Meninjau Resiprositas Kerja Sama Ekonomi Australia-Indonesia dalam IA-CEPA

0

Presiden Jokowi dan PM Malcolm Turnbull berjabat tangan. Foto: FPCI UGM

Menjalin kerja sama ekonomi antarnegara menjadi sangat penting untuk memastikan suatu negara tidak tertinggal atau terisolasi dari perkembangan ekonomi global. Apalagi di tengah pandemi COVID-19, ketika resesi ekonomi kini melanda negara-negara yang bahkan sudah maju perekonomiannya. Saat ini, Indonesia juga sedang menggencarkan kerja sama ekonomi ke berbagai negara. Hal ini sejalan dengan komitmen Indonesia dalam KTT Luar Biasa G20 terkait COVID-19 yang menggarisbawahi pentingnya kolaborasi antarnegara untuk melawan COVID-19. Kerja sama ekonomi dapat menyatukan kekuatan negara-negara agar mempercepat pemulihan serta memitigasi dampak COVID-19 terhadap perekonomian dunia.

Fokus dalam tulisan ini adalah kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Australia yang diwujudkan dalam Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement atau disingkat IA-CEPA. Penulis akan membahas mengapa kerja sama ini dapat menguntungkan bagi perekonomian kedua negara khususnya untuk pemulihan ekonomi pasca-pandemi COVID-19 melalui penerapan asas resiprositas. Tulisan ini berargumen bahwa IA-CEPA tidak bisa dicap saling menguntungkan jika dinilai hanya dari nilai perdagangan atau investasinya saja, tetapi juga harus dilihat side-payments lainnya seperti pada sektor ketenagakerjaan yang membuat hubungan kerja sama ekonomi ini lebih resiprokal.

Pembahasan

Pada Maret 2020, DPR RI mengesahkan UU tentang IA-CEPA. Tujuan dari kerja sama ini adalah untuk membentuk “Economic Powerhouse” antara kedua negara tersebut dan membuka akses ekspor impor di kedua negara dengan penghapusan tarif hingga 0% terhadap hampir 6500 komoditas ekspor Indonesia dan 94% komoditas ekspor Australia juga akan dihapuskan tarifnya secara bertahap (Arfandi & Hertanti, 2019). Beberapa barang ekspor Indonesia yang dihapuskan tarifnya meliputi otomotif, produk tekstil dan garmen, herbisida dan pestisida, elektronik, mesin, karet dan produk turunannya, kayu dan produk turunannya, kopi, cokelat, dan kertas. Secara garis besar, persetujuan ini memudahkan arus perdagangan antara Australia dan Indonesia dengan adanya penghapusan berbagai hambatan ekspor impor seperti bea masuk serta pelonggaran batasan volume barang. Persetujuan ekonomi ini memang menunjukkan itikad baik antara kedua negara dalam membangun kerja sama bilateral, akan tetapi tetap diperlukan evaluasi secara berkala apakah sudah berjalan secara optimal dan menguntungkan kedua pihak.

Saat ini, nilai perdagangan bilateral Indonesia-Australia bernilai sekitar US$17,8 miliar atau setara dengan Rp240,3 triliun (Widowati, 2020). Dilansir dari laman tradingeconomics.com, komoditas ekspor terbesar Indonesia adalah sektor migas yakni minyak mentah dengan total senilai US$ 170.12 Juta pada tahun 2019 sedangkan impor terbesarnya juga sektor migas yakni batu bara senilai US$ 754.78 Juta. Negeri Kangguru ini juga merupakan pemasok impor daging terbesar di Indonesia dengan total sekitar 85 ribu ton atau 53% dari keseluruhan total impor seberat 160.197 ton. Nilai impor daging sapi Australia ini mencapai US$296,3 juta atau sekitar Rp 4 triliun dari total nilai impor Rp 7,7 triliun (Indonesia.go.id., 2020). Penghapusan hambatan ekspor impor dalam IA-CEPA sangat menguntungkan eksportir hasil olahan hewan ternak di Australia, seperti daging sapi beku, daging domba, hingga produk olahan susu. Begitu juga dengan eksportir hasil pertanian atau perkebunan, seperti gula, jeruk mandarin, jeruk australia, jeruk lemon, kentang, wortel, dan sayur-mayur lainnya.

Namun jika ditelaah, ternyata selama 5 tahun terakhir Indonesia mengalami defisit neraca dagang dengan Australia. Bahkan setelah IA-CEPA diratifikasi, per November 2020 total defisit neraca dagang Indonesia dengan Australia justru semakin melebar karena jumlah impor Indonesia lebih tinggi dari jumlah ekspornya. Defisit neraca dagang tahun 2020 mencapai US$ 178,4 juta dengan jumlah impor sebesar US$ 376,6 juta yang lebih tinggi dari ekspor sebesar US$ 198,2 juta (Julita, 2020). Alasan mengapa ekspor Indonesia masih rendah ketimbang impornya adalah karena standar barang ekspor Indonesia yang belum memenuhi kriteria atau kualifikasi yang diterapkan di Australia, bisa dibilang hambatannya justru berasal dari hambatan non tarif (Arfandi & Hertanti, 2019).

Perihal investasi, Australia masuk ke dalam 10 negara dengan investasi terbesar di Indonesia, namun jumlah investasinya paling rendah dari negara-negara lain (de Haan, 2018). Dari US$ 2,3 triliun investasi luar negeri oleh Australia pada tahun 2017, Indonesia hanya menerima US$ 10,7 miliar, sekitar 0,46% dari investasi Australia ke luar negeri. Alasan mengapa Australia malas berinvestasi di Indonesia adalah iklim bisnis yang buruk, hal ini seringkali berkaitan dengan besarnya hambatan investasi asing, birokrasi yang berbelit, kurangnya tenaga kerja terampil, hingga tingkat produktivitas rendah (de Haan, 2018).

Jika nilai ekspor Indonesia selalu lebih kecil dari impornya maka asumsinya IA-CEPA belum banyak menguntungkan Indonesia karena Indonesia masih gagal mengurangi defisit neraca dagangnya. Sebaliknya, Australia kini menikmati keterbukaan akses ekspor ke pasar Indonesia yang disebut-sebut sebagai negara G20 dengan pertumbuhan ekonomi tercepat kedua setelah Cina. Tapi apakah bijak untuk menilai kesuksesan atau resiprositas kerja sama ini hanya dari nilai perdagangan atau investasi seperti itu? Pertanyaan yang kemudian membuat penulis penasaran adalah bagaimana IA-CEPA bisa disebut resiprokal?

Para penggagas teori kerja sama internasional (international cooperation) seperti Robert Keohane dan Robert Axelrod menggarisbawahi bahwa dalam sebuah kerja sama, negara-negara akan cenderung menunjukkan sikap yang kooperatif apabila kerja samanya dilandaskan pada resiprositas (Milner, 1992). Untuk memahami gagasan ini, pertama-tama kita harus bisa mengidentifikasi apa yang disebut resiprositas. Terdapat dua aspek penting dalam konsep resiprositas yang didefinisikan oleh Robert Keohane (1986: 5) yaitu (1) kontingensi, resiprositas memiliki aspek kontingensi di mana tindakan yang dilakukan suatu negara sifatnya mengikuti atau merespons tindakan negara lain yang bersangkutan, tindakan jahat dibalas jahat sedangkan tindakan baik dibalas baik dan (2) ekuivalen, resiprositas memiliki aspek ekuivalen di mana tindakan negara-negara yang bekerja sama atau berinteraksi ini harus memiliki kesamaan nilai.

Hal yang krusial ketika menganalisis kerja sama Indonesia-Australia dalam IA-CEPA adalah sejauh mana keuntungan yang didapat dari kerja sama kedua negara ini terdistribusi secara merata. Dalam artian lain, bagaimana kedua negara bisa mendapatkan keuntungan yang sama, ekuivalen, atau seimbang. Dalam kasus IA-CEPA, terdapat suatu permasalahan di mana neraca dagang Indonesia dengan Australia terus mengalami defisit terlepas telah dihapuskannya tarif atau hambatan ekspor impor lainnya, sedangkan Australia justru mengalami surplus dan peningkatan ekspor.

Ternyata meskipun keuntungan dalam sektor perdagangan belum begitu dirasakan oleh Indonesia, Indonesia dapat mengambil keuntungan di sektor lain yakni ketenagakerjaan. IA-CEPA menyebutkan adanya pertukaran tenaga kerja terlatih (reciprocal skills exchange) yang memungkinkan para tenaga kerja dengan kualifikasi yang sama untuk mencari pengalaman ke kedua negara selama 6 bulan. Sebanyak 200 tenaga kerja Indonesia bisa dikirim setiap tahunnya ke Australia untuk mendapatkan pelatihan kerja. Hal ini menjadi salah satu poin yang menguntungkan bagi Indonesia karena para tenaga kerja bisa meningkatkan kapasitasnya di sektor-sektor penting termasuk sektor yang menjadi ketertarikan investor Australia. Australia berkomitmen untuk menyediakan pendidikan vokasional baik bagi tenaga kerja Australia maupun Indonesia berupa lembaga pelatihan di Indonesia dan menawarkan semua Kerangka Kualifikasi Australia dan Indonesia tingkat 1-5 dalam materi pelajaran termasuk administrasi bisnis, teknik, bahasa, pariwisata, manajemen, teknologi informasi, seni, dan pertanian (Australia Government Australian Trade and Investment Commission, 2020). Paket ini juga mencakup program pertukaran tenaga kerja terlatih dan program pelatihan keterampilan di tempat kerja yang akan membantu membangun hubungan orang-ke-orang dan meningkatkan literasi bisnis Australia di Indonesia. Selain itu, Australia juga meningkatkan ketersediaan visa kerja dan liburan bagi orang Indonesia dari yang sebelumnya 1000 visa menjadi 4100 visa pada tahun pertama kemudian menjadi 5000 visa pada 6 tahun yang akan datang. Kesempatan ini juga bisa digunakan oleh pekerja muda Indonesia untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja musiman di Australia.

Hal ini menjadi prospek yang menjanjikan untuk peningkatan kualitas SDM Indonesia serta menunjukkan komitmen kedua negara dalam membangun “economic powerhouse” khususnya dalam meningkatkan daya saing dan produktivitas. Inilah yang disebutkan oleh Grieco (1990) sebagai side-payments yang bisa dijadikan acuan untuk mengukur keuntungan yang didapat oleh negara-negara dari suatu kerja sama. Haas (1990) juga memberikan contoh bagaimana side-payments bisa digunakan untuk menyeimbangkan keuntungan yang didapat dari Med Plan untuk negara-negara di wilayah Mediterania. Haas menemukan bahwa side-payments memainkan peran penting dalam mendukung keberlanjutan sebuah kerja sama karena negara-negara yang menyetujui program tersebut menikmati keuntungan-keuntungan lain, seperti lowongan pekerjaan, pembangunan sarana prasarana baru di berbagai negara, pelatihan tenaga kerja, dan keuntungan jangka pendek maupun jangka panjang lainnya (Haas, 1990).

Dengan adanya side-payments yang diterima Indonesia khususnya dalam sektor ketenagakerjaan, IA-CEPA dapat disebut resiprokal bagi kedua negara. Meskipun Indonesia kini terus mengalami defisit neraca dagang yang tentunya bisa diperbaiki dan ditingkatkan di masa yang akan datang, Indonesia memiliki keuntungan lain yang didapat dari kerja sama IA-CEPA ini yakni kesempatan untuk meningkatkan daya saing tenaga kerjanya. Di samping itu, IA-CEPA juga menunjukkan keterbukaan untuk pembahasan mengenai hambatan-hambatan lain yang bersifat non-tarif, hal ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia untuk bernegosiasi perihal hambatan ekspor yang berkaitan dengan standar atau kualifikasi.

Kesimpulan

Dengan menggunakan konsep resiprositas, tulisan ini meninjau bagaimana kerja sama IA-CEPA bisa membawa keuntungan baik bagi Indonesia maupun Australia. Penulis berargumen bahwa kerja sama ini tidak bisa dianggap saling menguntungkan apabila tidak melihat side-payments lain selain nilai perdagangan dan investasi. Mengingat Indonesia juga diuntungkan dengan adanya pertukaran tenaga kerja terlatih serta peningkatan jumlah visa kerja dan liburan yang bisa dimanfaatkan bagi tenaga kerja Indonesia untuk mencari pengalaman dan mendapatkan pelatihan di Australia. Dengan berlakunya IA-CEPA, kedua negara memiliki kesempatan untuk memperluas jangkauan pasar, meningkatkan nilai perdagangan dan investasi, serta meningkatkan produktivitas khususnya dalam upaya membangun economic powerhouse.

Penulis meyakini bahwa IA-CEPA juga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai perdagangan dan investasi asalkan Indonesia berkomitmen tinggi untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang menyebabkan rendahnya ekspor dan investasi, seperti rendahnya kualitas barang ekspor dan iklim bisnis yang buruk. Di masa yang akan datang, penulis percaya bahwa IA-CEPA akan membawa keuntungan yang nilainya sama baik bagi Indonesia maupun Australia selama dibarengi dengan itikad baik, kolaborasi, serta keinginan untuk terus maju dan berkembang. Terdapat dua rekomendasi yang diajukan penulis melalui tulisan ini. Pertama, Indonesia harus bisa memanfaatkan kerangka kerja IA-CEPA untuk mendongkrak ekspornya dengan Australia agar bisa menutup defisit neraca dagangnya, baik dengan cara bernegosiasi perihal hambatan non-tarif atau meningkatkan standar komoditas ekspornya supaya memenuhi kualifikasi dari Australia. Kedua, Indonesia harus bisa memperbaiki iklim bisnisnya untuk menarik minat investor dari Australia agar menggelontorkan lebih banyak dana dan meningkatkan nilai investasi sehingga kerja sama IA-CEPA dapat memberikan keuntungan yang lebih optimal.

Referensi

Buku

Grieco, Joseph. (1990). Cooperation among Nations: Europe, America, and Non-tariff Barriers to Trade. New York: Cornell University Press.

Haas, Peter. (1990). Saving the Mediterranean: The politics of international environmental cooperation. New York: Columbia University Press.

Artikel Jurnal

Arfandi, Hafidz, & Hertanti, Rachmi. (2019). Critical Analysis Indonesia-Australia CEPA: Potential to Increase Imports, Than Exports. Policy Paper Indonesia for Global Justice.

Keohane, Robert. (1986). Reciprocity in International Relations. International Organization. 40(1). 1-27.

Milner, Helen. (1992). Review: International Theories of Cooperation among Nations: Strengths and Weaknesses. World Politics. 44(3). 466-496.

Sumber Daring

Australia Government Australian Trade and Investment Commission. (2020, 5 Juli).  Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA). https://www.austrade.gov.au/Australian/Export/Free-Trade-Agreements/iacepa

de Haan, Jarryd. (2018, Mei 31). Indonesian Perspectives: Economic and Security Relations with Australia. Future Directions International. https://www.futuredirections.org.au/publication/indonesian-perspectives-economic-security-relations-australia/

Indonesia.go.id. (2020, Februari 2021). Babak Baru Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Australia.  Indonesia.go.id. https://indonesia.go.id/narasi/indonesia-dalam-angka/ekonomi/babak-baru-kerja-sama-ekonomi-indonesia-australia#:~:text=Selama%20ini%20nilai%20perdagangan%20bilateral)%2C%20sebagai%20mitra%20dagang%20utamanya.

Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Chicago. (2020, 26 November). President Jokowi Calls the Need for Major Post-Pandemic Transformations at the G20 Summit Forum. Kementerian Luar Negeri https://kemlu.go.id/chicago/en/news/9678/president-jokowi-calls-the-need-for-major-post-pandemic-transformations-at-the-g20-summit-forum.

Widowati, H. (2020, 10 Februari). Ada 5 Keuntungan, Jokowi Teken Perjanjian Dagang Indonesia-Australia. Katadata. https://katadata.co.id/hariwidowati/berita/5e9a495d24cc3/ada-5-keuntungan-jokowi-teken-perjanjian-dagang-indonesia-australia#:~:text=Nilai%20perdagangan%20bilateral%20antara%20Indonesia,)%2C%20dua%20mitra%20dagang%20utamanya.

Hana Elfira merupakan mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @hanaelfira

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *