adalah Civil Oligarchies seperti yang dialami AS. Oligarki itu sendiri merupakan politik untuk mempertahankan kekayaan pribadi. Civil Oligarchies di AS tidak mengatur negara secara langsung; melainkan terdapat medium lain yang digunakan para oligark untuk mempertahankan kekayaannya, yakni penghindaran pajak (income defense). Para oligark berusaha menurunkan tarif pajak nominal atau marginalnya sehingga ini hanya membebankan kelompok yang ‘berkekurangan’ untuk menutupi pajak yang tidak dibayar oleh mereka. Winters mengutip Kapur dkk (2005) terkait konsep ‘plutonomy’. Plutonomy adalah ekonomi dengan lapisan kelompok sangat kaya yang mendorong pengeluaran negara. Selain itu, inti dari plutonomy adalah ketidaksetaraan pendapatan yang dimungkinkan oleh pemerintah dan rezim pajak yang ramah bagi para kapitalis (Winters, 2011 p. 212). Upaya lainnya adalah para oligark mempengaruhi legislatif dan eksekutif secara langsung, memanggil anggota perwakilan untuk menyampaikan keluhannya terkait regulasi atau untuk meminta bantuan kebijakan (p. 214).

Ketimpangan di Korea Selatan

Relasi negara dan chaebol yang berujung pada neoliberalisasi 1997 telah mereformasi pasar tenaga kerja, keuangan, sektor publik, dan tata kelola perusahaan. Neoliberalisasi samar yang berlangsung hingga kepemimpinan Park Geun-hye telah menciptakan polarisasi sosial, menggerus kesempatan kerja dan pendapatan, dan secara drastis meningkatkan volatilitas. Sejak saat itu, permasalahan tenaga kerja di Korea terus menjadi hal yang selalu dituntut kepada presiden seiring banyaknya pengangguran, upah yang tidak seimbang dengan standar hidup Korea, dan minimnya jaminan legal para pekerja (Hagen, 2021; Shin, 2013).

Kondisi demikian erat kaitannya dengan ketimpangan di Korea. Peningkatan konsentrasi chaebol berbanding lurus dengan polarisasi ekonomi. Kebijakan ODA yang awalnya diinisiasikan untuk pertumbuhan dengan pemerataan dan kesempatan kerja penuh berubah menjadi pertumbuhan tanpa lapangan kerja. Pertumbuhan chaebol dan peningkatan keuntungan belum dirasakan oleh sebagian besar penduduk karena trickle down effect yang dispekulasikan tidak termanifestasi. Sementara chaebol meraih 51,5% dari pendapatan penjualan dan 49,4% dari value added di sektor pertambangan dan manufaktur pada tahun 2013, chaebol hanya mengalokasikan 18,8% untuk para pekerja di sektor yang sama. Lima grup chaebol teratas menyumbang 23,7% dari pendapatan penjualan dan 26,9% dari value added, tetapi hanya 8,8% untuk para pekerja. Kesenjangan upah antara pekerja tetap dan tidak tetap semakin meluas, dan ketidaksetaraan dalam keuntungan modal dan pendapatan modal telah meningkat (You, 2021, p. 87).

Ketimpangan lainnya dapat dilihat melalui pajak yang tidak berkeadilan. Tarif pajak efektif rata-rata yang ditanggung chaebol hanya sebesar 16,2% dan angka ini menunjukkan bahwa beban pajak chaebol lebih rendah dari rata-rata perusahaan biasa. Sebanyak 1.539 perusahaan milik chaebol, dan hanya 0,3% dari total yang dibebankan pajak. Negara membebankan pajak perusahaan tanpa memperhitungkan perusahaan yang beroperasi di luar negeri, seperti Samsung. Pajak keuntungan yang dibayar oleh Samsung kepada Layanan Pajak Nasional sebesar 20,75 triliun won dan pajak perusahaan sebesar 3,35 triliun bukan merupakan jumlah total beban pajak secara menyeluruh. Sebagai salah satu chaebol terbesar, Samsung bahkan menikmati pemotongan pajak yang jumlahnya lebih dari beban pajak yang dikenai. Seperti pada tahun fiskal 2011, Samsung menerima 13,9% dari semua pembebasan dan pengurangan pajak perusahaan. Sebaliknya, Samsung hanya membayar 3% dari total pajak perusahaan (Ryu, 2014).

Implikasi dari problematika pajak tersebut adalah konsentrasi pendapatan di kelompok top 1%, 5%, dan 10%. Di kelompok 10%, income share mengalami peningkatan signifikan dari 28% (1980-85) hingga 44,8% (2012). Sementara itu, kelompok 5% mengalami peningkatan dari 19,2% (1995) menjadi 30,1% (2012) dan kelompok 1% mengalami peningkatan dari 6,9% menjadi 12,2%. Dari data ini, Kim dan Kim (2015) menjelaskan bahwa upah rata-rata dari kelas ekonomi teratas 21,6 kali lebih besar dari upah rata-rata semua pekerja/penerima upah. Koo (2021) mengutip Cheon dan Shin (2016), menyimpulkan bahwa koefisien gini berdasarkan pendapatan pribadi di Korea pada akhirnya menunjukkan tingkat ketidaksetaraan tertinggi, hal ini turut berlaku bagi negara-negara OECD lainnya.

Reformasi Ekonomi yang Tertunda

Ketimpangan tersebut mendorong tuntutan terhadap demokrasi ekonomi dan perluasan kebijakan sosial (You, 2021, p. 87). You menjelaskan bahwa demokrasi dengan tingkat ketidaksetaraan yang tinggi cenderung mendistribusikan secara minim. Alasannya tidak lain adalah ketidaksetaraan yang diiringi permintaan atas redistribusi yang tinggi justru mendorong para kelompok top untuk mempengaruhi proses pembuatan kebijakan agar dapat melindungi kepentingan mereka (income defense). Di satu sisi, dinamika rezim di Korea barangkali tidak jauh dari rezim yang melindungi para chaebol, umumnya dari konservatif, dan rezim yang mengutamakan isu keamanan internasional, baik dari konservatif maupun demokrat. Hal ini pun berlangsung hingga kepemimpinan Moon Jae-in di tahun 2017.

Moon merupakan presiden yang cukup dikritik besar atas prioritas kebijakannya yang terlalu mementingkan diplomasi dengan Korea Utara dibandingkan memenuhi tuntutan reformasi ekonomi. Beberapa yang skeptis menilai Moon hanyalah mencari panggung di dunia internasional. Padahal janji yang dikemukakannya adalah untuk mereformasi chaebol, memperbaiki kondisi para pekerja, dan meningkatkan batas upah minimum. Moon juga pernah mengatakan akan mengimplementasikan income led-growth policy guna menyelesaikan permasalahan ekonomi domestik. Namun ini kembali menuai kritik melihat proses perumusan kebijakan yang tidak begitu mempertimbangkan waktu, persiapan, sumber finansial, dan pertimbangan publik terlebih dahulu (Hahm, 2020). Hal ini seolah-olah menunjukkan ketidakseriusan presiden dalam mengentaskan permasalahan ekonomi tersebut. Meskipun perlu diakui bahwa pernah terjadi peningkatan pendapatan, hasilnya tetap saja tidak sebanding dengan jumlah pengangguran yang tinggi (The Economist, 2020).

Inti dari penyimpangan ini tidak lain ialah warisan sejak pemerintahan Park Chung-hee yang mana tidak ada satu pun presiden yang bersikeras mereformasi chaebol secara struktural. Jung (2021) mengatakan warisan yang terlegitimasi ini berasal dari kemitraan yang korup antara negara dan chaebol, yang menghambat kemajuan pluralisme dan kebijakan yang responsif terhadap rakyat. Hingga masa presiden Moon pun skandal suap dan korupsi di kalangan elit dan chaebol tidak dapat dielakkan. Ekonom Park Sang-in juga mengkritik bahwasanya pemerintah dari rezim manapun belum pernah menghasilkan dan menerapkan langkah-langkah untuk mengekang kekuasaan dan kekayaan. Keengganan atau ketidakmampuan untuk mereformasi chaebol telah meninggalkan sistem yang menyebarkan budaya korupsi, memperkuat kekuatan konglomerasi, dan merusak tata kelola serta akuntabilitas yang demokratis.

Kesimpulan dan Penutup

Merefleksikan tantangan demokrasi di Korea Selatan sekaligus mengontekstualisasikannya sebagai sebuah fenomena oligarki merupakan hal yang relatif jarang disinggung. Penulis berusaha menjelaskan fenomena demokrasi di Korea Selatan dengan menggunakan kerangka Civil Oligarchy oleh Winters. Korea Selatan memiliki kemiripan dengan yang berada di AS, sebagai studi kasus Civil Oligarchy yang diangkat oleh Winters. Umumnya, para penguasa ekonomi ini tidak mengatur secara langsung, melainkan menggunakan medium lain untuk mempertahankan kekuasaannya seperti manipulasi pajak. Ini cukup terefleksikan dalam kasus Korea Selatan dimana para chaebol memanfaatkan pajak dan negara juga mendukung tindakan ini. Pun, Winters menekankan jika sorotan utama dari Civil Oligarchy adalah ketimpangan; dan hal ini sudah menjadi diskursus bertahun-tahun di Korea Selatan serta beberapa data telah disajikan dalam tulisan ini.

Sebagai penutup, penulis berharap tulisan ini dapat memicu studi yang lebih komprehensif untuk melihat fenomena ancaman demokrasi yang umumnya dialami negara-negara makmur, seperti OECD. Kiranya, penulis melihat bahwa indikasi non-demokratis sering menitikberatkan pada negara berkembang ataupun negara yang pemilunya tidak demokratis, seperti Cina, Thailand, Kamboja, dll. Namun relatif minim untuk menyinggung bagaimana kendala demokrasi di negara-negara yang sekiranya sudah cukup matang secara formal ataupun makmur, seperti negara-negara OECD. Barangkali AS, dan Korea Selatan, sudah menjadi pemantik bagaimana negara yang cukup ‘matang’ pun masih terkendala oleh relasi negara dan bisnis yang kuat serta menjadikan ekonomi domestik menjadi tidak demokratis.

Referensi:

Diamond, L., & Shin, W.-g. (2014). New Challenges for Maturing Democracies in Korea and Taiwan. Stanford: Stanford University Press.

Hahm, S. D. (2020). President Moon Jae-in at Midterm: What Affects Public Support for Moon Jae-in? Journal of Asian and African Studies, 1128-1142.

Jung, H. P. (2021, Januari 22). North Korea’s Long Shadow on South Korea’s Democracy. Diakses dari Brookings: https://www.brookings.edu/articles/north-koreas-long-shadow-on-south-koreas-democracy/

Koo, H. (2021). Rising Inequality and Shifting Class Boundaries in South Korea in the Neo-Liberal Era. Journal of Contemporary Asia, 1-19.

Lee, S.-j. (2008). The Politics of Chaebol Reform in Korea: Social Cleavage and New Financial Rules. Journal of Contemporary Asia, 439-452.

Ryu, Y.-g. (2014, Februari 11). South Korea a Veritable Tax Break Paradise for Chaebol. Diakses dari Hankyoreh: http://english.hani.co.kr/arti/english_edition/e_business/623602.html#:~:text=But%20the%20average%20effective%20tax,the%20average%20of%20all%20corporations.

Schwak, J. (2018, November 22). When Public and Private Merge: South Korea and The Chaebol. Diakses dari Asia Global Online: https://www.asiaglobalonline.hku.hk/south-korea-chaebol-public-private

Schwak, J. (2019). Dangerous Liaisons? State-Chaebol Co-operation and The Global Privatisation of Development. Journal of Contemporary Asia, 104-126.

Schwak, J. (2020). Nothing New Under The Sun: South Korea’s Developmental Promises and Neoliberal Illusions. Third World Quarterly, 302-320.

Seng, T. A. (2017). The Changing Arena of Power Contestation Between the State and Chaebols in South Korea: Democracy and the Ascent of Legal Institutions. Diakses dari Student Pulse: Journal Quest: http://www.inquiriesjournal.com/articles/1721/the-changing-arena-of-power-contestation-between-the-state-and-chaebols-in-south-korea-democracy-and-the-ascent-of-legal-institutions

Shin, K.-y. (2013). Economic Crisis, Neoliberal Reforms, and the Rise of Precarious Work in South Korea. American Behavioral Scientist, 335-353.

The Economist. (2020, Oktober 20). Promise Postponed: The President is Struggling to Curb the Power of Big Business. Diakses dari ProQuest: https://remote-lib.ui.ac.id:2182/docview/2123019811?OpenUrlRefId=info:xri/sid:summon&accountid=17242

Winters, J. A. (2011). Oligarchy. New York: Cambridge University Press.

You, J.-s. (2021). The Changing Dynamics of State-business Relations and The Politics of Reform and Capture in South Korea. Review of International Political Economy, 81-102.

Rizzah Aulifia adalah mahasiswa Ilmu Politik di Universitas Indonesia dan Head of Graphic Designer Kontekstual. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @rizzhaulifia

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *