Meruntuhkan Kapitalisme Melalui Paradigma Degrowth, Menyelesaikan Masalah Ekologis dan Ketimpangan

0

Ilustrasi demonstrasi terhadap green capitalist. Foto: Markus Spiske/Unsplash

Selama beberapa dekade terakhir, diskursus seputar lingkungan hidup dalam studi politik global mengalami perkembangan yang pesat. Dampak destruktif krisis iklim yang semakin prominen akibat peningkatan industrialisasi sejak abad ke-19 mengharuskan negara untuk memperluas pemahaman mereka dengan memasukkan pertimbangan ekologis dalam proyeksi kebijakan dalam dan luar negeri (Mas’oed, 1997). Namun, implementasi dalam status quo justru kontraproduktif dengan gagasan ‘bumi berkelanjutan’. Struktur pasar global kapitalistik yang lestari berhasil menghasilkan mekanisme produksi yang eksploitatif dan polutif, sehingga orientasi utama yang terbangun dari pembangunan ekonomi hari ini adalah transisi masyarakat tradisional menuju masyarakat high-mass consumption (Jacobs, 2020). Hal tersebut—dalam jangka panjang, sadar ataupun tidak—menjadi problematika serius bagi aspek ekologis dan ketimpangan struktural.

Lantas, bagaimana seharusnya Global South sebagai aktor rentan merespons tantangan global ini? Tulisan ini dimaksudkan untuk mencapai dua hal: pertama, menegaskan kembali bagaimana duduk perkara keterkaitan destruksi ekologis dan ketimpangan struktural sebagai akibat dari sistem kapitalisme global. Kedua, bagaimana mengembangkan paradigma alternatif yang lebih “hijau” sebagai proses transisi berkelanjutan sekaligus solusi terhadap ketimpangan struktural hari ini.

Status Quo dan Ketimpangan dalam Pembangunan Global 

Sebelum masuk ke dalam tataran analisis, penulis ingin melimitasi subjek dari ketimpangan struktural, yakni terbatas pada relasi ketimpangan antara Global North dan Global South. Berakhirnya Perang Dingin dan globalisasi produksi sekitar abad ke-19 telah membawa multipolaritas geopolitik dunia secara bertahap ke arah bipolaritas ‘Utara’ dan ‘Selatan’. Antusiasme terhadap pergeseran model pembangunan zaman ini salah satunya tampak dari riset Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang melihat hubungan South-South sebagai dasar bagi paradigma pembangunan baru yang akan menghasilkan agenda pembangunan global yang ‘lebih inklusif, efektif, dan horizontal’, utamanya jika berjalan bersama dengan hubungan North-South (OECD, 2011). 

Meskipun data di atas mengindikasikan bahwa beberapa negara Global South mungkin sedang mengalami gelombang pasang, tren ini berjalan paralel dengan peningkatan yang signifikan pada ketimpangan struktural, kerentanan sosial, dan destruksi ekologis yang meluas di ranah global (Gonzalez-Vicente, 2017). Eskalasi ketimpangan struktural ini berkaitan erat dengan strategi inisiatif negara dengan tujuan sekuritisasi akumulasi modal dalam tatanan pasar dunia yang kompetitif. Oleh karena itu, alih-alih mengkontekstualisasikan relasi antara negara-negara berkembang dalam lingkup geo-ekonomi Global South, tulisan ini menyarankan perlunya memahami interaksi-interaksi yang terjadi dalam lingkup kapitalisme kontemporer sebagai representasi fase baru dalam konsolidasi pembangunan global. 

Dominasi sistem kapitalistik dalam status quo berhasil menjustifikasi paradoks bahwa dalam mencapai insentif pertumbuhan ekonomi maksimum, negara dapat abai pada dampak destruktif yang meningkatkan ketimpangan struktural antara Global North dan Global South. Dalam konteks mitigasi perubahan iklim, relasi hierarkis tersebut terlihat dalam proyek Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus (REDD+) di bawah Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).

Sebagai pihak yang relatif lebih rentan, beberapa negara Global South menganggap proyek ini problematik (Wulansari, 2018). Hal ini disebabkan oleh mekanisme yang memungkinkan praktik komodifikasi alam, marjinalisasi masyarakat adat, dan pembatasan partisipasi aktor akar rumput dalam manajemen pengambilan keputusan. Selain itu, aturan-aturan dalam REDD+ ini menunjukkan pelemahan posisi tawar menawar Global South dalam negosiasi iklim global. Dalam lanskap yang lebih luas, pembangunan global di bawah sistem kapitalisme ini menunjukkan potret kesenjangan North-South, termasuk mengenai problematika tentang ketimpangan dan upaya redistribusi tanggung jawab. 

Di tengah perubahan iklim yang semakin merusak, ketimpangan strutural Global North dan Global South hari ini mungkin merefleksikan isu kritis, bahwa destruksi ekologis dan ketimpangan struktural sejatinya menunjukkan hubungan resiprokal, dan hanya bisa diatasi melalui perubahan sistem ekonomi global.

Logika Degrowth: Solusi “Hijau” dan Dekolonialisme Struktural 

Realitas timpang dalam struktur global hari ini merefleksikan adanya urgensi untuk mentransformasi paradigma menuju ke arah yang lebih adil dan berkelanjutan. Jason Hickel (2020a) dalam bukunya Less is More: How Degrowth will Save The World? mencoba untuk menggeser paradigma dominan dalam status quo pasar global hari ini, yaitu dari pertumbuhan ekonomi (growth) menuju memperlambat pertumbuhan ekonomi (degrowth). Hal ini berangkat dari dua premis pokok: pertama, logika PDB (Produk Domestik Bruto) sebagai indikator pertumbuhan ekonomi sejatinya problematik. Ketika PDB meningkat, maka yang sebetulnya terjadi adalah peningkatan produksi komoditas melalui ekstraksi sumber daya alam yang eksesif—bahan bakar transportasi, listrik, dan material fisik lainnya—yang menyumbang emisi gas rumah kaca ke atmosfer dalam porsi berlebih.

Kedua, realitas bahwa Global North merupakan pendorong kerusakan ekologi terbesar yang menyumbang 92% emisi, tetapi konsekuensi destruktif dari aktivitas tersebut justru secara disproporsional dirasakan oleh Global South yang hanya bertanggung jawab atas 8% emisi gas rumah kaca di atmosfer (Hickel, 2020b). Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi Global North sangat dependen pada pola penjajahan—perampasan sumber daya dan eksploitasi tenaga kerja di Selatan. Dalam hal emisi dan penggunaan sumber daya, krisis ekologi global berlintas di sepanjang garis kolonialisme. 

Lebih lanjut, Degrowth memandang bahwa dua premis tersebut lahir dan lestari di bawah sistem produksi yang kapitalistik. Persoalan utama ekologi dan ketimpangan struktural bukan terletak pada perilaku individu, tetapi pada sistem global yang mendasarinya—kapitalisme. Orientasi pada pertumbuhan ekonomi hanya akan menambah beban-beban lain bagi pemerintah karena mengejar pertumbuhan ekonomi dengan hanya berfokus pada peningkatan—tanpa upaya efisiensi—konsumsi akan menyebabkan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang selama ini dilakukan menjadi angan-angan semata. Beberapa langkah yang dapat diinisiasi untuk mencapai cita-cita Degrowth antara lain: (i) redistribusi pendapatan dan kapital secara lebih adil; (ii) transisi dari pekerjaan ekstraktif menuju pekerjaan reproduktif; hingga (iii) menerapkan struktur kepemilikan kolektif (cooperative ownership) dalam institusi strategis—politik dan ekonomi. 

Oleh karena itu, Degrowth pada dasarnya merupakan solusi alternatif dengan semangat dekolonialisme, yang menuntut negara Global North untuk menekan produksi ke tataran yang berkelanjutan (baca: dalam batas wajar), mengurangi penggunaan energi yang eksesif untuk memungkinkan akselerasi transisi ke energi terbarukan, dan menurunkan obsesi pada pembangunan lewat penurunan aktivitas ekonomi (Fachry, 2022). Semangat dekolonialisme menjadi penting bagi peneguhan eksistensi negara-negara Global South karena “mengejar ketertinggalan” tidak mungkin bisa dilakukan dalam sebuah sistem yang didasarkan pada perampasan dan akumulasi yang terpolarisasi.

Peneguhan Ide Degrowth dalam Konteks Global South 

Degrowth mungkin bukan silver bullet yang dapat mengatasi problematika struktural dunia dan Global South pada khususnya. Namun, semangat Global South dalam mengurangi ketimpangan hierarkis dalam pasar, kemiskinan struktural, dan ketidakadilan iklim harus menjadi subjek kajian bagaimana Degrowth dapat dilibatkan dalam perumusan kebijakan dan wacana (pasca) pembangunan. Di tingkat makro, bentuk eksistensi penguatan Global South dimanifestasikan lewat South-South Cooperation (SSC) sebagai proses kerja sama pembangunan antara negara Global South dengan berbasis prinsip kesetaraan, solidaritas, dan saling benefisial (Davies, 2010). Hal ini bertujuan untuk mempertegas posisi tawar-menawar (bargaining power) Global South dalam berbagai negosiasi diplomatik forum internasional, sehingga Global South punya kuasa berdaulat dan tidak lagi bergantung dengan Global North dalam proses pembangunan dan pengambilan keputusan (Cassady et al., 2016).

Dalam lingkup ekonomi global, SSC dimaknai sebagai bentuk hubungan mutualistik untuk mempromosikan perdagangan intra-regional negara Global South dan kooperasi untuk menstabilkan harga komoditas. Aspirasi-aspirasi ini diupayakan melalui berbagai lembaga global dan regional, seperti United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) yang diselenggarakan empat tahun sekali sejak tahun 1964 (Morvaridi & Hughes, 2018). 

Tak hanya itu, gerakan sosial di Global South juga turut mengadvokasi gagasan dekolonialisme hingga tataran akar rumput, seperti masyarakat adat Red Deal di Amerika Serikat dan gerakan ketahanan pangan Via Campesina di Perancis (Raworth et al., 2022) yang berusaha mendobrak struktur ekonomi-politik kapitalistik sebagai sistem status quo yang mengakar. Gerakan-gerakan sosial ini lahir dari proposisi yang sama: kesadaran bahwa pertumbuhan Global North sejatinya menjajah dan merampas sumber daya mereka, sehingga liberasi struktural menjadi vital untuk diinisiasi. Degrowth adalah seruan untuk membebaskan Global South dari perampasan imperialisme yang terartikulasi jelas dalam People’s Agreement of Cochabamba—tuntutan dari para aktivis Global South kepada Global North pasca gagalnya Conference on Parties (COP) 15 untuk menyelaraskan produktivitas ekonomi dengan asas keadilan dan berkelanjutan. 

Kesimpulan 

Problematika dalam ekonomi-lingkungan hidup menjadi semakin kompleks karena sistem pasar global kapitalistik sering kali kontraproduktif dengan tujuan ‘bumi berkelanjutan’. Relasi hierarkis yang lahir dari jejak historis antara Global North dan Global South melahirkan disproporsionalitas tanggung jawab dan dampak destruktif yang dirasakan oleh kedua entitas tersebut.

Dengan semangat dekolonialisme, Degrowth hadir sebagai alternatif “hijau” untuk mengatasi persoalan ekologis, sekaligus mencabut akar problematika sistem kapitalisme sebagai sumber dari ketimpangan struktural Global North dan Global South hari ini. Forum internasional, seperti 2023 United Nations Climate Change Conference (COP 28) seharusnya dapat menjadi momentum tepat untuk mendesak komitmen serta aksi konkret berbasis paradigma degrowth dari aktor-aktor intermestik Global North lintas sektor demi menciptakan masa depan bumi yang berkelanjutan dan berkeadilan. 

References 

Brockhaus, M., Di Gregorio, M., Djoudi, H., Moeliono, M., Pham, T. T., & Wong, G. Y. (2021). The Forest Frontier in the Global South: Climate Change Policies and The Promise of Development and Equity. Ambio, 50(12), 2238–2255. https://doi.org/10.1007/s13280-021-01602-1 

Davies, P. (2010). Poverty Number 20 International Policy Centre for Inclusive Growth South-South Cooperation. https://www.ipc-undp.org/pub/IPCPovertyInFocus20.pdf Fachry, M. (2022, January 12). Degrowth sebagai Pra-syarat Alternatif Pembangunan. Anotasi. https://anotasi.com/degrowth-alternatif-pembangunan/ 

Gonzalez-Vicente, R. (2017). South–South relations under world market capitalism: the state and the elusive promise of national development in the China–Ecuador resource-development nexus. Review of International Political Economy, 24(5), 881–903. https://doi.org/10.1080/09692290.2017.1357646 

Hickel, J. (2020a). Less is More: How Degrowth Will Save the World. Windmill Books. Hickel, J. (2020b). Quantifying National Responsibility for Climate Breakdown: an Equality-based Attribution Approach for Carbon Dioxide Emissions in Excess of the Planetary Boundary. The Lancet Planetary Health, 4(9), 399–404. https://doi.org/10.1016/S2542-5196(20)30196-0 

Jacobs, J. (2020, February 11). Why Is Rostow’s Stages of Growth Development Model Often Criticized? ThoughtCo. https://www.thoughtco.com/rostows-stages-of-growth-development-model-1434564

Mohanty, M. (2018). Inequality from the Perspective of the Global South. The Oxford Handbook of Global Studies, 210–228. https://doi.org/10.1093/oxfordhb/9780190630577.013.42 

Morvaridi, B., & Hughes, C. (2018). South-South Cooperation and Neoliberal Hegemony in a Post-aid World. Development and Change, 49(3), 867–892. https://doi.org/10.1111/dech.12405 

OECD. (2011). Unlocking the Potential of South-South Cooperation: Policy Recommendations from the Task Team on South-South Cooperation. https://www.oecd.org/dac/effectiveness/TT-SSC%20Policy%20Recommendations.pdf 

Raworth, K., Hickel, J., Jackson, T., & Mazucato, M. (2022). Degrowth Is About Global Justice. Green European Journal. https://www.greeneuropeanjournal.eu/degrowth-is-about-global-justice/ 

Wulansari, H. (2018). Can South-South Cooperation on Climate Change Bridge the North-South Divide Within Global Climate Regime? IIS Brief. https://hi.fisipol.ugm.ac.id/en/iis_brief/can-south-south-cooperation-on-climate-chang e-bridge-the-north-south-divide-within-global-climate-regime/

Muhammad Raafi merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @muhhraafi

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *