Mencegah The Long Deterioration, Memperbaiki Tatanan Liberal

0

Joe Biden dalam Munich Security Conference ke-49. Foto: Wikimedia Commons.

Pemilihan Presiden Amerika Serikat (AS), meski belum diputuskan secara resmi siapa pemenangnya, tampaknya telah memberikan hasil yang konklusif. Meski begitu, tampaknya Joe Biden sudah memiliki tanda kemenangan yang jelas dengan memenangkan 290 suara elektoral per 10 November 2020. Namun itu bukanlah masalah yang akan dibahas kali ini. Satu di antara banyak hal yang menjadi perhatian pasca pemerintahan Trump pastinya adalah perihal kebijakan luar negeri dan kedudukan AS di panggung internasional. Semasa Trump, kebijakan luar negeri AS mengalami disrupsi paling kentara setelah lebih dari 70 tahun konsisten membangun tatanan liberal dunia (liberal world order). Trump telah merusak hubungan dengan sekutu-sekutu lama, keluar dari berbagai perjanjian internasional, serta meremehkan nilai multilateralisme, aliansi, dan institusi internasional. Dengan mentalitas bisnisnya, Trump mengaplikasikan pola pikir transaksional pada kebijakan luar negeri AS. Dengan begitu, Trump telah berpisah dari tradisi kebijakan luar negeri AS yang berakar pada Wilsonianisme, yang diamini presiden-presiden AS terdahulu. Kenyataan ini merupakan suatu masalah yang serius, tidak hanya karena AS dirugikan, tetapi juga ini dapat menjadi awal dari the long deterioration tatanan liberal.

Amerika Serikat dan Tatanan Liberal

Tatanan dunia bangkit dan runtuh setiap satu atau beberapa abad sekali. Biasanya, setiap kejatuhan suatu tatanan, kemudian tatanan lain menggantikannya tanpa perbedaan yang signifikan. Tatanan yang mungkin berganti aktor, sedikit berganti ciri, tetapi pada dasarnya tetap mengandalkan power menjadi pengatur struktur tatanan dunia. Tatanan dunia ini mengambil bentuk yang beragam, dapat berupa tatanan hierarkis (hierarchal order) Cina, tatanan imperial (imperial order) Romawi  yang terkonsentrasi di darat, ataupun tatanan imperial Inggris Raya yang menguasai berbagai lautan di dunia. Ketiga jenis tatanan tersebut mengambil jenis tatanan yang hegemonik (hegemonic order), sebab berdasarkan pada hierarki dan power, serta negara hegemon yang mengandalkan dominasi power yang tak tertandingi sebagai pilar utama (Ikenberry, 2001). Bentuk lain yang pernah ada adalah balance of power yang eksis di Eropa yang berwujud Concert of Europe dari 1815 hingga Perang Dunia I. Tatanan balance of power tersebut masih mengandalkan power, hanya saja dalam bentuk kesetaraan power secara kasar, sehingga tidak ada negara yang memiliki dominasi power atas yang lainnya (Ikenberry, 2001).

Kejadian ini terus berulang hingga Perang Dunia II, ketika tatanan yang muncul memiliki corak yang sama sekali berbeda. AS sebagai pemenang PD II memiliki sangat banyak power dan sumber daya yang dapat dikerahkan untuk membentuk tatanan dunia yang hampir tidak tertandingi, kecuali mungkin oleh Uni Soviet. Orang pada umumnya mungkin menduga AS akan menjadi satu lagi kekuatan dunia yang menerapkan tatanan hegemonik terhadap negara-negara lainnya. Akan tetapi, AS justru melakukan tepat sebaliknya. AS justru membentuk berbagai institusi internasional yang lengkap mulai dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), Perjanjian Bretton-Woods, General Agreement on Tariffs and Trade (GATT, kelak menjadi WTO), hingga International Bank for Reconstruction and Development (IBRD, kelak menjadi World Bank) yang menjadi panduan kerjasama di dunia. Tidak hanya itu, AS juga menggalakkan Marshall Plan dan membentuk North Atlantic Treaty Organization (NATO) yang sulit dikatakan memiliki motif egois, sebab banyak sekali menguntungkan negara-negara terkait. Tindak-tanduk AS pasca PD II inilah yang kemudian mengindikasikan bahwa AS tidak sedang membangun sebuah tatanan hegemonik, melainkan sebuah tatanan liberal (liberal order) (Ikenberry, 2001).

Tatanan liberal sendiri dimengerti sebagai sebuah antitesis dari tatanan hegemonik. Jika tatanan hegemonik hanya bertumpu pada power, tatanan liberal lebih fokus kepada pembentukan hukum dan kerjasama internasional yang akan mengikat negara-negara di dunia bersama (rule of law). Tatanan liberal juga menggunakan berbagai institusi internasional yang berusaha mengikat negara-negara. Tatanan liberal ini kemudian menjadi menarik bagi banyak negara, sehingga semuanya kemudian bergabung di dalamnya (Ikenberry, 2001). Hal ini tidak berarti power tidak memiliki arti. Dominasi power AS tetap berarti besar, dan hal tersebutlah yang memungkinkan penyediaan keamanan, modal, dan public goods lainnya yang disediakan oleh hegemon. Satu hal yang membedakan adalah bagaimana proses pengambilan kebijakan ini terus mengalami formalisasi internasional dan disepakati secara multilateral.

Proyek AS membangun tatanan liberal ini tentu merupakan sebuah terobosan baru, meskipun bukan yang pertama, di dunia. Hal ini disebabkan AS memiliki pemahaman kebijakan luar negeri yang tidak hanya berasal dari tradisi realisme, tetapi juga tradisi liberalisme, dan kebetulan kepercayaan tradisi liberalisme tersebut disuarakan oleh Presiden FDR (Nye, 2019). Namun, usaha pendirian tatanan liberal pasca PD II tersebut bukanlah yang pertama. Penerapan pertama kalinya diusahakan oleh Presiden Woodrow Wilson, yakni presiden pertama yang mengaktualisasikan wacana liberalisme dalam kebijakan luar negeri AS. Hal ini terlihat bahkan sebelum AS terjun ke PD I. Ketika akhirnya AS terpaksa terjun ke PD I, Wilson menegaskan bahwa tujuan dari partisipasi AS dalam perang bukanlah untuk menang, tetapi untuk “membuat dunia aman bagi demokrasi.” (Pestritto, 2005) Begitu PD I usai pula, Wilson mewanti-wanti agar Jerman tidak dihukum terlampau berat dan menyerukan resolusi perdamaiannya yang sangat idealis dalam The Fourteen Points. Dia kemudian membentuk Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dengan tujuan utama membangun collective security bangsa-bangsa. Sayangnya, usaha Wilson tersebut kemudian kandas di tengah jalan akibat Senat Republikan dan gelombang isolasionisme yang tidak menyetujui bergabungnya AS ke LBB. Meski gagal, kebijakan luar negeri Wilson ini dianggap menjadi titik yang penting dalam sejarah AS, sebab mewariskan visi liberal internationalism (Nye, 2019).

Untungnya, usaha tersebut masih bisa dilakukan beberapa dekade kemudian oleh FDR. Dengan terinspirasi oleh Wilsoniansme, FDR melakukan langkah-langkah serupa untuk mendirikan tatanan liberal dunia, hanya saja dengan persiapan yang jauh lebih baik. Pun sepeninggal FDR, AS tidak kembali ke isolasionisme, sebab AS harus menanggapi ancaman Uni Soviet di seluruh dunia, yang salah satunya dapat dilakukan dengan memperkuat kerjasama dan institusi internasional. Hal tersebut terus-menerus dilakukan oleh presiden-presiden selanjutnya, baik dari partai Demokrat atau Republik. Hingga kesinambungan tersebut terdisrupsi oleh kenaikan Trump ke kursi kepresidenan AS (Nye, 2019).

The Long Deterioration

Sebuah tatanan biasanya tidak hancur dalam suatu kejadian yang eksplosif, melainkan terkikis dalam proses degradasi yang gradual. Terlebih lagi, proses gradual ini sering tidak disadari, sehingga tidak diambil tindakan-tindakan yang perlu untuk mencegahnya. Concert of Europe adalah salah satu contohnya. Concert of Europe, yang dibuat di Kongres Wina 1815, merupakan kesepahaman bahwa kestabilan Eropa dibangun di atas balance of power antara negara-negara, sehingga tidak ada negara yang dapat mengakumulasi power karena akan memancing reaksi dari negara-negara lainnya. Tatanan ini bertahan bukan karena kesepakatan yang dijalankan secara konsekuen oleh semua negara, tetapi karena semua negara memiliki alasannya masing-masing untuk mendukung tatanan tersebut (Haass, 2019).

Concert of Europe memang baru berakhir secara formal dengan pecahnya PD I, tetapi tanda-tanda kehancurannya telah terlihat jauh sebelum itu. Gelombang revolusi yang menyapu Eropa selama dekade 1840-an dan tumubuhnya nasionalisme menunjukkan keterbatasan tatanan ini. Akibatnya, beberapa negara seperti Prussia dan Rusia kemudian melihat bahwa tatanan ini tidak lagi sesuai dengan kepentingannya. Setelah tiga perang dimenangkan, Prussia kemudian melakukan unifikasi Jerman, yang meningkatkan kekuatan Jerman secara drastis di atas negara lainnya. Sementara itu, Rusia melancarkan perang terhadap Ottoman yang melemah, yang kemudian memancing keterlibatan Britania Raya dan Prancis dalam Perang Krimea untuk mencegah kebangkitan Rusia, sehingga Rusia mengalami kekalahan bahkan pelemahan setelah itu. Meski beberapa dekade selanjutnya tidak lagi diwarnai oleh perang, tetapi secara praktis distribusi power sudah tidak lagi sama dan tidak semua aktor mendukung tatanan yang ada pada saat itu. Inilah yang kemudian diistilahkan oleh Haass (2019) sebagai The Long Deterioration.

Berangkat dari kenyataan The Long Deterioration terhadap tatanan Concert of Europe, dapat diperhatikan beberapa faktor yang menghancurkan suatu tatanan, yakni underlying factors dan statecraft. Underlying factors ini mencakup banyak hal, mulai dari distribusi power, kekuatan militer, kepentingan nasional, perkembangan ekonomi, hingga situasi politik domestik. Perubahan dari underlying factors ini memengaruhi persepsi negara terhadap tatanan yang berlaku, apakah menguntungkan dia atau tidak. Selain itu, perubahan underlying factors juga mengubah pertimbangan biaya dan keuntungan (cost and benefit) yang didapat dari merubah tatanan. Misal, unifikasi Jerman membuatnya mempersepsikan tatanan yang berlaku tidak sesuai dengan kepentingannya dan mengurangi biaya untuk merubahnya. Sementara itu, statecraft yang dilakukan aktor individu dalam pemerintahan juga berpengaruh, terutama dalam manajemen mikro agar konfik atau kejadian yang kecil tidak berkembang menjadi sesuatu yang akan memengaruhi tatanan. Misal, manajemen aktor lapangan dari Britania Raya dan Prancis terhadap Perang Krimea yang melemahkan Rusia dan Ottoman (Haass, 2019).

Hari ini, terdapat tanda-tanda bahwa The Long Deterioration dari tatanan liberal telah dimulai. Momen unipolar AS jelas sudah lewat. Kini, di momen uni-multipolar dunia, banyak muncul polaritas-polaritas baru, terutama di tingkat regional, yang banyak diantaranya tidak tunduk pada AS (Huntington, 1999). Selain itu, kebangkitan Tiongkok juga menunjukkan bahaya terbesar terhadap tatanan sebagai kekuatan revisionis. Rusia telah melakukan sederet agresi selama beberapa tahun dan kembali menunjukkan ambisinya. Belum lagi ancaman nuklir dari Korea Utara dan Iran. Sementara itu, pemimpin otoriter dan strongmen naik ke tampuk kepemimpinan di Turki, Filipina, dan berbagai penjuru dunia lainnya (Haass, 2019). Underlying factors yang sudah tidak menguntungkan AS ini diperparah dengan statecraft yang buruk dari pemerintahan Trump dalam konteks menjaga tatanan liberal. Trump secara sengaja telah mencederai prinsip-prinsip yang mendasari tatanan liberal. Keluarnya Trump dari perjanjian nuklir Iran, Paris Agreement, Trans Pacific Partnership, dan perjanjian lainnya membuat multilateralisme semakin tidak diminati. Trump yang tidak memandang penting PBB, dan memperhitungkan komitmennya terhadap NATO, juga membuat kepercayaan terhadap aliansi dan institusi internasional melemah. AS tidak lagi tampak sebagai pelindung HAM, promotor demokrasi, dan pemimpin tatanan liberal dunia (Nye, 2017). Meski perubahan yang terjadi belum menentukan, dan kerusakan yang dibuat Trump tidak permanen, tetapi ini merupakan tanda-tanda jelas dari kehancuran gradual tatanan liberal.

Biden dan Revitalisasi Tatanan Liberal

Joseph Robinette Biden Jr., yang akrab disapa Joe Biden, yang telah terpilih sebagai president-elect dari Partai Demokrat, kini mewarisi kekacauan kebijakan luar negeri AS dan tatanan liberal yang melemah. Banyak hal yang harus diperbaiki oleh Biden. Namun, lebih dari itu dia tidak dapat bersikap pasif pada kebijakan luar negeri dan bertingkah hanya sebagai ‘lesser Trump’. Dibutuhkan seorang sosok yang berani menjadi ‘anti Trump’, yang menjadi antitesis dari Trump. Presiden AS selanjutnya harus kembali membangun kepercayaan pada multilateralisme, kepatuhan pada hukum dan institusi internasional, serta memperkuat komitmen terhadap demokrasi dan HAM (Rose, 2019). Hanya dengan menjadi anti Trump, Biden dapat kembali merevitalisasi tatanan liberal dunia.

Biden menyatakan dengan nada kuat, “United States is Prepared to lead again—not with just the example of our power, but the power of our example.”

Sebagai Demokrat generik, Joe Biden memvisikan tepat hal-hal tersebut. Dalam tulisannya yang dimuat di majalah Foreign Affairs, dia memaparkan rencana kebijakan luar negerinya yang akan mengembalikan posisi AS sebagai pemimpin tatanan dunia liberal. Mewarisi pemikiran Wilson, Biden percaya bahwa demokrasi bukan hanya fondasi masyarakat AS, tetapi juga merupakan sumber kekuatannya. Setelah memperbaiki demokrasi dan nilai-nilai AS, baru AS dapat melindungi demokrasi dan HAM di seluruh dunia. Biden menyatakan dengan nada kuat, “United States is Prepared to lead again—not with just the example of our power, but the power of our example.” AS dibawah Biden akan memberikan bantuan ke negara-negara di Amerika Latin yang menjadi sumber imigran ke AS, tidak justru memisahkan ibu dengan anaknya. Biden juga akan kembali memasuki perjanjian nuklir Iran dan Paris Agreement yang Trump tolak. AS juga akan melakukan pendekatan yang baru terhadap negara-negara seperti Korea Utara, selagi memperkuat aliansinya dengan sekutu-sekutu tradisionalnya dan membuat kerjasama baru (Biden, 2020). Biden berencana mengembalikan kebijakan-kebijakan yang telah menjadi signature AS sebagai pemimpin dunia.

Namun, tentu kembali ke kenormalan yang dulu berlaku tidak akan cukup untuk mencegah The Long Deterioration dari tatanan liberal. Biden harus menjadi anti Trump, bukan hanya lesser Trump. Untungnya, Biden juga memiliki inisiatif dan rencana untuk berinovasi dan berusaha lebih. Salah satu inovasi yang patut diapresiasi adalah usulan Global Summit for Democracy yang ditujukan untuk membangun solidaritas diantara negara-negara demokrasi di dunia. Hal ini merupakan suatu terobosan, mengingat AS yang seringkali memilih jalur promosi demokrasi yang keras dan menggunakan militer. Sebuah KTT bagi negara-negara demokrasi juga bagus, sebab akan menjadi forum multilateral yang memperkuat semangat yang menjadi ruh dari tatanan liberal. AS juga akan menghadapi tantangan yang diperlihatkan Cina dengan kembali memimpin di bidang teknologi dan membangun aliansi yang luas, tidak hanya berpaku pada kekuatan AS semata. Terakhir, Biden juga memperkuat komitmennya pada HAM, demokrasi, dan akan mengkonfrontasi (meski belum jelas dalam bentuk apa) rezim-rezim otoriter di dunia (Biden, 2020). Visi kebijakan luar negeri AS inilah yang kemudian menjadi wujud anti-Trump, yang menjanjikan keberlangsungan tatanan liberal.

Pada akhirnya, tentu visi Joe Biden ini belum tentu termanifestasikan menjadi kebijakan, sementara posisi AS juga tidak akan dengan mudah terdepak sebagai pemimpin dunia. Namun, degradasi dari suatu tatanan global memang seringkali tidak terasa, sehingga menjadi The Long Deterioration. Apabila kerusakan yang disebabkan Trump tidak diatasi, maka peluang untuk kerusakan lebih lanjut dari tatanan liberal terbuka lebar. Terlebih lagi, hal tersebut terjadi dihadapan tantangan dari Tiongkok, Rusia, dan negara lainnya. Rencana mitigasi bencana yang akan menimpa tatanan liberal dari Biden ini juga jelas jauh dari sempurna, tetapi setidaknya kita bisa mengharapkan usaha penanganan terhadap pelemahan tatanan liberal, sehingga tatanan liberal AS yang berbasis pada multilatralisme dan hukum masih akan bertahan untuk dekade-dekade mendatang.

Referensi

Biden, Joseph R. Jr. (2020) “Why America Must Lead Again” Foreign Affairs. Maret/April.  https://www.foreignaffairs.com/articles/united-states/2020-01-23/why-america-must-lead-again

Haass, Richard. (2019). “How a World Order Ends” Foreign Affairs. Januari/Februari. 22-30.

Huntington, Samuel P. (1999) “The Lonely Superpower” Foreign Affairs. https://www.foreignaffairs.com/articles/united-states/1999-03-01/lonely-superpower

Ikenberry, G. John. (2001). After Victory: Institution, Strategic Restraint, and The Rebuilding of Order After Major Wars. Princeton University Press.

Nye, Joseph S. (2017). “The Plot Against American Foreign Policy” Foreign Affairs. Mei/Juni. 2-9.

Nye, Joseph S. (2019). “The Rise and Fall of American Hegemony from Wilson to Trump.” International Affairs. 95(1). 63–80. https://doi.org/10.1093/ia/iiy212.

Pestritto, Ronald J. (2005). Woodrow Wilson and the Roots of Modern Liberalism. Rowman & Littlefield.

Rose, Gideon. (2019). “The Fourth Founding” Foreign Affairs. Januari/Februari. 10-21.

Ikhlas Tawazun merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Indonesia, yang sekligus berperan sebagai Editor Pengelola di Kontekstual. Dapat ditemui di sosial media dengan nama pengguna

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *