Lingkungan vs. SDGs: Eksklusi Perempuan Adat dan Alam

0

Ilustrasi penolakan masyarakat Papua terhadap proyek MIFEE. Foto: AwasMIFEE!

Ketika membicarakan tentang pembangunan maka sudah menjadi suatu konsekuensi bagi negara untuk menciptakan adanya kerusakan terhadap sistem tatanan alam yang ada. Sistem tatanan yang dimaksud yaitu antara manusia dengan alam ataupun alam dengan alam itu sendiri. Pembangunan secara fisik, seperti MIFEE yang digalakkan di Papua, diklaim sebagai pembangunan pertanian yang menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya, sebagai pembangunan pertanian berkelanjutan nyatanya terdapat kesalahan dalam menafsirkan tentang Papua dan bagaimana orang Papua hidup, termasuk bagaimana orang Papua memperoleh makanan secara langsung dari alam. 

Dalam kehidupan suku Wamesa dan Irarutu, perempuan memiliki tanggung jawab yang lebih banyak daripada laki-laki. Di samping memenuhi ‘perut keluarga’ seperti mencari ikan atau karaka (kepiting) dan menokok sagu yang kemudian dijual ke pasar, perempuan suku Wamesa dan Irarutu juga harus menjalankan peran sebagai ibu yang bertugas untuk mendidik dan mensosialisasikan anak-anaknya tentang pengelolaan alam. Perempuan dari suku Wamesa dan Irarutu seringkali mendapat predikat bahwa mereka menjalankan beban ganda karena berbagai peran yang dipraktikkannya tadi. 

Alih-alih dianggap tersubordinasi karena berada di ranah domestik, namun sebenarnya hal itu menjadi upaya perempuan Suku Wamesa dan Irarutu dalam menjaga keanekaragaman hutan mangrove. Justru perempuan-lah yang menguasai pengetahuan tentang alam sebagaimana tercermin dalam kegiatan mencari karaka dan menokok sagu. Sagu adalah makanan pokok bagi masyarakat Papua, bukan nasi. Masyarakat Papua memang mengandalkan hutan sebagai sumber makanan bagi keberlangsungan hidup bagi mereka. Mereka yang sehari-hari tinggal berdekatan dengan alam, hanya perlu masuk ke dalam hutan dan menebang pohon sagu untuk diolah menjadi makanan. Di hari itu juga mereka bisa mencukupi kehidupan keluarga selama berbulan-bulan tanpa harus menanam. Untuk memperoleh lauk-pauk, mereka hanya perlu membawa tombak atau panah untuk berburu hewan ataupun ikan di hutan dan kebutuhan hidup mereka sudah terpenuhi. 

Dampak Proyek MIFEE terhadap Kehidupan Masyarakat Papua

Kehidupan suku Wamesa dan Irarutu setidaknya cukup menggambarkan kehidupan orang Marind di Kabupaten Merauke yang menekankan alam sebagai pusat kehidupan. Proyek MIFEE tentu akan mempersulit penghidupan orang Marind karena hanya akan menjauhkan mereka dari alam. Hadirnya proyek MIFEE yang digadang-gadangkan itu jelas bertentangan dengan konsep hidup orang-orang Papua yang menggantungkan hidupnya pada alam. Masyarakat Papua selama ini tidak perlu melakukan usaha pertanian maupun peternakan karena alam sudah menyediakan semua kebutuhan. Akibatnya, sikap ketergantungan terhadap alam mulai tersingkirkan, dan lambat laun kepedulian mereka terhadap alam pun akan hilang pula.  

Proyek MIFEE menjadi kekerasan budaya bagi masyarakat Papua, terutama yang dialami oleh perempuan. Bagi sebagian pendapat ekofeminis, fakta tentang kapasitas prokreasi perempuan yang menjadi sumber ikatan biologis yang memberi kehidupan. Menurut Longenecker (1997), hubungan dengan alam ditunjukkan sifat metaforis seperti “alam ibu” (mother nature) atau “ibu bumi” (mother earth). Dalam mitologi suku Wamesa, binatang berjenis kelamin betina yang hidup di hutan merupakan nenek moyang suku Wamesa. Binatang berjenis kelamin betina ini diyakini melahirkan manusia. Personifikasi binatang yang melahirkan manusia memang menunjukkan sifat feminin yang lekat dengan perempuan. Di sisi lain mitos tersebut juga mengartikan bahwa sebetulnya dari alam-lah manusia lahir. Bahwa sejak dulunya manusia telah hidup dan tinggal berdekatan dengan alam. 

Simbolisasi alam sebagai ibu menunjukkan sebuah penghormatan bahwa manusia dapat menjaga dan melestarikan alam. Kehidupan yang dekat dengan alam menandakan tidak ada hierarki antara manusia dengan alam, atau antara manusia dan hewan. Orang-orang saling peduli satu sama lainnya dan bahkan terhadap non manusia yaitu untuk alam, yang mana bumi dan hutan dipertahankan ‘misteri’, kekuatan, dan keutuhannya. Setidaknya ini menjadi sebagian gambaran tentang kehidupan yang dikendalikan oleh karakteristik feminin dari alam.

Pada kenyataannya, manusia sebagai anak dari alam telah berbuat durhaka kepada ibu melalui eksploitasi alam. Melalui kekuatan teknologi dan militer, alam ditundukkan di bawah kekuatan ekonomi global demi pencapaian untuk menguasai bumi. Penguasaan teknologi memadamkan baik alam maupun budaya yang ‘tidak rasional’. Akibatnya, manusia harus menghadapi kenyataan hilangnya hutan bersamaan dengan sebagian besar keanekaragaman spesies dan budaya. 

Munculnya spesies pembangunan dan ‘kemajuan’ merupakan suatu yang tidak dapat dihindarkan. Kehadirannya bertujuan untuk menghasilkan kehancuran alam dan ketimpangan yang tak terhindarkan, misalnya penghasilan polusi dan limbah. Hal ini didorong oleh dominasi manusia ‘rasional’ yang akhirnya mengancam dan menghasilkan hasil yang paling tidak rasional, yakni kepunahan spesies. 

Menurut pemikiran Plumwood (1993), kehidupan dunia yang didominasi oleh ‘laki-laki’ bukan suatu kebetulan. Apabila membandingkan feminitas dalam menguasai alam, maka dapat perempuan dapat melepaskan diri dari segala bentuk dominasi. Plumwood menggambarkan penguasaan yang feminin itu diibaratkan dengan sebuah planet dengan ekosistem yang sehat dan seimbang. Terutama dalam sistem pengaturan kehidupan yang berkelanjutan. Salah satu yang penting dari pendekatan ekofeminisme adalah pemberian nilai positif pada hubungan perempuan dengan alam. Berbeda dari itu, pandangan Barat justru memberikan penilaian yang negatif terhadap keterhubungan keduanya sehingga pandangan ini yang menjadi utama devaluasi dan penindasan perempuan. 

Konsep Dualisme dan Ekofeminisme

Bentuk-bentuk penindasan dari masa lalu sebenarnya masih meninggalkan jejak sebagai jaringan dualisme. Struktur logis dari dualisme membentuk dasar utama hubungan antara bentuk-bentuk penindasan. Konsep dualisme merupakan pemikiran filosofis dan menyediakan landasan terhadap feminis, namun terbatas pada pengartikulasian secara implisit. Plumwood mengkaji konsep dualisme dalam ekofeminisme secara lebih lengkap dengan menekankan pada kritik terhadap politik dan budaya. Budaya Barat telah memperlakukan hubungan manusia dan alam sebagai dualisme, yang menjelaskan perlakuan Barat terhadap alam telah mendasari krisis lingkungan. Terutama konstruksi Barat tentang identitas manusia yang didefinisikan sebagai ‘diluar’ alam. Analisis yang mendetail tentang dualisme, menunjukkan bahwa struktur logis yang memperlihatkan keberbedaan (otherness) dan penegasian. 

Konsep nalar (akal) menentukan cara pandang terhadap alam, seperti konsep suami untuk istri sebagai tuan bagi budak. Akal dalam tradisi Barat telah dikonstruksi sebagai wilayah istimewa dari ‘master’ untuk memahami alam sebagai seorang istri atau bawahan yang meliputi dan mewakili bidang materialitas, subsistensi, dan feminin yang telah dipisah dan dibangun oleh ‘sang master’. Menguasai domain alam secara terus-menerus dan kumulatif berangkat dari alasan untuk melahirkan konsep kemajuan dan pembangunan. Pandangan Plumwood tentang master dikaitkan dengan laki-laki dalam budaya patriarki karena identitas maskulin yang melekat pada laki-laki. Identitas master ini yang mengonstruksi eksploitasi alam, seperti halnya ayah yang mengambil keuntungan dari anak yang dimilikinya serta merendahkan peran ibu dalam pengasuhan.

Penjelasan tentang eksklusi akal dalam perjuangan pembebasan menjelaskan hubungan konseptual antara berbagai kategori dominasi, terutama dominasi manusia dengan dominasi alam. Alam merupakan ranah eksklusi dan kontrol yang berganda. Eksklusi tidak hanya terjadi pada non-manusia, tetapi juga berbagai kelompok manusia dan aspek kehidupan manusia yang berperan sebagai alam. Dalam konteks ini, kolonialisme dan seksisme telah membentuk konseptual tentang perbedaan seksual, ras dan etnis yang mirip dengan hewan dan tubuh. Hal ini ditafsirkan sebagai ruang inferioritas, sebagai bentuk kemanusiaan yang lebih rendah dan tidak memiliki ukuran rasionalitas. 

Hubungan antara bentuk-bentuk dominasi Barat merupakan hasil evolusi historis tertentu, yang terbentuk dari keharusan logika dominasi antara diri dan other serta akal dan alam. Alam dalam konteks ini didefinisikan sebagai pasif, sebagai non-agen atau non-subjek. Lingkungan didefinisikan kondisi latar belakang yang tidak kelihatan yang dengannya ‘latar depan’ pencapaian akal. Pemikiran Plumwood bertujuan untuk menganalisis dualisme antara nalar dan alam serta dampaknya pada hubungan manusia. Dengan karakteristik lebih lanjut pada lingkup diri dan lainnya (other), ruang publik atau privat, serta dualisme nalar dan emosi.

Plumwood memfokuskan analisisnya pada rasionalisme dan dualisme yang merujuk pada a gendered reason and nature contrast sebagai bentuk sentral dalam pemikiran Barat yang diuraikan dalam struktur dualistik seperti budaya dan alam, pikiran dan tubuh, laki-laki dan perempuan, serta subjek dan objek. Namun, hubungan ini berbeda dari dikotomi, non-identitas, atau perbedaan dengan konstruksi penindasan yang sistematis. 

Menurut Hawkins (1998), pengertian tentang master yang menunjukkan superioritas terhadap other sebagai entitas yang inferior. Setidaknya terdapat lima karakteristik dualisme, yaitu (1) latar belakang atau penolakan, (2) eksklusi atau hiperseparasi radikal sebagai bentuk diskontinuitas absolut, (3) penggabungan atau definisi relasional, yang mana other didefinisikan dalam hal kurangnya kualitas yang dimiliki oleh master, sebaliknya, hanya yang berkualitas dapat dimasukkan ke dalam kebutuhan dan keinginan master; (4) instrumentalisme atau objektifikasi, yang mana other hanya diakui sebagai objek, sumber daya atau sarana untuk tujuan master daripada sebagai subjek yang memiliki tujuan sendiri; dan (5) homogenisasi atau stereotip, yaitu ketika semua anggota kelas yang tertindas dipandang seragam dan stereotip, dilucuti dari semua individualitas atau perbedaan. Karakteristik ini yang menjelaskan dualisme, yang diidentifikasi sebagai “garis fraktur” yang paradigmatik dalam seluruh kebudayaan Barat. Bahwa hampir semua hal pada sisi ‘superior’ direpresentasikan sebagai bentuk-bentuk akal, sedangkan semua yang berada di bawah dapat direpresentasikan sebagai bentuk-bentuk alam. 

Kesimpulan

Pemahaman tentang eksklusi dan dominasi akal budaya Barat tidak hanya mencakup perempuan dan alam, tetapi semua tatanan manusia yang diperlakukan sebagai alam dan tunduk pada ketergantungan. Identitas sang master bukan merupakan identitas maskulin yang murni dan sederhana. Identitas ini diekspresikan dalam konsepsi akal yang dominan dan memunculkan struktur dua sisi yang berbeda. Apabila hubungan kekuasaan budaya Barat yang berlaku telah menentukan pemilihan teori logis, maka untuk menolak struktur pemikiran yang tidak menyiratkan penolakan dari semua upaya untuk alasan struktur. 

Dualisme juga dapat dilihat sebagai bentuk diferensiasi yang teralienasi, di mana kekuasaan mengonstruksikan perbedaan dalam hal ranah inferior. Menurut Plumwood dalam kekuasaan tirani, manusia dipilih untuk melakukan penindasan secara sewenang-wenang. Tetapi dalam bentuk kekuasaan yang sistematis, kekuasaan biasanya dilembagakan dan ‘dinaturalisasi’ dengan mengaitkan pada bentuk-bentuk perbedaan yang ada. Dualisme bukan hanya sistem ide yang mengambang; melainkan terkait erat dengan dominasi dan akumulasi, dan merupakan ekspresi dan pembenaran budaya utama. 

Lingkungan material dan budaya melakukan pekerjaan dominasi dan dapat dipilih oleh pengaturan sosial dan politik tertentu untuk mempertahankan dan memperkuat suatu struktur sosial tertentu, seperti halnya teknologi. Himpunan dualisme yang saling terkait dan saling menguatkan yang menembus budaya Barat membentuk garis patahan yang melintasi seluruh sistem konseptualnya. Sementara itu, kontras manusia dan alam adalah salah satu bentuk dualisme yang dapat sepenuhnya dipahami hanya sebagai bagian dari himpunan saling terkait. Masing-masing memiliki koneksi penting ke elemen lain, dan memiliki struktur yang sama dengan yang lain. Dualisme merupakan logika kolonisasi yang harus dilihat sebagai pembentukan sistem dan struktur yang saling terkait.

Daftar Pustaka

Hawkins, Ronnie Zoe. 1998. Ecofeminism and Nonhumans: Continuity, Difference, Dualism, and Domination. Hypatia, Vol. 13, No. 1.

Longenecker, Marlene. 1997. Women, Ecology, and the Environment: An Introduction. NWSA Journal, Vol. 9, No. 3: (1-17).

Moore, Henrietta. 1998. Feminisme dan Antropologi. Terjemahan Tim Proyek Studi Jender dan Pembangunan FISIP UI.

Plumwood, Val. 1993. Feminism and the Mastery of Nature. Routledge: London.

Krisnaldo Triguswinri merupakan Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Universitas Diponegoro. Dapat ditemui melalui Instagram dengan nama pengguna @Krisnaldotriguswinri_.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *