Menilik Peristiwa Alam Tahun 2021 dan Peluang Bagi Pembangkit Listrik Energi Terbarukan

0

Ilustrasi bencana banjir di Indonesia pada tahun 2021. Foto: SCMP

Belum genap setengah tahun, Indonesia telah mengalami banyak fenomena alam yang menimbulkan dampak buruk serta kerugian yang sangat besar. Pada awal tahun 2021, saat itu saya sedang fokus mengendarai mobil dari bandara menuju rumah, intensitas hujan yang sangat deras menyambut kedatangan saya di susul oleh banjir yang cukup tinggi menggenangi hampir seluruh ruas jalan utama sehingga akses jalan pun terputus dan saya terpaksa harus menunggu hingga banjir surut.

Genangan banjir sudah menjadi hal yang lazim terjadi di Kota Samarinda. Hujan dengan intensitas sedang hingga tinggi yang turun beberapa saat saja dapat menimbulkan banjir yang semakin diperparah oleh luapan Bendungan Benanga. Aktivitas pembukaan lahan sawit dan pertambangan batubara di hulu sungai diyakini menjadi penyebab limpahan air bendungan yang tak terkendali akibat berkurangnya area resapan air sehingga banjir pun menjadi tidak terhindarkan di perkotaan. 

Berbicara masalah banjir, Provinsi Kalimantan Selatan menjadi daerah yang terdampak banjir paling luas dan paling lama pada tahun ini. Jika teman-teman masih ingat, hampir satu pekan saluran berita menayangkan kondisi/keadaan banjir yang tidak kunjung surut. Melalui siaran persnya, BNPB mengatakan bahwa dampak kerugian yang dialami oleh warga dari 11 kabupaten/kota tak lain seperti 99.361 unit rumah terendam, 46.235 hektar lahan pertanian gagal panen, hingga rusaknya 22 jembatan dan sepanjang 18.294 meter jalan raya terendam (Idhom, 2021). 

Penyaluran energi listrik pun sempat terhenti dan sebagian baru dapat dipulihkan selama hampir satu pekan. Berdasarkan laporan PLN Unit Induk Wilayah Kalselteng, dari total 1.571 gardu listrik dengan 110.657 pelanggan yang terdampak, sebanyak 1.175 gardu listrik dengan 66.923 pelanggan yang sudah mulai dipulihkan (Ramli, 2021). Sebenarnya saya sendiri tidak mampu membayangkan bagaimana beraktivitas tanpa listrik selama hampir satu pekan terutama untuk kebutuhan sekarang yang tidak lepas dari perangkat komunikasi dan penerangan.

Hal yang sama terjadi pasca gempa Mamuju dan Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Kekuatan gempa 6.2 SR mengakibatkan beberapa tiang dan gardu listrik roboh dan infrastruktur lainnya terganggu. Berdasarkan keterangan tertulis dari General Manager PLN Unit Induk Wilayah Sulselbar disebutkan bahwa 872 gardu listrik terdampak gempa dan 58 persen atau 528 gardu listrik dapat dipulihkan dalam waktu satu hari (Perwitasari, 2021). Terputusnya jaringan listrik membuat sistem telekomunikasi terganggu serta melumpuhkan fasilitas kesehatan yang dibutuhkan oleh para korban banjir.

Mengingat pentingnya pasokan energi listrik bagi aktivitas kehidupan di zaman ini, sistem penanggulangan bencana yang kuat dan yang paling mutakhir menjadi kunci dalam kesuksesan menjaga ketersediaan pasokan listrik. Jika tidak dilakukan antisipasi yang sigap, maka bukan tidak mungkin rantai pasokan listrik dapat terputus seperti pada badai salju yang telah terjadi di Texas, Amerika Serikat.

Beberapa bulan yang lalu, saya sempat membaca berita yang mengabarkan bahwa terjadi kegagalan jaringan listrik yang disebabkan oleh badai salju ekstrem yang melanda wilayah selatan AS. Dilansir dari National Weather Service atau Lembaga Cuaca setempat, terjadi penurunan suhu ekstrem di Texas dengan angka rata-rata minus 30 hingga minus 34,44 derajat celcius. Disebutkan bahwa kali ini merupakan cuaca yang paling dingin dalam 40 tahun terakhir. 

Peristiwa tersebut berimbas pada terhentinya pelayanan beberapa pembangkit listrik yang mengakibatkan 2,7 juta penduduk harus berjuang melawan cuaca dingin tanpa menggunakan penghangat listrik. Sumur gas alam yang membeku serta pasokan bahan bakar pembangkit listrik menjadi penyebab non aktifnya beberapa pembangkit yang ada di negara bagian tersebut disertai dengan putusnya beberapa kabel penghantar listrik yang rusak akibat badai salju selama tiga hari.

Saya beranggapan bahwa fenomena alam yang terjadi dalam empat bulan terakhir merupakan dampak yang ditimbulkan akibat penggunaan energi yang tidak terkendali, mengapa demikian? Jumlah permintaan pasokan energi listrik akan semakin bertambah seiring dengan jumlah aktivitas industri yang semakin meningkat, alhasil ketersediaan pasokan energi listrik selalu dimaksimalkan dengan sumber energi fosil yakni batubara. Sisa pembakaran batubara berpotensi menurunkan kualitas udara dan meningkatkan zat polutan di udara yang berdampak pada pemanasan global. 

Menurut rekaman Laboratorium Penelitian Bumi (ESRL–NOAA) dikutip oleh The Guardian, konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer telah memecahkan rekor baru sebesar 417,72 ppm terhitung pada tanggal 21 Maret 2021. Ini merupakan angka tertinggi yang pernah terekam sejak Revolusi Industri pertama pada tahun 1850 (ForestDigest, 2021). Pemanasan global merupakan fenomena meningkatnya suhu rata-rata atmosfer, lautan, dan daratan yang mendorong terjadinya perubahan iklim. Perubahan iklim yang terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan krisis iklim yang memicu perubahan cuaca ekstrem yang terjadi dengan interval waktu yang sangat singkat seperti peristiwa alam yang telah saya sebutkan sebelumnya.

Kesalahpahaman yang sering terjadi yaitu menganggap dampak dari krisis iklim seakan-akan itu merupakan bencana alam sehingga banyak orang yang menganggap sepele terkait perubahan situasi yang begitu cepat dan signifikan seperti perubahan cuaca ekstrem dan kenaikan suhu bumi. Merangkum dari pernyataan Andhyta Firselly Utami selaku Environmental Economist di World Bank pada kegiatan Kuliah Umum FEB UGM, menurutnya kenaikan suhu berdampak besar pada 60 hingga 80 tahun kedepan sementara itu Indonesia merupakan penghasil emisi ke-4 terbesar dengan 4,8% kontribusi dari total emisi dunia dan 91% emisi di Indonesia berasal dari pembukaan hutan, pembakaran lahan, dan pemakaian energi (Budiarso, 2020). Kondisi tersebut mendesak kita untuk segera mengambil tindakan dalam menekan perubahan iklim, salah satunya dengan beralih dari energi fosil ke penggunaan energi terbarukan.

Penggunaan energi terbarukan yang ramah lingkungan dapat menurunkan emisi karbon dan menjaga ketahanan pasokan energi listrik. Seperti yang dipaparkan oleh Merely selaku Kepala Bagian Keuangan dan Administrasi Star Energy Geothermal pada kegiatan Kuliah Umum FEB UGM, Indonesia memiliki kandungan panas bumi yang sangat besar dan mampu menekan emisi karbon serta mengurangi krisis iklim apabila dikembangkan secara optimal, namun pemanfaatannya sendiri masih sangat kecil sebesar 8,17 % dari total potensi yang ada (Budiarso, 2020). Energi panas bumi dikenal sebagai sumber energi dengan tingkat keberlanjutan yang tinggi karena dapat diperbaharui dengan jangka waktu yang sangat pendek, di lain sisi usaha pemanfaatan energi panas bumi cenderung lebih mahal karena investasi awal yang sangat besar serta perencanaannya membutuhkan waktu yang cukup panjang.  

Potensi energi terbarukan terbesar merupakan energi surya yang mencapai 207,8 Gigawatt (GW), sementara itu panas bumi berada di posisi ke-5 dengan total potensi sebesar 23,9 GW (Ditjen EBTKE ESDM, 2020). Pemanfaatan energi surya masih belum optimal dengan total pemanfaatan sebesar 150 Megawatt (MW). Pada tahun 2021, pemerintah Indonesia sudah mulai berkomitmen dalam optimalisasi potensi energi surya yang dibuktikan dengan proyek pembangunan PLTS Terapung di Waduk Cirata berkapasitas 145 MW yang merupakan kerjasama pemerintah Indonesia dengan Masdar (Perusahaan asal Uni Emirates Arab). Energi surya yang sangat berlimpah serta usaha dalam pemanfaatannya sebagai energi listrik semakin murah dari waktu ke waktu memiliki tantangan karena keterbatasan waktu pembangkitan pada malam hari serta daya guna modul panel surya hanya memiliki masa pemakaian efektif selama 25 tahun.

Menurut saya, pembangkit listrik energi terbarukan memiliki peluang yang sangat besar dalam menggeser keberadaan pembangkit listrik energi fosil sebagai salah satu upaya menurunkan tingkat emisi karbon. Kejadian tersebut dapat dimasukkan dalam proses transisi energi. Makna dari transisi energi sendiri adalah perubahan secara struktural dan signifikan mengenai penggunaan energi saat ini. Kekurangan dari masing-masing pembangkit energi terbarukan dapat dilengkapi dengan menerapkan sistem hibrida, yaitu penggabungan antara dua pembangkit atau lebih untuk dapat menciptakan pasokan energi listrik yang berkelanjutan. Contohnya pemanfaatan PLT Surya dengan PLT Bayu; pada siang hari PLT Surya dapat menghasilkan listrik dan pada malam hari PLT Bayu yang akan menghasilkan energi listrik. 

Peluang lain dalam pemanfaatan pembangkit listrik energi terbarukan, yaitu tingkat keberlanjutan dan minim interupsi apabila menghadapi peristiwa alam yang berdampak buruk. Perubahan cuaca ekstrem serta bencana alam dapat menjadi tantangan dalam pengoperasian pembangkit listrik energi fosil. Contohnya saat terjadi gempa bumi, apabila suatu bangunan memiliki pembangkit listrik tenaga surya dan jaringan listrik utama terputus maka pasokan energi listrik bangunan tersebut tidak akan terganggu. Jika hanya mengandalkan jaringan listrik utama, maka akan terjadi kelumpuhan akibat pasokan energi listrik yang terhenti. 

Jadi kesimpulannya, dampak krisis iklim yang tidak kita anggap serius mulai saat ini dan kedepan akan menimbulkan bencana alam yang kemungkinan akan jauh lebih besar dari banjir yang terjadi di Kalimantan Selatan. Pemanfaatan energi terbarukan berpeluang besar dalam menekan dampak krisis iklim melalui pengurangan emisi gas karbon serta memiliki peran yang sangat krusial dalam penyediaan pasokan energi listrik yang berkelanjutan apabila terjadi peristiwa alam yang berdampak buruk seperti yang terjadi di Texas, AS. 

Selama tidak ada tindakan pengurangan aktivitas yang dapat menimbulkan emisi, krisis iklim akan terasa semakin nyata. 

Referensi:

Budiarso, Sony  dan Z. Leila Chanifah. (2020, 3 Agustus).  Krisis Iklim dan Peran Energi Terbarukan. FEB UGM. https://feb.ugm.ac.id/id/berita/3039-krisis-iklim-dan-peran-energi-terbarukan

Ditjen EBTKE KESDM. 2020. Data Potensi Energi Baru dan Terbarukan. Jakarta. 

Idhom, M. Addi. (2021, 21 Januari). Penyebab Banjir Kalsel Menurut Analisis LAPAN, Aktivis, dan KLHK. Tirto.id. https://tirto.id/penyebab-banjir-kalsel-menurut-analisis-lapan-aktivis-dan-klhk-f9uk

Perwitasari , Nur Hidayah. (2021, 16 Januari 2021). PLN Sebut Pasca Gempa Mamuju & Majene 528 Gardu Listrik Sudah Nyala. Tirto.id. https://tirto.id/pln-sebut-pasca-gempa-mamuju-majene-528-gardu-listrik-sudah-nyala-f9iM

Ramli R. Rully. (2021, 19 Januari). 414 Gardu Listrik Masih Padam Akibat Banjir di Kalsel dan Kalbar. Kompas.com.  https://money.kompas.com/read/2021/01/19/055531326/414-gardu-listrik-masih-padam-akibat-banjir-di-kalsel-dan-kalbar

Redaksi. (2021, 2 April). Siap-Siap, Puncak Krisis Iklim 15 Tahun Lagi. ForestDigest. https://www.forestdigest.com/detail/1069/puncak-krisis-iklim-2035

Idham Budhi Satria adalah Koordinator Divisi Riset dan Diskusi Adidaya Initiative. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @idambudi

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *