Mencari Relevansi Indonesia di Panggung Internasional melalui Pidato Jokowi di PBB

0

Rekaman pidato JokowidiPBB. Foto: Kementerian Sekretariat Negara RI

Pada Sidang Umum PBB kemarin (23/9), Presiden Jokowi berkesempatan memberikan pidatonya ke seluruh anggota PBB. Kesempatan tersebut menjadi menarik, sebab merupakan kali pertama Presiden Jokowi berbicara di PBB, meski dilakukan secara virtual. Perlu diketahui, bahwa semua presiden Indonesia kecuali Habibie, berkesempatan untuk berbicara di PBB. Bahkan, Presiden SBY tercatat berbicara di PBB sebanyak empat kali, yakni pada tahun 2005, 2007, 2012, dan 2014, sehingga banyak mendapat perhatian dunia internasional.

Namun, kuantitas bukanlah fokus dari artikel ini. Substansi yang disuarakan dalam pidato Presiden Jokowi tampaknya lebih menarik untuk diulas. Momentum krisis yang langka ini menjadi kesempatan bagi Presiden Jokowi untuk menyampaikan posisi Indonesia. Sidang Umum PBB ke-75 ini memiliki bahasan utama penanganan COVID-19, peacebuilding, dan multilateralisme. Presiden Jokowi cukup mengikuti tema utama tersebut, tetapi dengan pembawaan dan sentuhan unik yang akan dibahas berikut ini.

COVID-19 dan Multilateralisme

Salah satu poin pertama yang diangkat oleh Jokowi dalam pidatonya adalah COVID-19. Jokowi menyerukan persatuan dan kerjasama global dalam menghadapi pandemi COVID-19. Tetapi Jokowi menambahkan satu poin menarik, yakni rivalitas gobal yang dianggapnya tidak menguntungkan semua pihak, yang secara implisit mengarah ke rivalitas AS-Tiongkok. Jokowi mengutarakan pandangannya bahwa seharusnya, kita semua selalu mengutamakan win-win solution. Hal tersebut kemudian kembali ditekankan Jokowi dengan menyatakan bahwa “no one is safe until everyone is”.

Selanjutnya, sama dengan narasi yang berkembang di domestik Indonesia, Jokowi menegaskan bahwa kesehatan merupakan faktor utama yang harus diperhatikan dalam menangani pandemi. Akses terhadap vaksin yang setara dan dengan harga yang terjangkau menjadi poin penting dalam menjamin kesehatan masyarakat. Meski begitu, faktor sosial dan ekonomi juga tidak kalah penting. Jokowi juga bicara soal reaktivasi ekonomi secara bertahap, yang tentunya harus dilakukan agar ekonomi global dapat kembali bangkit.

Dalam semangat kerjasama global yang digaungkan, Jokowi juga menekankan bahwa multilateralisme adalah, bukan hanya salah satu jalan, tetapi satu-satunya jalan. Penekanan terhadap multilateralisme ini menjadi semacam bridging untuk mengafirmasi kembali komitmen Indonesia terhadap PBB. Jokowi memberikan beberapa kalimat yang bernada kuat dalam topik ini.

Pertama-tama, Jokowi mengatakan bahwa “PBB harus membuktikan bahwa multilateralism delivers”, serta menambahkannya dengan majas hiperbola, bahwa PBB “bukan hanya gedung di New York, tapi sebuah cita-cita dan komitmen bersama seluruh bangsa untuk mencapai perdamaian dunia dan kesejahteraan bagi generasi penerus.” Sentuhan yang ciamik. Penegasan komitmen Indonesia kemudian diberikan dengan pernyataan “Indonesia memiliki keyakinan yang tidak tergoyahkan pada PBB dan multilateralisme.”

Namun, pernyataan tentu tidak hanya dinilai dari cara penyampaiannya, tetapi juga kesesuaiannya dengan realita. Pernyataan-pernyataan Jokowi tersebut tampak keren di panggung internasional, tetapi sedikit banyak kurang merepresentasikan kenyataan di Indonesia sendiri. Agak kurang elok apabila Presiden Indonesia bicara soal safety dari COVID-19 ketika pertambahan kasus baru di Indonesia memecahkan rekor baru dengan 4.465 kasus baru di hari yang sama. Selain itu, meski terus menyatakan komitmennya pada multilateralisme, Pemerintahan Jokowi justru menunjukkan kurangnya minat pada multilateralisme. Hal tersebut dikarenakan multilateralisme dianggap boros dan tidak efektif untuk mencapai hasil, sementara bilateralisme lebih konkrit. Akhirnya, yang seringkali terjadi sekarang adalah cherry-picking multilateralism.  

Pernyataan-pernyataan Jokowi tersebut tampak keren di panggung internasional, tetapi sedikit banyak kurang merepresentasikan kenyataan di Indonesia sendiri. Agak kurang elok apabila Presiden Indonesia bicara soal safety dari COVID-19 ketika pertambahan kasus baru di Indonesia memecahkan rekor baru dengan 4.465 kasus baru di hari yang sama.

Peacebuilding dan Refleksi Sejarah Indonesia

Dalam pidato yang disampaikan dalam bahasa Indonesia tersebut, Jokowi banyak menyinggung tentang stabilitas dan perdamaian, yang menjadi salah dua kata yang paling banyak diucapkan dalam pidatonya. Sebagai bridging untuk beralih ke tema tersebut, Jokowi mengingatkan bahwa Indonesia juga merayakan hari kemerdekaannya yang ke-75 tahun ini, sambil terus konsisten berkontribusi bagi perdamaian dunia sejak dulu hingga kini menjadi presiden Dewan Keamanan PBB.

Kemudian, yang cukup mejadi kejutan adalah refleksi sejarah yang diberikan oleh Jokowi. Jokowi menceritakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955. KAA tersebut kemudian menghasilkan Dasasila Bandung, dan dengan pesan Sukarno, bahwa “No one, no country, should be left behind.” Dengan agak tiba-tiba, Jokowi kemudian beralih ke tema Palestina, sebagai satu-satunya negara peserta KAA 1955 yang belum mendapatkan kemerdekaannya hingga kini. Stabilitas dan perdamaian kawasan ASEAN dan Asia-Pasifik kemudian menjadi poin terakhir yang ingin diusahakan Indonesia terkait peacebuilding.

Dalam hal ini, pernyataan Jokowi terbilang sesuai dengan performa diplomasi Pemerintah Indonesia. Membawa semangat KAA adalah pilihan yang cerdik, mengenang mimpi negara-negara dunia ketiga tentang kemerdekaan dan perdamaian. Pun Palestina sendiri juga menjadi agenda yang konsisten dibawakan oleh Indonesia sebagai agenda diplomasi di berbagai kancah internasional, tak terkecuali DK PBB. Dukungan terhadap Palestina ini tentu juga sedikit banyak menjadi angin segar bagi kemerdekaan Palestina, setelah kecewa dengan normalisasi hubungan Uni Emirat Arab-Israel. Stabilitas ASEAN dan Asia-Pasifik juga menjadi agenda terdepan Indonesia, mengingat korelasinya yang tinggi terhadap ekonomi Indonesia sendiri.

Unjuk Relevansi dan Hilangnya “Bebas Aktif”

Menurut penulis, secara keseluruhan pidato Jokowi patut dipuji. Di satu sisi, pidato Jokowi ini memang disampaikan dalam Bahasa Indonesia, bersifat rekaman, dan kurang mencerminkan kondisi terkini di Indonesia. Tetapi di sisi lain, pidato Jokowi mampu mengangkat relevansi posisi Indonesia terkait dengan kondisi politik internasional terkini. Presiden Jokowi kembali menegaskan posisi Indonesia sebagai pihak yang tidak berpihak dalam rivalitas global yang terjadi, dulu maupun kini. Pidato Jokowi menjadi negasi dari pidato Trump yang secara agresif menyerang Tiongkok dan pidato Xi Jinping yang terlalu membanggakan pencapaian Tiongkok. Dengan semangat yang rekonsiliatif, Indonesia menyerukan pengesampingan rivalitas global untuk dapat fokus menghadapi COVID-19, menghadirkan stabilitas dan perdamaian, serta kembali menaruh kepercayaan pada PBB.

Satu detail lagi yang menarik perhatian penulis, adalah absennya kata-kata “Bebas Aktif” yang menjadi ciri politik luar negeri Indoneia. Hal ini terutama menjadi kontras dengan Presiden SBY yang selalu menyebutnya dalam pidatonya di PBB. Meski begitu, nilai politik luar negeri yang biasa diistilahkan sebagai “mendayung diantara dua karang” ini tetap terefleksikan dalam pidato Jokowi. Terlebih lagi konteks yang muncul sekarang adalah rivalitas global antara dua negara, sama seperti di masa Perang Dingin dulu. Akhirnya, pidato yang diberikan oleh Jokowi tidak boleh menjadi sekadar kata-kata semata. Pemerintahan Jokowi kemudian harus menunjukkan bahwa Indonesia mampu memenuhi komitmennya terhadap dunia dan merealisasikan relevansinya secara nyata.

Ikhlas Tawazun merupakan mahasiswa sarjana Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia. Dapat ditemui di sosial media dengan nama pengguna @tawazunikhlas.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *