Negara Sejahtera itu Bernama Indonesia

0

Ilustrasi anak-anak pedesaan bermain. Foto: pixabay.com.

Beberapa waktu lalu, di salah satu kelas mata kuliah Dinamika Pemikiran Ekonomi Politik Internasional, sebuah pertanyaan sederhana dari dosen menohok saya.

“Hafizh, apa itu  sejahtera?”

Kesejahteraan memang menjadi sebuah abstraksi yang tak lekang oleh waktu. Sudah ratusan tahun lamanya pemikir ulung dari berbagai penjuru mencari jawaban absolut atas pertanyaan tersebut. Belum ada satu pun dari mereka yang berhasil. Sampai akhirnya, di salah satu sudut Depok, pertanyaan itu sampai ke saya.

“Ketika kemiskinan tidak lagi menjadi suatu isu di suatu masyarakat,” ungkap saya sekenanya. Tampak jelas bahwa saya juga tidak berhasil mendapatkan jawaban absolut atas pertanyaan tersebut.

Meski gagal menjawab, pertanyaan tersebut cukup berhasil menceburkan saya pada dunia Ekonomi Politik Internasional. Alasannya, menurut saya, kesejahteraan adalah tujuan dari tiap-tiap gagasan ekonomi yang muncul lalu meredup dari masa ke masa. Secara pragmatis, saya juga melihat bahwa saya selama ini lebih senang membaca literatur yang bertemakan Ekonomi Politik Internasional. “Sudah kadung basah, nyebur wae lah,” pikir saya waktu itu.

Sejahtera dari Masa ke Masa

Semakin saya menyelami makna sejahtera, saya mendapati fakta bahwa diskursus dominan mengenainya mengalami pergeseran dari masa ke masa. Konteks sosial baik di tatanan domestik maupun internasional menjadi determinan yang menentukan seperti apa diskursus dominan dari konsep kesejahteraan.

Ketika merkantilisme menjadi gagasan dominan ekonomi di abad ke-18, Adam Smith hadir dengan pemikirannya yang radikal. Revolusi Industri yang bermula di Inggris juga menjadi salah satu akar yang memengaruhi pemikiran Smith tentang kesejahteraan. Dari sisi ekonomi yang kental, Smith mengatakan bahwa negara hanya akan sejahtera jika mampu meningkatkan pertumbuhan ekonominya.

Pertumbuhan ekonomi ini dapat diwujudkan dengan syarat-syarat seperti mengurangi regulasi dalam perdagangan internasional, adanya usaha untuk tiap negara melakukan spesialisasi produksi (division of labour), dan menyehatkan kompetisi yang terjadi di antara pemilik modal. Jika negara terlalu ikut campur mengintervensi, seperti meningkatkan tarif untuk barang ekspor dan impor, atau memberikan hak monopoli pada produsen tertentu, kesejahteraan tersebut tidak akan tercapai.

Proposal dari Smith ini pun diterima oleh banyak negara, khususnya negara-negara Barat. Industrialisasi yang terus berkembang semakin memperkuat pijakan pemikiran Smith. Namun, di waktu yang bersamaan, permasalahan yang muncul dari industrialisasi mengembangkan pemikiran lain tentang kesejahteraan. Sebuah pemikiran yang lahir dari filsuf Jerman bernama Karl Marx.

Marx tidak berumur panjang, memang. Ia meniggal di umur 65 tahun. Namun, gagasannya yang tercetus pada abad ke-19 terus menciptakan kontroversi hingga abad ke-21. Di beberapa negara seperti Korea Utara, Komunisme yang lahir dari Marxisme masih menjadi ideologi utama bangsa. Sedangkan di beberapa negara lain, pemikiran ini justru dianggap berbahaya.

Meskipun berangkat dari pendekatan ekonomi, Marxisme menawarkan konsep kesejahteraan yang jauh berbeda dengan Smith. Menurut Marx, kapitalisme adalah sebuah tahapan yang tak terelakkan. Namun, seiring kapitalisme menemui berbagai permasalahan, kelas buruh akan semakin merasa tertekan. Tekanan ini, nantinya, dianggap mampu mendorong kelas buruh untuk bersatu, melakukan revolusi, dan mengambil alih means of production yang sebelumnya dikuasai oleh kaum pemodal. Ketika kelas buruh sudah menguasai means of production, kesetaraan dianggap akan tercapai. Di titik ini lah baru masyarakat dapat dianggap sejahtera.

Meski Marx dan Smith memiliki pandangan yang berbeda 180 derajat, keduanya masih sama-sama berangkat dari pendekatan ekonomi yang kental. Semuanya berasal dari dorongan material. Kesejahteraan dihitung dari sekadar distribusi material di masyarakat.

Di abad ke-20, diskursus mengenai kesejahteraan kembali bergeser. Kali ini, Amartya Sen lah yang melakukannya. Ekonom dari India ini meyakini bahwa kesejahteraan bukan hanya sekadar kebebasan negatif (kebebasan dari), melainkan juga kebebasan positif (kebebasan untuk). Dalam Poverty and Famines (1981), Sen menemukan fakta bahwa kemiskinan di wilayah pedesaan Bengal tidak terjadi karena adanya larangan untuk melakukan sesuatu, melainkan karena memang warganya tidak memiliki kapabilitas untuk melakukan sesuatu.

Ia pun mematangkan pemikirannya mengenai kesejahteraan dalam bukunya yang berjudul Development as Freedom (1999). Argumentasi Sen adalah bahwa pembangunan untuk mencapai kesejahteraan harus dilihat sebagai sebuah usaha untuk menciptakan kebebasan yang dapat benar-benar dinikmati oleh masyarakat, bukan hanya sekadar meningkatkan angka pendapatan per kapita. Di sini, Sen berusaha menyampaikan bahwa kesejahteraan yang hakiki adalah yang terpusat dan sesuai dengan manusianya, bukan pada angka-angka. Pertumbuhan ekonomi, yang selama ini dipatok dengan angka-angka, menjadi tidak relevan dalam konteks kesejahteraan versi Amartya Sen.

Indonesia, Sudah Sejahtera?

Usaha saya mendalami makna sejahtera mengantarkan saya pada sebuah konsep ekonomi-sosial bernama welfare state (negara kesejahteraan). Ketika saya berdiskusi dengan salah satu dosen Ekonomi Politik Internasional di kampus, ia mengatakan bahwa akar dari konsep negara kesejahteraan adalah kompromi di tatanan kebijakan, bukan pemikiran selayaknya yang dicetuskan oleh Smith, Marx, dan Sen.

Lantas, seperti apa komprominya? Di negara-negara Nordik, yang memang pengejewantahan terbaik konsep negara kesejahteraan, hal yang dilakukan adalah memadukan kapitalisme tingkat lanjut dengan kepastian hak sosial bagi seluruh rakyatnya secara universal. Kapitalisme global, seperti gagasan Smith, tetap dilaksanakan. Namun hal tersebut dikompromikan dengan distribusi sosial seperti pendidikan dan kesehatan gratis yang dijamin secara universal. Alih-alih melakukan revolusi seperti yang diprediksi Marx, kaum buruh dan petani berhasil menggunakan mekanisme yang lebih damai.

Bagaimaana di Indonesia? Jika mengidentifikasi secara bebas nilai (value free), Indonesia masuk ke dalam kategori negara kesejahteraan. Indonesia merupakan negara demokrasi. Kapitalisme juga dijalankan dengan terbuka dan masif. Hak sosial seperti pendidikan dan kesehatan telah terdekomodifikasi. Negara menjamin adanya distribusi sosial melalui sistem pajak yang terbilang cukup tinggi.

Kendati tergolong negara kesejahteraan, Indonesia belum menjadi negara sejahtera. Belum ya, bukannya tidak.

Hal ini tampak jika dipahami dengan memasukkan aspek-aspek kualitatif di dalamnya. Negara kesejahteraan ala Indonesia masih membutuhkan perbaikan yang signifikan. Tauchid Komara Yuda, dalam tulisannya yang berjudul Welfare Regime and the Patrimonial State in Contemporary Asia: Visiting Indonesian Cases (2018), mengatakan bahwa rezim kesejahteraan di Indonesia masih bersifat patrimonial. Itu artinya, negara tidak benar-benar mendistribusikan hak sosial dengan alasan pemerataan. Namun, ada kepentingan politik yang menaungi di belakangnya. Hal ini, menurutnya, menghambat pemerataan kesejahteraan di Indonesia.

Yuda pun menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga manifestasi patrimonialisme dalam negara kesejahteraan yang dijalankan di Indonesia. Pertama, akar dari kebijakan sosial yang diterapkan bukan berdasarkan konsep social citizenship, melainkan hanya ingin menciptakan hubungan patron-klien demi stabilitas kekuasaan. Hal ini terbukti dengan masih belum signifikannya perbaikan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Kedua, absennya aliansi lintas kelas yang seharusnya terjadi dalam sebuah negara kesejahteraan. Yuda mengatakan bahwa universalisme hak sosial yang ingin diwujudkan di Indonesia didorong oleh kelompok patron, bukan adanya dorongan dari kelompok buruh yang seharusnya mendorong kebijakan tersebut. Hal ini pun disebut Yuda hanya akan menguntungkan birokrat dan politisi.

Ketiga, masih adanya tingkatan kelas, seperti dalam BPJS Kesehatan, menjadi bukti bahwa logika feodal, alih-alih universal, masih tampak dalam praktik kebijakan sosial di Indonesia. Negara kesejahteraan yang dijalankan tanpa dorongan patrimonialisme seharusnya mampu menghapuskan tingkatan-tingkatan yang justru mempertegas batas kelas dalam rezim kesejahteraan.

Hafizh Mulia adalah Pemimpin Redaksi Kontekstual.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *