Kembalinya Israel ke Sub-Sahara Afrika

0

Ilustrasi Benyamin Netanyahu dan Presiden Rwanda Paul Kagame. Foto: Reuters

Pada tahun 1950-an dan 1960-an, Israel dan banyak negara Afrika—terutama yang berada di selatan Sahara—menjalin hubungan baik. Ghana adalah negara Afrika pertama yang mengakui Israel dan menjadi pintu gerbang bagi hubungan Israel-Afrika. Pada tahun 1956, Israel membuka konsulatnya di Ghana (kala itu bernama Pantai Emas) dengan restu Inggris, yang pada saat itu merupakan kekuatan kolonial di Ghana. Hubungan ini sangat strategis bagi Israel karena Presiden Ghana pertama Dr. Kwame Nkrumah bersikap pro-Israel serta merupakan pemimpin yang sangat berpengaruh di Afrika Barat dan seluruh benua Afrika pada umumnya (Abugbilla, 2020).

Menurut analis politik Israel, Pinhas Anbari, “charm offensive” Israel di Afrika dimulai setelah Israel gagal meyakinkan negara-negara Eropa untuk mendukung kebijakannya berhadapan dengan Palestina. Ia juga menyebut bahwa Israel telah membuat keputusan strategis untuk fokus pada Afrika. Akan tetapi, dukungan Uni Eropa untuk negara Palestina dan kritik sesekali terhadap permukiman ilegal Yahudi di wilayah pendudukan bukan satu-satunya alasan di balik keputusan Israel untuk memalingkan wajahnya ke Afrika. Dukungan sebagian besar negara Afrika terhadap resolusi pro-Palestina di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa lebih lanjut berkontribusi pada rasa isolasi Israel di panggung internasional. Akibatnya, “memenangkan kembali” Afrika menjadi modus operandi dalam kebijakan luar negeri Israel karena Afrika tidak selalu memusuhi Israel dan Zionisme (Baroud, 2019).

Sejarah Hubungan Israel dengan Sub-Sahara Afrika

Jika dilihat dari perspektif sejarah, era 1950-an dan 1960-an adalah periode ketika doktrin Pan-Arabisme yang dipimpin oleh Gamal Abdel Nasser (Presiden Mesir kala itu) bangkit di Afrika Utara. Selain itu, bangkitnya Pan-Afrikanisme dan upaya meraih dekolonisasi yang dipelopori oleh Kwame Nkrumah dari Ghana juga mengganggu politik global Perang Dingin yang lebih besar, dan di saat yang bersamaan, negara-negara Dunia Ketiga bertekad untuk tetap netral (Abugbilla, 2020).

Di tengah perebutan hegemoni global tersebut, hubungan Israel dengan negara-negara Sub-Sahara Afrika tetap berkembang meskipun mengalami gangguan dalam konteks tantangan politik, sosial, dan ekonomi yang dihadapi mereka. Beberapa negara Afrika yang baru merdeka melihat Israel sebagai mitra untuk belajar dan mengambil manfaat melalui keahlian teknis dalam berbagai bidang untuk mempersiapkan pembangunan ekonomi mereka (Abugbilla, 2020).

Kemesraan antara Israel dan Sub-Sahara Afrika hanya berlangsung hingga akhir tahun 60-an. Pada tahun 1967, pendudukan militer Israel di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Dataran Tinggi Golan setelah Perang Enam Hari memengaruhi hubungannya dengan Afrika karena Israel mulai dianggap sebagai negara penjajah (Kraemer, 2018). Setelah Perang Arab-Israel 1973, banyak negara Sub-Sahara Afrika memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel dan mengambil sikap pro-Palestina (Abugbilla, 2020). Bahkan, Uni Afrika memberikan status non-member observer bagi Palestina dalam KTT UA, tetapi tidak memberikan status yang sama kepada Israel (Kraemer, 2018).

Kerja Sama Israel-Sub-Sahara Afrika di Masa Modern

Di masa kini, hubungan buruk antara Israel dan Afrika sedang diatur ulang dan terjadilah rapprochement. Kebijakan agresif pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menjangkau Afrika membuahkan hasil positif. Menurut Jewish Virtual Library, Israel saat ini memiliki hubungan diplomatik dengan 41 dari 46 negara Sub-Sahara Afrika dan kedutaan besar di 11 dari 54 negara Afrika, antara lain; Rwanda, Senegal, Mesir, Angola, Ghana, Pantai Gading, Ethiopia, Nigeria, Afrika Selatan, Kenya, dan Kamerun (Abugbilla, 2020). Tiga belas negara Sub-Sahara Afrika juga telah membuka kedutaan besar baru di Tel Aviv serta lima belas konsulat kehormatan. Hanya Niger, Mali, Djibouti, Somalia, dan Komoro yang saat ini tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Mauritania memiliki kedutaan besar di Tel Aviv dari 1999 sebelum menutupnya pada 2009 dan memutuskan semua kontak resmi dengan Israel (Augé, 2020). Selain itu, sejak pertengahan 2016, Netanyahu telah melakukan empat kunjungan ke benua itu (Wermenbol, 2019). 

Kerja sama teknis Israel yang sangat dihargai pada tahun 1960-an masih relevan dan sangat diminati. Presiden Rwanda Paul Kagame mengatakan kepada Uni Afrika pada Januari 2018 bahwa, “Tantangan utama Afrika adalah menciptakan jalan menuju kemakmuran bagi rakyat kita,” ia juga menambahkan, “Tidak ada negara di benua kita yang tidak ingin menjadi bagian dari negara yang lebih asertif dan Afrika yang terlihat.” Bagi para pemimpin Afrika yang memprioritaskan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, teknologi Israel adalah nilai jual utama dalam membina hubungan. Setelah meninggalkan model bantuan dan beralih ke model perdagangan, banyak yang tersisa untuk diambil oleh komunitas bisnis dalam kemitraan bilateral. Itulah sebabnya diplomasi ekonomi adalah jantung dari hubungan Afrika-Israel saat ini, dengan diskusi tentang keahlian Israel dalam bidang pertanian, infrastruktur, pengelolaan air, dan energi menjadi pusat perhatian (Kent, 2018).

Sub-Sahara Afrika juga merupakan pasar yang menarik bagi teknologi pertahanan canggih Israel. Ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh kelompok ekstremis, seperti Boko Haram dan kelompok yang berafiliasi dengan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS), telah meningkatkan permintaan akan inovasi keamanan. Chad, yang merupakan salah satu dari beberapa negara Afrika yang terlibat dalam pertempuran melawan Boko Haram di kawasan Danau Chad dan memperbarui hubungan diplomatik dengan Israel pada Januari 2019 (Landau, 2019), memperoleh senjata dan peralatan Israel untuk membantu memerangi pemberontak (Wermenbol, 2019).

Studi Kasus: Rapprochement Israel-Sudan

Pada Februari 2020, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bertemu dengan Ketua Dewan Kedaulatan Sudan Abdel Fattah al-Burhan di Uganda. Ini adalah pertemuan pertama yang dilaporkan secara publik antara kedua kepala negara. Tak lama setelah itu, penerbangan komersial ke atau dari Israel diizinkan untuk pertama kalinya terbang di atas Sudan (Lubotzky, 2020).

Setelah Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) menormalisasi hubungan dalam Abraham Accords pada Agustus 2020, juru bicara Kementerian Luar Negeri Sudan, Haider Badawi Saddiq, juga mengonfirmasi bahwa pembicaraan antara Israel dan Sudan sedang berlangsung. Saddiq menyatakan bahwa Sudan “menantikan untuk menyimpulkan perjanjian damai dengan Israel” dan bahwa “tidak ada alasan untuk melanjutkan permusuhan antara Sudan dan Israel” (Lubotzky, 2020).

Posisi Sudan di Laut Merah secara strategis penting bagi Israel karena Sudan mengendalikan rute maritim ke pelabuhan Eilat dan merupakan simpul kunci dalam jaringan transportasi senjata ke Gaza dan Sinai. Hubungan baik dan kerja sama keamanan yang erat dengan Khartoum dapat secara signifikan mengacaukan hubungan antara Iran dan organisasi militan di Gaza (Lubotzky, 2020).

Dalam jangka panjang, perusahaan Israel mungkin juga menemukan prospek ekonomi di Sudan. Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD), yang saat ini sedang diisi oleh Ethiopia, juga memberikan peluang bagi proyek-proyek pembangunan besar di Sudan. Berdasarkan proyeksi optimis, GERD akan meningkatkan pengaturan air di Sungai Nil dan menyediakan listrik untuk negara tetangga, memperluas kapasitas pertanian dan industri Sudan. Perusahaan-perusahaan teknologi, air, dan pertanian Israel mungkin menganggap proyek ini menarik (Lubotzky, 2020).

Kesimpulan

Negara-negara Afrika berharap bahwa hubungan baik dengan Israel akan memungkinkan mereka untuk memetik manfaat dari pengetahuan Israel, terutama dalam sektor keamanan, teknologi, dan pertanian. Israel, pada bagiannya, menginginkan hubungan baik dengan Afrika untuk memperluas pengaruh diplomatiknya, menembus pasar non-tradisional, dan meredam dukungan tradisional Afrika untuk perjuangan Palestina di lembaga-lembaga PBB (Arnaout, 2018).

Israel mungkin mencoba untuk menampilkan dirinya sebagai penyelamat bagi Afrika, tetapi tidak peduli seberapa kuat ekonomi Israel secara komparatif, Tel Aviv tidak akan memiliki kunci untuk menyelesaikan kesengsaraan benua Afrika. Motivasi Israel untuk normalisasi dengan Afrika diilhami oleh alasan yang sama di balik outreach internasional Benjamin Netanyahu ke Amerika Selatan dan kawasan lainnya di Global South (Baroud, 2019).

Referensi

Abugbilla, F. (2020, 28 Mei). “How Benjamin Netanyahu is resetting Israel-Africa relations.” Stroum Center for Jewish Studies. https://jewishstudies.washington.edu/israel-hebrew/benjamin-netanyahu-resetting-israel-africa-relations/

Ahren, R. (2018, 29 September). “Netanyahu says Israel, Rwanda to open mutual embassies.” The Times of Israel. https://www.timesofisrael.com/netanyahu-says-israel-rwanda-to-open-mutual-embassies/ 

Arnaout, A. (2018, 27 November). “Israel eyeing ties with Africa in exchange for know-how.” Anadolu Agency. https://www.aa.com.tr/en/africa/israel-eyeing-ties-with-africa-in-exchange-for-know-how/1322963 

Augé, B. (2020, November). Israel-Africa Relations: What Can We Learn from the Netanyahu Decade? Études de l’Ifri

Baroud, R. (2019, 23 Juli). “Israel’s scramble for Africa: Selling water, weapons and lies.” Aljazeera. https://www.aljazeera.com/opinions/2019/7/23/israels-scramble-for-africa-selling-water-weapons-and-lies 

Baroud, R. (2019, 28 Januari). “Why African countries are normalizing with Israel.” Arab News. https://www.arabnews.com/node/1443266 

Kent, M. (2018, 3 Juli). “A Dynamic Moment in Israel-Africa Relations.” AJC. https://www.ajc.org/news/a-dynamic-moment-in-israel-africa-relations

Kraemer, T. (2018, 18 April). “A history of Africa-Israel relations.” DW. https://www.dw.com/en/a-history-of-africa-israel-relations/a-43395892

Landau, N. (2019, 20 Januari). “Israel, Chad Renew Diplomatic Ties That Were Severed in 1972.” Haaretz. https://www.haaretz.com/israel-news/netanyahu-set-to-arrive-in-chad-and-re-establish-the-ties-cut-in-1972-1.6852370

Lubotsky, A. (2020, 20 Oktober). An Israeli-Sudanese Rapprochement? Context, Interests, and Implications. Ifriqiya Africa Research Program. Vol. 5, No. 4. 

Wermenbol, G. (2019, 19 Februari). “Israel seeks new inroads on the African continent.” Middle East Institute. https://www.mei.edu/publications/israel-seeks-new-inroads-african-continent 

Raynor Argaditya adalah mahasiswa dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @raynorargaditya_

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *