Mengenal Gender Pay Gap dan Faktor-Faktornya

0

Ilustrasi gender pay gap. Foto: Shutterstock

Kesenjangan penghasilan antargender merupakan salah satu topik penting dalam masalah ketenagakerjaan. Perdebatan ini telah lama dibicarakan, bahkan sudah berlangsung sejak abad ke-19. Anker (1998) menjelaskan bahwa kesenjangan penghasilan antargender merupakan sebuah isu yang terjadi di seluruh dunia.

Pada tahun 2009, tiga orang ekonom asal Amerika Serikat melakukan studi terhadap kurang lebih 10.000 orang lulusan Master of Business Administration (MBAs) di University of Chicago’s Booth School of Business antara tahun 1990 dan 2006 (Bertrand, 2010). Ketiga ekonom tersebut ingin mengetahui pengaruh gender terhadap lalu lintas karier dari para lulusan sekolah bisnis tersebut. Mereka melakukan survei dengan menanyakan tentang pekerjaan yang mereka ambil setelah lulus, waktu jam bekerja, dan kisaran pendapatan setiap tahunnya. 

Hasil pertama menunjukkan bahwa lulusan perempuan memiliki perbedaaan upah yang kecil dibandingkan dengan laki-laki pada satu tahun pertama sejak kelulusan dari sekolah bisnis. Wanita memiliki rata-rata pendapatan 115.000 dolar AS per tahun, sedangkan pria memperoleh 130.000 dolar AS per tahun. Namun, setelah sembilan tahun sejak lulus, perbedaan rata-rata upah perempuan dan laki-laki meningkat signifikan hingga lebih dari dua kali lipat. Perempuan memperoleh rata-rata pendapatan 250.000 dolar AS per tahun, sedangkan laki-laki memperoleh 400.000 dolar AS per tahun atau 60% lebih besar daripada perempuan. Hal ini tentu menunjukkan adanya kesenjangan upah antargender seiring bertambahnya usia mereka.

Tidak terkecuali di Indonesia, menurut temuan dari Korn Ferry Gender Pay Index, kesenjangan upah gender di Indonesia secara keseluruhan adalah sebesar 5,3% yang mana perempuan dibayar 1,7% lebih rendah dengan posisi pekerjaan yang sama. Menurut Badan Pusat Statistik, perbedaan upah gender di Indonesia mencapai Rp690.000,00 per bulannya (tahun 2017). Sama halnya dengan laporan Australia-Indonesia Partnership for Economic Governance pada 2017 yang mengatakan bahwa perempuan dibayar 70-80% dari yang didapatkan laki-laki per jam (Karnadi, 2019).

Secara terminologis, gender pay gap atau kesenjangan upah gender dapat didefinisikan sebagai kesenjangan antara upah yang dibayarkan kepada laki-laki dan perempuan. Pada umumnya, istilah ini mengacu kepada median upah tahunan seluruh wanita yang bekerja penuh waktu sepanjang tahun, dibandingkan dengan upah laki-laki dengan metode yang sama. Beberapa faktor dari kenyataan kesenjangan tersebut adalah segregasi pekerjaan, bias terhadap pekerja perempuan, dan diskriminasi upah. 

Banyak orang berpendapat bahwa masalah rendahnya penghasilan perempuan daripada laki-laki di Indonesia tidak terlepas dari budaya patriarki yang seringkali tidak menguntungkan bagi perempuan. Peran laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan sebagai ibu rumah tangga membuat partisipasi perempuan di pasar kerja tidaklah sebesar partisipasi laki-laki dan kalaupun bekerja, perempuan sering dibayar lebih murah dibandingkan laki-laki meskipun memiliki karakteristik sosial-ekonomi (endowment) yang sama. 

Beberapa yang lain berasumsi bahwa pekerja perempuan dapat dialokasikan ke lapangan pekerjaan yang lebih cocok dengan sisi feminim-nya, tetapi lapangan pekerjaan tersebut menghasilkan upah yang lebih rendah. Menanggapi hal itu, beragam kampanye telah dilaksanakan untuk meningkatkan perhatian masyarakat terhadap kesetaraan upah antara pekerja laki-laki dan perempuan, Equal Pay Day menjadi salah satunya. Di AS, Equal Pay Day yang sudah dicanangkan sejak tahun 1996 ini dirayakan setiap bulan April dengan melambangkan waktu rata-rata bekerja yang diperlukan bagi perempuan untuk mengimbangi rata-rata pendapatan pria pada satu tahun sebelumnya.

Sekelompok masyarakat beranggapan bahwa gender pay gap merupakan masalah yang secepat mungkin harus dihilangkan karena merupakan wujud nyata dari diskriminasi terhadap perempuan. Kelompok lain beranggapan bahwa gender pay gap disebabkan faktor-faktor selain diskriminasi. Kesimpulan bahwa  gender pay gap menunjukkan diskriminasi gender tidak dapat langsung diambil jika faktor-faktor lain seperti faktor biologis masih ada dan tidak dianggap tetap (kondisi ceteris paribus). Namun, apakah perbedaan faktor biologis atau faktor ilmiah lainnya dapat menjustifikasi ketidakadilan dalam hal pengupahan tenaga kerja?

Bicara mengenai penyebab, saya memecah penyebab dari diskriminasi gender yang berakibat pada gender pay gap menjadi tiga bagian. Bagian yang pertama adalah pembagian dua jenis hak, yaitu positive freedom dan negative rightsPositive freedom adalah segala hak yang telah disematkan kepada setiap manusia. Sedangkan, negative rights adalah hak prerogatif di mana hak manusia tersebut tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun. Saya meyakini bahwa kesenjangan pekerjaan antara laki-laki dan perempuan mengacu pada permasalahan dalam negative rights.

Setiap manusia baik dalam gender apapun memiliki hak untuk memilih pekerjaannya, dan tidak boleh ada pemaksaan dalam bentuk apapun. Hal tersebut beresonansi dengan eksistensi dari human action, apapun yang terjadi merupakan keputusan tiap individu termasuk dalam hal memilih pekerjaan. Dalam pandangan saya, isu gender pay gap secara spesifik bukan merupakan isu ekonomi, melainkan sebuah isu sosial.

Selanjutnya, menanggapi regulasi pemerintah mengenai kewajiban peran perempuan dalam pemerintahan terkait dengan positive freedom dan negative rights, pemberian pekerjaan seharusnya didasari kompetensi dan bukan pemaksaan kuota gender.

Regulasi ini merupakan tindakan pemerintah yang menggerus hak pilih individu dalam memilih pekerjaan. Hal yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah mendukung para perempuan yang memiliki kompetensi dan memberi akses pada siapapun (tidak semata terbatas karena gender) yang setara dalam dunia politik untuk tidak takut mencoba masuk ke dunia politik dan pemerintahan. Yang dilihat di sini seharusnya value as an individual, bukan value sebagai gender, ras, agama, dan lainnya. 

Banyak variabel serta faktor pendukung lainnya yang menyebabkan perbedaan upah antara laki-laki dan perempuan, bukan semata-mata perihal perbedaan gender sehingga tidak sah untuk membuat sebuah blanket statement untuk semua kondisi. 

Mari kita lihat ke ranah lapangan kerja yang juga bersifat supply and demand. Saya ambil contoh pekerjaan sebagai model. Kalau memang perbedaan upah murni karena gender pay  gap, kenapa penghasilan model perempuan rata-rata lebih tinggi dibanding model laki-laki? Hal ini karena demand untuk model laki-laki lebih sedikit dibandingkan perempuan. Contoh lain misalnya di Georgetown University terdapat sepuluh jurusan dengan prospek gaji tinggi ketika bekerja, tetapi hanya satu jurusan yang mahasiswanya mayoritas perempuan. (Carnevale, Smith, & Gulish, 2018)

Hal ini menandakan bahwa memilih profesi merupakan keputusan pribadi individu (negative rights). Perempuan bisa saja memilih jurusan yang memiliki upah tinggi di dunia pekerjaan, tetapi banyak yang memutuskan untuk tidak memilih jurusan tersebut. 

Di satu sisi, secara inheren, perbedaan antara laki-laki dan perempuan akan selalu ada. Namun, perbedaan tidak selalu berarti diskriminasi. Perbedaan sifat perempuan dan laki-laki yang sudah digeneralisir oleh masyarakat misalnya. Stigma gender perempuan memiliki sifat yang lebih lembut, cengeng, dan sensitif dibanding laki-laki. Sedangkan stigma laki-laki dianggap memiliki peran natural sebagai pemimpin. Stigma perbedaan fungsi ini muncul karena perbedaan alat kelamin dan berimbas pada pemisahan profesi antara laki-laki dan perempuan. 

Stigma-stigma tersebut kemudian mengakar pada masyarakat dan dianggap menjadi kodrat gender. Persepsi kodrat merupakan hasil dari proses internalisasi yang panjang sehingga hampir seluruh masyarakat menganggap kodrat laki-laki adalah bekerja dan kodrat perempuan adalah diam di rumah tanpa mengetahui asal-usul kodrat tersebut, masyarakat ikut meyakininya. Proses internalisasi yang terjadi sejak waktu yang lama inilah yang juga mendasari norma gender. 

Pada kenyataannya, sangat sulit untuk menghitung jumlah perempuan yang terkena dampak patriarki (diskriminasi dan dirugikan akan hal tersebut), dengan perempuan yang memang memilih jalannya berdasarkan keputusannya sendiri. Memang, ada faktor pendukung juga dalam pengambilan keputusan individu, seperti stigma masyarakat. Namun, pada akhirnya, masyarakat dapat memilih sesuai dengan keputusannya sendiri.

Referensi:

Anker, R. 1998. Gender and Jobs: Sex Segregation of Occupations In The World. Geneva: International Labour Office. 

Bertrand, M. (2010). Dynamics of the Gender Gap for Young. American Economic Journal: Applied Economics 2 (3): 228-55. 

Carnevale, A., Smith, Gulish. (2018). Women Can’t Win. Washington D.C.: Georgetown University.

Karnadi, E. B. (2019) Research: gender pay gap exists in Indonesia, especially for women under 30. The Conversation. https://theconversation.com/research-gender-pay-gap-exists-in-indonesia-especially-for-women-under-30-128904 

Samuella Christy adalah siswa SMA di Jakarta yang baru lulus dan aktif menulis seputar isu-isu sosial politik. Dapat ditemukan di Instagram melalui nama pengguna @samuellachristy

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *