Presiden Jokowi melantik Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) di Istana Negara. Foto: Wahyu Putro/Antara Foto

Duta besar adalah pos diplomatik profesional yang kerap dipersepsikan prestisius. Bayangan umum para duta besar adalah diplomat karier dengan pakaian perlente dan pengetahuan luas soal hubungan internasional dan konteks negara penugasannya. Akan tetapi, bayangan tersebut adalah gambaran yang tidak sepenuhnya tepat tentang pos duta besar.

Tidak hanya bersifat profesional, pos duta besar juga bersifat politis. Hal ini disebabkan penunjukan duta besar merupakan hak prerogatif presiden di Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia tidak sendiri dalam melakukan praktik penunjukan politik. Dari Nigeria hingga Amerika Serikat, penunjukan politik menjadi praktik yang umum dilakukan, meski praktik ini lebih prevalen di negara-negara berkembang.

Penunjukan politik domestik oleh presiden, seperti kementerian hingga komisaris BUMN, kerap mendapat sorotan publik. Sementara itu, penunjukan politik duta besar kerap kali luput dari perhatian publik. Padahal, posisi duta besar yang menjadi representasi di negara lain harus memiliki keahlian diplomatik untuk dapat memajukan hubungan bilateral, manajemen krisis, serta melindungi WNI di luar negeri. Posisi duta besar juga merupakan posisi yang dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, terutama dalam kaitan dengan bisnis dan politik di negara lain.

Oleh karena itu, Tim Kontekstual membuat liputan khusus tentang penunjukan politik duta besar di masa Presiden Joko Widodo. Liputan khusus ini merupakan investigasi yang dilakukan dengan menggunakan sumber open-source dalam menganalisis penunjukan duta besar di masa Presiden Jokowi.

Latar Legal dan Historis Praktik Pengangkatan Duta Besar

Sebagai aspek vital dari manifestasi kedaulatan negara secara eksternal, yakni adanya representasi dalam hubungan antarnegara, penunjukan duta besar diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Di dalam Pasal 13 UUD 1945 diatur bahwa,

(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.

(2) Dalam hal mengangkat duta, presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Presiden menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

Lebih lanjut, perihal penunjukan ini juga diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 1999. Di dalam Pasal 29 diatur bahwa,

“Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh adalah pejabat negara yang diangkat dan diberhentikan oleh presiden selaku kepala negara.”

Dalam peraturan ini, tidak diatur siapa dan kriteria apa saja yang menjadi tolak ukur pengangkatan duta besar. Oleh karena itu, pada dasarnya presiden dapat mengangkat siapa saja menjadi dubes. Presiden tidak diharuskan memilih diplomat karier sebagai dubes, melainkan dapat menunjuk non-karier sebagai duta besar.

Melalui pengaturan ini, juga diketahui bahwa penunjukan dubes menjadi hak prerogatif presiden, meski dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan DPR. Klausa “memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat” sendiri baru dimasukkan dalam amandemen pertama UUD 1945 pada Oktober 1999. Hal ini berarti sebelum memasuki era reformasi, penunjukan dubes praktis tergantung hanya kepada presiden tanpa adanya checks and balances.

Oleh karena itu, di era Orde Baru penunjukan dubes terpusat di tangan presiden Soeharto, yang menggunakannya untuk kepentingannya sendiri. Dahulu—cukup berbeda dari zaman sekarang—terdapat istilah “di-dubes-kan”, yakni pembuangan menjadi dubes bagi lawan politik, purnawirawan militer, dan tokoh lainnya yang tidak diinginkan di dalam negeri. Fenomena ini mirip seperti aktivis politik yang “disekolahkan” agar tidak membuat kekacauan di dalam negeri. Penugasan-penugasan tersebut menunjukan posisi dubes sebagai sarana akomodasi kepentingan presiden. Pelibatan DPR ditujukan untuk mencegah fenomena serupa terulang kembali.

Meskipun begitu, bahkan setelah adanya pertimbangan dari DPR ini presiden masih relatif cukup bebas dalam mengangkat duta besar. Dalam praktiknya, DPR—dalam hal ini Komisi I—melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) atau yang kini lebih sering disebut Uji Kepatutan dan Kelayakan (UKK), kemudian memutuskan untuk memberikan pertimbangan, untuk diterima atau ditolak, di rapat paripurna. Akan tetapi sebagaimana diatur, pertimbangan DPR ini tidak bersifat mengikat dan dapat presiden abaikan jika mau.

Pada awal implementasinya, DPR tercatat pernah tidak meloloskan 7 dari 27 calon dubes yang diajukan oleh Presiden Megawati pada 2002 dalam pertimbangannya. Akan tetapi, langkah ini segera menuai kritik dari para ahli tata negara, seperti Prof. Satya Arimanto, yang menyebut bahwa  pertimbangan dari DPR tersebut tidak bersifat mengikat. Oleh karena itu, DPR tidak dapat benar-benar “tidak meloloskan” seorang calon dubes dalam seleksinya.

Dengan demikian, di era Reformasi ini masih tidak ada yang dapat menghalangi presiden dalam mengangkat dubes yang dia kehendaki, meski calon-calon dubes yang dipilih memiliki kompetensi yang meragukan. Terlebih lagi, posisi dubes sekarang sudah jauh dari konotasi negatifnya di era Orde Baru, sehingga menjadi posisi yang diinginkan semakin banyak orang. Dengan demikian, hak prerogatif presiden untuk menunjuk dubes menjadi semakin rentan disalahgunakan untuk “bagi-bagi jatah”, “politik balas budi”, maupun kepentingan lainnya.

Tren Pengangkatan Duta Besar di Era Jokowi

Selama masa jabatannya sejak 2014 hingga 2022, Presiden Jokowi telah mengangkat 162 duta besar. Jumlah ini tidak termasuk konsul dan utusan luar negeri yang sifatnya berbeda dari duta besar, seperti Kepala Urusan Dagang di Republik Cina (Taiwan). Jika di rata-ratakan setiap tahun sejak 2015, Presiden Jokowi mengangkat sekitar 20 dubes tiap tahunnya.

Dari 162 dubes yang diangkat oleh Presiden Jokowi, mayoritas adalah diplomat karier sebanyak 108 pengangkatan. Akan tetapi, pengangkatan non-karier juga terbilang besar, yakni sebanyak 54 pengangkatan atau ⅓ dari keseluruhan penunjukan duta besar.

(Sumber: olahan tim penulis)

Penunjukan dubes non-karier befluktuasi setiap tahunnya. Dari 54 penunjukan tersebut, ditemukan bahwa pengangkatan dubes non-karier paling banyak terjadi di tahun 2016, 2017, dan 2020 yang dengan masing-masing 9 pengangkatan dubes non-karier. Setiap tahunnya, selalu ada pengangkatan dubes non-karier. Akan tetapi, secara proporsi pengangkatan dubes non-karier cukup besar di 2014, yang 100% pengangkatan dubes adalah non-karier, dan 2016, 2017, dan 2022, yang pengangkatan dubes non-karier mencapai sepertiga atau lebih dari total pengangkatan dubes.

(Sumber: olahan tim penulis)

Komposisi terbesar dari penunjukan dubes non-karier adalah dari kalangan politisi (17%). Dubes dari kalangan politisi ini seluruhnya berasal dari partai-partai pendukung pemerintah. Berdasarkan temuan kami, semua partai koalisi pemerintah saat ini telah mendapatkan “jatah” dubes, kecuali Partai Gerindra. PDI-P meraup paling banyak kursi, disusul oleh Golkar dan PPP. Bahkan, partai non-parlemen seperti PKPI, PBB, dan PSI pun ikut mendapatkan pos dubes tersebut.

(Sumber: olahan tim penulis)

13 dari 27 dubes dari kalangan politisi tersebut memiliki latar belakang di DPR. Sebagian diantaranya memiliki posisi tinggi di DPP partai, seperti Safira Machrusah (Wasekjen PKB), Iwan Bogananta (Bendum PKPI), dan Roem Kono (Wasekjen Golkar). Meski begitu, juga terdapat banyak politisi dengan latar belakang pemerintahan di level lebih rendah seperti bupati. Bahkan, terdapat politisi yang tidak pernah memegang jabatan publik dan memiliki rekam jejak misterius, seperti Mohamad Irzan Djohan yang hanya tercatat sebagai juru kampanye Golkar pada Pemilu 2014 dan anggota PSI pada Pemilu 2019, tetapi tidak pernah memegang jabatan publik dan jarang tampil di publik.

Di era Jokowi juga didapati penunjukan relawan semasa Pemilu, yang berasal dari kalangan non-partai, menjadi duta besar. Terdapat dua nama relawan Jokowi yang ditunjuk menjadi duta besar, yakni Rosan Roeslani dan Fadjroel Rachman. Fadjroel Rachman merupakan relawan pendukung Jokowi sejak 2014, sementara itu Rosan Roeslani baru masuk ke tim pemenangan Jokowi pada Pemilu 2019, tetapi langsung memegang peran penting sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi. Selain sebagai relawan Jokowi, Rosan juga dikenal sebagai pebisnis ulung, Chairman Grup Recapital, salah satu orang Indonesia yang memiliki Inter Milan, dan Ketua Kadin 2015-2020. Lebih menarik lagi, Fadjroel Rachman dan Rosan Roeslani dilantik pada saat yang sama oleh Presiden Jokowi, yakni pada 25 Oktober 2021.

Kalangan pebisnis yang berpengaruh juga mendapat bagian dalam pengangkatan dubes di masa Jokowi. Akan tetapi, sebagian besar pebisnis ini juga memiliki pengaruh di bidang lainnya, seperti politik dan media. Salah satu nama dubes terbesar dari kalangan pebisnis ini adalah Rusdi Kirana, CEO Lion Air Group. Akan tetapi Rusdi Kirana bukan CEO biasa, sebab dia juga merupakan Waketum PKB, salah satu partai terbesar pengusung Jokowi sejak 2014. Setelah kemenangan Jokowi-JK pada Pemilu 2014, Rusdi menjadi anggota Wantimpres hingga Juni 2017, sebelum diangkat menjadi duta besar di Malaysia.

Komposisi terbesar kedua dalam pengangkatan dubes non-karier adalah dari kalangan birokrat non-diplomat. Birokrat ini berasal dari tiga latar belakang utama, yakni TNI, kementerian, dan Polri. Militer sejauh ini masih menjadi kelompok yang rutin mendapatkan “jatah” dubes setiap tahunnya sejak 2016. Semua purnawirawan yang diangkat menjadi dubes merupakan perwira tinggi di TNI. Tren ini menunjukkan masih besarnya pengaruh purnawirawan TNI dan Polri di pemerintahan.

(Sumber: olahan tim penulis)

Pada 2016, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Mochammad Luthfie Witto’eng diangkat menjadi dubes di Venezuela. Pada 2017, Mayor Jenderal (Purn.) Arif Rachman diangkat menjadi dubes di Afghanistan. Pada 2019, Marsekal Muda (Purn.) Usra Hendra Harahap diangkat menjadi dubes di Nigeria. Pada 2020, Mayor Jenderal TNI (Purn.) Imam Edy Mulyono diangkat menjadi dubes menggantikan Luthfie Witto’eng. Pada 2021, Letnan Jenderal TNI (Purn.) Hotmangaradja Pandjaitan diangkat menjadi dubes di Prancis. Terakhir pada 2022, Letnan Jenderal TNI (Purn.) Agus Widjojo diangkat menjadi dubes di Filipina.

Akademisi menjadi komposisi terbesar ketiga dalam pengangkatan dubes non-karier. Terdapat setidaknya lima universitas yang menjadi asal dari dubes non-karier ini. Dari semua dubes yang ditunjuk, tidak ada yang memiliki latar belakang Hubungan Internasional kecuali Rizal Sukma.

(Sumber: olahan tim penulis)

Terakhir, juga terdapat tiga nama dubes non-karier yang tidak termasuk dalam empat kategori sebelumnya, yakni Sri Astari Rasjid, Suryopratomo, dan Andriana Supandi. Meski begitu, bukan berarti nama-nama tersebut tidak memiliki pengaruh dalam keterpilihannya. Sri Astari Rasjid dikenal luas sebagai seniman, tetapi selain menjadi seniman dia juga merupakan istri dari Haroen Al Rasjid, Presdir PT Caltex Pacific Indonesia periode 1977-1994 dan Presiden Komisaris PT CPI periode 1994-2003. Suryopratomo merupakan orang berpengaruh di media yang memegang beberapa jabatan pimpinan di redaksi dan manajemen Kompas dan MetroTV. Pencalonan Suryopratomo sebagai dubes juga mendapat dukungan kuat dari Partai Nasdem. Sementara itu, tidak banyak yang diketahui soal Andriana Supandi.

Selain tren umum, liputan khusus ini juga mengidentifikasi beberapa negara dan kawasan yang menjadi favorit bagi para dubes non-karier di bagian berikut.

Pos Dubes Paling Diinginkan: Duta Besar di Amerika Serikat dan Jepang

Berdasarkan pergantian dan rekam jejak penempatan dubes di negara-negara sahabat, didapati dua negara yang menjadi high-demand bagi para calon dubes non-karier, yakni Jepang dan Amerika Serikat.

Posisi duta besar di Jepang telah dijabat oleh dubes non-karier selama hampir 17 tahun. Diplomat karier terakhir yang menjabat sebagai dubes di Jepang adalah Abdul Irsan, yang ditunjuk oleh Presiden Megawati dan menjabat hingga Oktober 2006. Setelah itu, di masa pemerintahan Presiden SBY dan Jokowi, posisi dubes di Jepang selalu diisi oleh dubes non-karier.

Di masa SBY, posisi dubes di Jepang diisi oleh Jusuf Anwar, Muhammad Lutfi, dan Yusron Ihza Mahendra. Jusuf Anwar adalah eks-Menkeu pertama di zaman SBY, yang digantikan oleh Sri Mulyani. Muhammad Lutfi menjabat dua kali sebagai Menteri Perdagangan di zaman SBY. Sementara itu, nama “Ihza Mahendra” yang menempel di nama Yusron dengan jelas menandakan hubungan kekerabatannya dengan Yusril Ihza Mahendra, ketua umum Partai Bulan Bintang. Tren tersebut diteruskan di masa Jokowi, yang menunjuk Arifin Tasrif dan kemudian Heri Akhmadi menjadi dubes di Jepang. Arifin Tasrif sebelum ditunjuk adalah pebisnis di sektor BUMN yang telah berkiprah selama puluhan tahun di perusahaan pelat merah. Arifin kemudian menjadi Menteri ESDM selepas menjadi dubes di Jepang. Sementara itu, Heri Akhmadi merupakan politisi dan anggota DPR dari fraksi PDI-P.

Posisi duta besar di AS memiliki gambaran yang sedikit berbeda dengan Jepang. Selama masa Presiden SBY, posisi dubes di AS ini selalu diisi oleh orang dari Deplu (sekarang Kemlu). Akan tetapi diplomat karier yang ditempatkan di AS ini memiliki rekam jejak yang lebih politis. Sudjadnan Parnohadiningrat (Dubes untuk AS 2006-2010) terkena kasus korupsi, sementara itu Dino Patti Djalal (Dubes untuk AS 2010-2014) mundur untuk maju dalam Konvensi Presiden Partai Demokrat pada 2014. Selain itu, Budi Bowoleksono menjalankan tugas diplomatiknya dengan keriuhan minimal dan menjabat hingga 7 Januari 2019.

Namun di era Jokowi, yang baru mulai menunjuk dubes untuk AS pada 2019, posisi dubes telah berganti tiga kali. Tiga orang yang menjadi dubes AS sejak 2019 adalah Mahendra Siregar, Muhammad Lutfi, dan Rosan Roeslani. Mahendra Siregar menjadi dubes yang menjabat kurang dari 10 bulan, berakhir di Oktober 2019, tahun yang sama dengan pengangkatannya. Mahendra kemudian didapuk sebagai Wakil Menteri Luar Negeri setelah itu, meski tidak dapat dipungkiri Mahendra memulai sebagai diplomat karier sebelum merambah ke kementerian lain. Nama Muhammad Lutfi kembali muncul dalam Pemerintahan Jokowi sebagai dubes untuk AS, tetapi hanya untuk 3 bulan 1 minggu lamanya, sebab Lutfi kemudian ditarik untuk kembali menjadi Menteri Perdagangan. Sejak Oktober 2021, posisi tersebut kemudian dijabat oleh Rosan Roeslani, pebisnis ulung sekaligus Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Jokowi pada 2019. Para dubes non-karier ini memiliki masa jabatan yang sangat singkat untuk ukuran dubes.

Kawasan Favorit: Eropa dan Dunia Arab

Secara persebaran wilayah, kawasan Eropa dan Dunia Arab (Timur Tengah dan Afrika Utara) menjadi pos penempatan favorit para dubes non-karier. Selama 2014-2022, terdapat 16 penujukan dubes non-karier dengan penempatan Eropa dan 12 penunjukan dengan penempatan Timur Tengah dan Afrika Utara. Total 28 penunjukan ini berarti lebih dari setengah dari total 54 dubes non-karier yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi ditempatkan di dua kawasan ini.

Dari total 16 pengangkatan dubes non-karier di Eropa, mayoritas diisi oleh politisi dan birokrat. Terdapat sembilan politisi yang ditunjuk menjadi dubes di Eropa, yang didominasi oleh PDI-P dan Golkar masing-masing tiga pos. PDI-P mendapat pos dubes di Italia sekali dan Kroasia dua kali, sementara Golkar mendapat pos dubes di Portugal, Ukraina, dan Bosnia Herzegovina. Sementara itu, dari empat birokrat yang ditunjuk menjadi dubes di Eropa, dua diantaranya berasal dari TNI, satu dari Polri, dan satu dari Kemendagri. Penempatan dubes non-karier ini secara khusus juga lebih terkonsentrasi di negara-negara Balkan.

Sama dengan kawasan Eropa, 12 pengangkatan dubes non-karier di Timur Tengah dan Afrika Utara didominasi oleh politisi. Hal yang menarik adalah bahwa hampir semua dubes non-karier di Dunia Arab ini berasal dari Partai Islam atau memiliki latar belakang Islam yang menonjol. Semua dubes yang berasal dari PPP memiliki penempatan di Timur Tengah dan Afrika Utara atau Azerbaijan. Wasekjen PKB Safira Machrusah menjadi dubes di Aljazair. Sementara itu, mereka yang tidak berasal dari Partai Islam seperti Zuhairi Misrawi (PDI-P, Tunisia) memiliki latar belakang di ormas Islam seperti NU.

Problema Pengangkatan Dubes Non-Karier oleh Presiden

Pengangkatan dubes non-karier oleh presiden ini memiliki setidaknya dua permasalahan utama. Pertama, sebagaimana hak prerogatif presiden lainnya, kebebasan presiden untuk menunjuk menjadikannya rentan disalahgunakan. Kedua, pengangkatan dubes dengan motif utama selain untuk kebutuhan diplomatik itu sendiri berpotensi mengorbankan hubungan luar negeri Indonesia dengan kompetensi dubes yang tidak memadai.

Kebebasan Presiden dalam Menunjuk Dubes

Seperti yang telah dijelaskan di awal, presiden secara praktis memiliki kebebasan yang tidak dihalangi dalam mengangkat dubes. Kebebasan serupa di negara lain telah mendorong merebaknya fenomena “politik balas budi”.

Di AS, sentralitas presiden dalam pengangkatan dubes telah mendorong pengangkatan dubes melalui pendekatan political payoff model. Political payoff model dari penelitian Ben dan Ingraham (1990) menunjukkan bagaimana penunjukan politik, seperti dubes, diberikan kepada kelompok-kelompok penting yang mendukung calon presiden pemenang Pemilu di AS. Dalam konteks AS, berbagai penelitian yang telah menunjukkan bahwa “dukungan” yang paling berpengaruh dalam pengangkatan dubes adalah dukungan finansial melalui kontribusi kampanye (yang dibuka). Akan tetapi, tentu dukungan ini juga dapat berarti dukungan non-finansial.

Berdasarkan tinjauan terhadap pengangkatan dubes non-karier di era Jokowi di atas, dapat diketahui bahwa pengangkatan dengan pendekatan political payoff model ini juga dapat diamati di Indonesia. Meski tidak dapat diketahui dengan jelas apakah perihal finansial menjadi faktor utamanya, tetapi dukungan dalam arti luas dapat diamati.

Pengangkatan dubes era Jokowi berkaitan erat dengan dukungan politik terhadap presiden, sebelum maupun setelah terpilih. Hal ini terlihat bahwa posisi dubes hanya diberikan kepada partai-partai pendukungnya, dengan tren jatah dubes paling banyak didapatkan oleh partai-partai yang juga besar di parlemen. Banyak dubes non-karier lainnya, terutama dari kalangan pebisnis dan akademisi, memiliki rekam jejak menjadi pendukung Jokowi secara aktif dalam Pemilu. Dukungan ini kemudian berbalas manis dengan penunjukan menjadi dubes di kemudian hari.

Seperti yang tersirat dari istilah yang digunakan, penunjukan posisi dubes berdasarkan political payoff model berarti memiliki sifat transaksional. Tidak mungkin bagi para dubes non-karier untuk diangkat tanpa ada jasa tertentu dari dirinya secara pribadi maupun kelompoknya kepada presiden yang berkuasa. Dengan demikian, kesempatan pengangkatan dubes disalahgunakan kesempatan untuk melakukan politik balas budi, bukan untuk memilih siapa yang terbaik untuk mengisi suatu pos dubes.

Dikorbankannya Hubungan Luar Negeri Indonesia

Posisi duta besar sepatutnya diisi oleh orang-orang yang memiliki kompetensi khusus, baik teoretis maupun praktis, tentang hubungan luar negeri Indonesia. Dalam seleksi yang dilakukannya, terdapat tujuh kriteria yang menjadi pertimbangan Komisi I DPR dalam memilih dubes, yakni:

  1. Memiliki kemampuan diplomasi yang mencakup komunikasi, konseptual, dan kemampuan berargumentasi.
  2. Memiliki kemampuan minimal Bahasa Inggris dan.atau bahasa setempat.
  3. Memiliki latar belakang pendidikan minimal sarjana (S1).
  4. Memiliki kemampuan profesional dan manajerial.
  5. Tidak cacat moral, terindikasi korupsi, kolusi, ataupun nepotisme.
  6. Memiliki integritas dan loyalitas tinggi terhadap bangsa dan negara.
  7. Memiliki pengalaman panjang terhadap profesi dalam bidangnya.

Dari ketujuh kriteria ini, kriteria yang secara spesifik berhubungan dengan posisi dubes dan pengetahuan hubungan internasional adalah kriteria pertama. Kriteria lainnya cenderung umum dalam lingkungan pemerintahan.

Kriteria pertama mensyaratkan kompetensi diplomasi yang mencakup setidaknya tiga aspek, yakni komunikasi, konseptual, dan kemampuan berargumentasi. Kompetensi pertama, yakni komunikasi, dimaknai terutama dalam kemampuan berbahasa, sehingga berhubungan dengan kriteria kedua. Akan tetapi, kompetensi ini tentu seharusnya dimaknai melebihi kefasihan seorang calon dubes dalam bahasa tertentu, melainkan juga kemampuan berkomunikasi dalam konteks diplomatik. Kemampuan komunikasi diplomatik ini dapat bervariasi dari berkomunikasi secara formal dengan pemerintahan di negara terkait hingga berkomunikasi dengan WNI yang menghadapi kesulitan.

Kompetensi kedua, yakni konseptual, berkaitan terutama dengan kemampuan secara akademik mengetahui bagaimana hubungan internasional bekerja serta prinsip dan prioritas politik luar negeri Indonesia. Kompetensi ini menjadi aspek krusial yang tidak dapat dipelajari secara singkat, melainkan harus melalui suatu pendidikan tertentu untuk mendapat pengetahuan tentang hubungan internasional. Bagaimana sistem internasional bersifat anarki, eksistensi institusi internasional, hingga dinamika antar aktor internasional adalah sedikit diantara hal yang wajib dipahami oleh para dubes untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik.

Kompetensi ketiga, yakni kemampuan berargumentasi, terutama berfungsi dalam forum dan kesempatan khusus dan tidak jarang melibatkan dinamika diplomatik yang tinggi. Dalam konteks diplomatik, kemampuan berargumentasi tidak selalu digunakan sehari-hari, melainkan lebih prevalen dalam kegiatan khusus seperti sesi di PBB, negosiasi perjanjian, atau krisis diplomatik. Meski begitu, hal ini tetap wajib dimiliki oleh para calon dubes. Kompetensi ini juga tidak mudah didapatkan, sebab hanya dapat dipelajari melalui simulasi dan pengalaman perundingan internasional dengan pengetahuan konseptual dan praktikal yang spesifik. Bukan kebetulan hampir tidak ada dubes non-karier yang ditempatkan sebagai bagian dari delegasi ke PBB atau organisasi internasional lainnya yang membutuhkan kemampuan berargumentasi tinggi.

Dalam hal pengangkatan dubes non-karier, banyak calon dubes yang dikatakan tidak memenuhi kriteria pertama ini. Lebih sering, hanya kompetensi berbahasa yang dikutip dalam mendukung pencalonannya, bahwa sang calon dubes non-karier dapat atau bahkan fasih berbahasa Arab, Prancis, atau Jepang yang sesuai dengan negara penugasannya. Sedikit diantaranya terbilang memiliki pengetahuan konseptual, seperti akademisi di bidang HI yakni Rizal Sukma, tetapi itu pun hanya satu diantara 54 penunjukan dubes. Sementara itu, untuk kemampuan argumentasi diplomatik, dapat dibilang hampir tidak ada calon dubes non-karier yang memiliki simulasi atau pengalaman yang relevan untuk memilikinya.

Dengan diangkatnya dubes-dubes non-karier yang tidak sepenuhnya memiliki kompetensi diplomatik, pemerintah secara efektif telah mengorbankan hubungan luar negeri Indonesia. Tanpa kompetensi yang dibutuhkan, Indonesia berpotensi tidak dapat membela kepentingan-kepentingannya dan mencapai tujuan-tujuannya di kancah internasional, terutama secara bilateral. Singkatnya, para dubes non-karier memiliki risiko underperformance yang besar dalam menjalankan tugas diplomatik. Pengangkatan dubes dengan latar politis, bisnis, dan lainnya juga berpotensi memunculkan konflik kepentingan atau penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Hal ini tentu berbeda dengan diplomat karier yang memiliki orientasi utama sebagai abdi negara.

Sehubungan itu, pengangkatan dubes non-karier juga merugikan para diplomat karier yang ada di Kementerian Luar Negeri. Para diplomat karier, yang melalui pendidikan diplomatik formal dan memiliki pengalaman puluhan tahun dirotasi di banyak posisi di berbagai negara, dapat diekspektasikan memiliki kompetensi yang lebih baik dalam menjalankan tugas diplomatik sebagai duta besar. Akan tetapi, ratusan orang dalam korps diplomatik Indonesia ini tidak dapat mendapatkan penugasan sebagai dubes yang optimal dengan banyaknya pengangkatan dubes non-karier. Bagaimanapun juga, jalur non-karier adalah shortcut yang mengorbankan diplomat karier profesional.

Catatan Kritis Pengangkatan Dubes Non-Karier

Pada dasarnya, wewenang pengangkatan duta besar oleh presiden sudah pada tempatnya. Dubes adalah perpanjangan tangan pemerintahan di luar negeri. Dalam menjalankan tugasnya, dubes harus mewakili kebijakan dan prioritas pemerintahan yang menjabat. Akan tetapi, sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, keleluasaan ini telah memungkinkan pengangkatan dubes non-karier yang signifikan yang diwarnai politik balas budi, dengan mengorbankan para diplomat karier profesional.

Sebelumnya, telah terdapat upaya penambahan legislative oversight melalui amandemen UUD 1945. Meski adanya kesempatan UKK telah memberikan wadah untuk Komisi I DPR mengkritisi para calon dubes, tetapi tidak terlihat pengaruh signifikan ujian ini terhadap keterpilihan maupun kualitas para dubes. Di sisi lain, semakin banyak calon dubes justru berasal dari kalangan parpol itu sendiri. Parpol bahkan tidak malu untuk memberikan dukungannya kepada calon-calon dubes tertentu. Hal ini tentu menjadi suatu masalah yang serius.

Lebih lanjut, tidak adanya ketentuan yang jelas dalam penunjukan dubes juga telah memungkinkan terjadinya kasus-kasus jabatan ganda. Keberadaan anggota aktif parpol, Polri, dan institusi lainnya yang juga memegang pos dubes seharusnya menjadi suatu fakta yang mengusik bagi hubungan luar negeri Indonesia. Perihal kompetensi yang memadai juga menjadi pertanyaan yang belum terjawab.

Terlebih lagi, pengangkatan dubes non-karier ini datang dengan konsekuensi merugikan bagi para diplomat karier. Korps diplomatik Indonesia yang dibangun sejak 1949 telah menyediakan diplomat-diplomat yang kompeten, profesional, dan berkomitmen dalam melaksanakan politik luar negeri Indonesia dalam jumlah yang memadai. Menurut diplomat Kemlu sendiri, diperlukan waktu 20-25 tahun bagi seorang diplomat sejak masuk Kemlu hingga dapat menjadi duta besar. Pemberian posisi duta besar dalam jumlah signifikan kepada non-karier, ketika posisi tersebut dapat diisi oleh diplomat karier, tentu merupakan suatu ketidakadilan.

Perihal pengangkatan dubes non-karier dapat terus dilakukan atau mungkin juga dihilangkan seperti di sebagian besar negara maju. Yang pasti, sistem yang terlampau permisif ini harus diperbaiki.

Fleksibilitas pengangkatan dubes non-karier adalah fleksibilitas dalam birokrasi yang bisa jadi dibutuhkan. Akan tetapi, dibutuhkan preseden yang kuat untuk mencegah penyalahgunaan dalam pengangkatan dubes non-karier ini. Fakta bahwa mayoritas duta besar masih berasal dari golongan karier merupakan preseden yang baik. Konsensus, setidaknya sejak era Presiden Megawati, bahwa Menteri Luar Negeri sepatutnya diisi oleh diplomat karier yang independen juga merupakan standar yang patut dicontoh.

Preseden ini dapat diikuti oleh peraturan formal yang, mau tidak mau, lebih kaku. Hal ini dapat berupa kuota minimal dubes karier atau maksimal dubes non-karier. Wujudnya juga dapat berupa kriteria ketat dalam seleksi calon dubes, yang evaluasi buruk terhadapnya dapat berakibat diskualifikasi.

Tidak lupa, para dubes non-karier juga harus mendapat pelatihan yang cukup untuk memiliki kompetensi minimal dalam menjalankan tugasnya. Selama ini, tidak diketahui jelas keberadaan pelatihan khusus yang dapat memastikan kompetensi tersebut. Kompetensi dubes tidak boleh digampangkan.

Dalam urusan pemerintahan, terutama yang menyangkut hak prerogatif presiden, logika kekuasaan tidak boleh diutamakan. Sebaliknya, logika kekuasaan harus tunduk pada preseden birokratis yang baik, yang mengutamakan terlayaninya kepentingan nasional secara optimal, termasuk dalam hubungan luar negeri Indonesia.

Ikhlas Tawazun merupakan lulusan dari Universitas Indonesia dan Muhammad Gilang Rasyid merupakan mahasiswa di Universitas Padjadjaran. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @tawazunikhlas dan @gilang_rasyid

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *