Mengakui Keburuhan Dosen, Mengakui Kepelangganan Mahasiswa?

0

Ilustrasi dosen mengajar di kampus. Foto: Times Higher Education

Akhir-akhir ini, sejumlah akademisi Indonesia yang menggeluti media sosial tengah melayarkan satu diskursus menjelang perayaan Hari Buruh Internasional (1 Mei). Salah satu kelompok yang terlibat, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), berpendapat bahwa bukan hanya pekerja sektor formal yang perlu merapatkan barisan mereka menjelang peringatan tersebut, melainkan pula dosen. 

Tersurat dalam empat poin sikap yang dideklarasikannya, KIKA menekankan status “buruh” dosen dan secara bersamaan mendorong agar tercipta serikat bagi mereka. Berbekal wawancara mereka ke dua akademisi terafiliasi KIKA, Lubis & Dzulfikar (2023) mengutarakan bahwa hambatan utama pewujudan serikat profesi tersebut ialah perdebatan keburuhan dosen di kalangan mereka sendiri. 

Adalah benar mahasiswa menimba ilmu kepada dosen. Namun, kebanyakan mahasiswa Indonesia, terlebih yang berjenjang sarjana, agaknya belum menengok urgensi terlibat dalam diskursus tersebut. Lantas, bagaimana seharusnya diskursus tersebut dimaknai? Lebih lanjut, bagaimana mahasiswa perlu memosisikan diri mereka ke dalamnya?

Sekilas tentang Buruh dan Relasi Kerja Mereka 

Pemahaman masyarakat awam acap kali terbatas dalam menunjuk siapa pekerja yang tergolong buruh dan bukan teridentifikasikan demikian. Alhasil, gambaran umum tentang profesi “buruh” sebatas merujuk ke pekerja-pekerja industrial dan kasar; baik yang termasuk pegawai pabrik ataupun buruh tani misalkan. 

Sering luput dalam wacana perburuhan di Indonesia adalah betapa luasnya perujukan dari konsep tersebut. Keluasan kuasa perujukan tersebut diperkuat oleh ketetapan undang-undang negara ini yang berlaku, misalkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Peraturan yang diresmikan kala era Presiden Megawati tersebut mendefinisikan buruh (pekerja) sebagai: “… setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.” Verba bekerja, yang berarti memiliki pekerjaan, dalam konteks tersebut juga dimaksudkan tentang adanya sosok pemberi kerja ke dalam sorotan.

Pemberi kerja, dalam UU tersebut, dinyatakan sebagai pihak (badan hukum serta badan-badan lainnya pula) yang “…mempekerjakan tenaga kerja…” sesuai dengan definisi buruh sebelumnya. Relasi kerja yang mengikat di antara kedua pihak tersebut telah ditetapkan pula dalam UU terbahas.

Akan tetapi, dalam pasal yang sama, UU Ketenagakerjaan gagal dalam mengikutsertakan pemberi kerja berbentuk nonperusahaan dalam definisinya tentang hubungan kerja. Fakta tersebut merupakan keprihatinan tersendiri mengingat per 30 Juni 2022, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mencatat hampir empat juta orang Indonesia bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan menerima upah dari republik ini.

Status (Realita) Buruh Dosen 

Dalam katalog legislasi republik ini, dosen menyandang status utama seperti ditentukan oleh UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Peraturan tersebut menempatkan dosen sebagai “pendidik profesional” dan “ilmuwan” yang bergerak di bidang ilmu pengetahuan. Mereka mengejawantahkan penugasannya tersebut melalui pendidikan, penelitian, serta pengabdian masyarakat-Tri Dharma dalam leksikon umum kampus.

Dengan menunaikan Tri Dharma, dosen mendapatkan upah-gaji ataupun tunjangan-dari pemberi kerjanya. UU Guru & Dosen memang menjamin hak para dosen atas suatu penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan sosial. Akan tetapi, dosen tidak sekadar tunggal jenisnya, pemberi kerja mereka pun bukan hanya negara.

Kekayaan akademik dan pola pikir merupakan konsekuensi mulia yang dikontribusikan keberagaman tersebut. Tak jarang, akan tetapi, keberagaman tersebut menghadapkan dosen kepada bermacamnya-terkadang, kurangnya-kompensasi juga tantangan bagi upaya advokasi kesejahteraan mereka (Dzulfikar, 2022).

Hasil survei Tim Riset Kesejahteraan Dosen (dalam Ferdiana dkk, 2023) kepada hampir 1200 dosen aktif menunjukkan ketidaklayakan penghidupan dosen pada aspek pendapatan tetap. Misalnya, sang pelaksana survei menemukan pendapatan sampingan lebih dari setengah partisipan yang bahkan tidak menyentuh separuh dari rerata upah minimum provinsi di Indonesia. 

Fakta bahwa dosen perlu mencari penghasilan tambahan di luar pendapatan tetap mereka seharusnya menjadi keprihatinan umum, terutama mahasiswa. Mengingat pekerjaan-pekerjaan sampingan tersebut-konsultan hingga jurnalistik-terletak di luar bingkai Tri Dharma resmi mereka, para dosen sering keteteran dalam membagi waktu mereka.

Ketidaksanggupan dosen mengisi kelas dan menawarkan pembelajaran yang berkualitas lantas menjadi tidak begitu mengherankan (Kwiek, 2016). Dalam memilih antara mengabdi atau mencari pundi-pundi uang yang lebih menghidupi, kemasukakalan akan mengantarkan manusia untuk memilih cara persambungan nyawa yang lebih mengakomodasi.     

Diakuinya status buruh dosen, utamanya oleh kelompok-kelompok seperti KIKA, digadang akan lebih mempersatukan lagi memperkuat perjuangan akan kesejahteraan mereka. Berkaca ke prahara lapangan, dosen yang sejahtera akan lebih ringan dalam berdedikasi mengajar. Akan tetapi, implikasi potensial apa yang dapat melingkupi relasi dosen-kampus-mahasiswa bilamana status buruh tersebut diakui luas?

Dosen-Kampus-Mahasiswa, Buruh-Pabrik-Pelanggan? 

Pengajaran serta pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh dosen, dalam artian tertentu, seiras bak jasa yang mampu ditawarkan pekerja sektor industri. Pada konteks industrial, intensi komersil jelas kentara. Perusahaan jasa konsultan, misalkan, akan memperkerjakan karyawan-karyawannya untuk melayani klien dan kebutuhan mereka. Sang klien perlu membayar jasa yang diberikan perusahaan dan pekerja tersebut kepadanya pada suatu kontrak yang jelas.

Beban, hak, hingga relasi ketenagakerjaan dalam contoh tersebut agaknya mampu bersanding dengan kasus profesi dosen yang telah dipaparkan sebelumnya. Di satu sisi, kampus menyediakan “jasa” pendidikan tinggi kepada para mahasiswa mereka, mempekerjakan tenaga-tenaga pendidiknya untuk melakukan hal tersebut, dan mahasiswa dapat berekspektasi bahwa kebutuhan pendidikan mereka dapat terpenuhi dengan cara demikian. Paradigma korporatis perguruan tinggi sedemikian rupa masih terombang-ambing dalam kontroversi antara penerimaan atau ketabuan.

Meresmikan kampus sebagai korporasi penjual kebutuhan akademik tak ubahnya mendasarkan banyak kewajibannya kepada kepuasan mahasiswa. Padahal, seperti yang Guru Besar Fakultas Hukum UI Sulistyowanti Irianto, mengatakan bahwa “universitas adalah gerakan moral”. Dalam gerakan tersebut, lanjutnya, dihadirkanlah dosen yang patut mengembangkan kebudayaan pendidikan dengan esensi membangun sistem berpikir dan sistem berpengetahuan bagi civitasnya. Menyerahkan arah pembangunan pranata pemikiran tersebut kepada “kepelangganan” mahasiswa tidak akan bermanfaat, terlebih menghadirkan modal yang mumpuni bagi generasi penerus.

Bukan berarti mahasiswa tidak berhak bersuara dan berpendapat akan kebutuhan akademik yang dimilikinya. Kita tentu tidak melupakan kasus demi kasus mandek-nya komunikasi antara dosen dan mahasiswa ketika pandemi memaksakan mode daring menyelimuti skema pendidikan tinggi. Dalam kasus demikian yang diliput Kompas (2021), tergambarkan kesulitan mahasiswa untuk menagih kewajiban pembimbingan dosen-dosen mereka. Dalam dunia yang ideal, pelaksanaan kewajiban membimbing oleh dosen diharapkan mampu lebih terkejawantahkan ketika hak-hak mereka diakui, apalagi terpenuhi.

Advokasi kesejahteraan profesi dosen lantas telah menemui persimpangannya dengan penggaungan hak mahasiswa akan pendidikan yang berkualitas.

Posisi Etis Mahasiswa: Renungan Singkat 

Diseret terus-menerus menuju gelombang neoliberalisasi bertemakan pasar dan labirin pemeringkatan global, tidak seyogianya membuat kampus melupakan visi mulianya sebagai gerakan moral pembangun generasi-generasi praktisi pemikir yang bermoral dan membumi. Pengabdian dosen sebagai punggawa kampus tersebut, ihwalnya tidak boleh lagi sesuai rima lama “pahlawan tanpa tanda jasa”. Kesejahteraan mereka sebagai pekerja patut diperhatikan, salah satunya dengan mengakui status buruh yang sejatinya melekat ke profesi itu. Dosen adalah Buruh.

Perlu diakui bahwa tidak semua buruh bekerja atas tujuan komersil. Meskipun biaya pendidikan berangsur-angsur dianggap sebagai “pembayaran” atas produk jasa yang dijajakan dosen, komersialisasi pendidikan tidak sepantasnya dibiarkan menjamur. Maka dari itu, konsep kepelangganan mahasiswa-jika memang ada-tidak hidup sespektrum dengan keburuhan dosen. Namun, selayaknya ilmu pengetahuan yang terus berkembang, harus lah diskursus tentang relasi dosen-kampus-mahasiswa berlanjut digaungkan, demi perlindungan hak dan pelaksanaan kewajiban yang lebih mantap bagi dosen maupun mahasiswa.

Philipus Mikhael Priyo Nugroho merupakan Mahasiswa Hubungan Internasional di Universitas Airlangga. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @miko.khael

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *