Ormas Sudah Mandiri, Malah Dikasih Tambang

0

Ormas dan Akses Tambang/ Kredit Foto NU Online

Inisiatif pemerintah untuk memberikan izin pengelolaan tambang kepada organisasi masyarakat (ormas) ormas keagamaan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 menjadi suatu Langkah yang mengherankan bagi banyak orang. Tentunya tambang, yang mengelola hasil bumi untuk tujuan mendapat keuntungan, seyogyanya diolah oleh entitas bisnis saja, ini kenapa malah ormas keagamaan?

Sejak dirilisnya peraturan tersebut, berbagai ormas mulai dari NU, Muhammadiyah, hinga Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PDI) telah merespon, menambah riuh diskursusnya. Namun, untuk mengetahui titik perkaranya, perlu didalami terlebih dahulu alasan dari “penawaran prioritas” Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) berikut wilayahnya (WIUPK) kepada ormas keagamaan ini, dari siapa lagi kalau bukan dari para pejabat pemerintah sendiri.

Berjasa, Berhak Dapat Tambang?

Alasan utama yang diberikan untuk pemberian izin tambang kepada ormas keagamaan adalah karena ormas keagamaan memiliki banyak kontribusi kepada masyarakat dan negara, baik di masa lalu maupun masa kini.

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia misalnya, menyebut bahwa perjuangan di masa kemerdekaan yang melibatkan mobilisasi oleh ormas keagamaan, seperti fatwa jihad melawan agresi militer 1948, menjadi alasan perlunya “negara hadir untuk membantu mereka (ormas keagamaan)”. Terpisah, Plh Kepala Staf Presiden Ali Mochtar Ngabalin menyebut bahwa Presiden Jokowi setuju untuk memberikan izin tambang bagu ormas keagamaan karena telah berkontribusi dalam penanganan pandemi COVID-19. 

Tidak ketinggalan, Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar juga membantah bahwa pemberian izin ini menjadi bentuk bagi-bagi kue, daripada “setiap hari nyariin proposal”, ujarnya. Menteri LHK juga menarik persamaan izin tambang untuk ormas keagamaan ini dengan hutan sosial sebagai inisiatif yang sama-sama memberikan ruang untuk menyalurkan produktivitas rakyat.  Dalam PP 25/2024 Pasal 83A Ayat 1 memang tertulis bahwa pemberian WIUPK dilakukan “dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat”.

Akan tetapi, untuk menjadikan berjasanya ormas keagamaan sebagai alasan pemberian tambang menjadi sesuatu hal yang tidak masuk akal. Apakah semua jasa harus memiliki balas jasa secara materiil? Apakah perjuangan kemerdekaan kita diukur dalam rupiah? Jawabannya tentu saja tidak, sebab berbagai ormas-ormas keagamaan berjuang karena rasa kepemilikannya atas kemerdekaan Indonesia. Demikian juga dalam pembangunan dan kesejahteraan bangsa Indonesia secara luas setelahnya.

Lagipula, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas menggariskan karakteristik ormas sebagai organisasi yang bersifat 1) sukarela, 2) nirlaba, 3) mandiri, 4) sosial, dan 5) berdasarkan kesamaan aspirasi untuk pembangunan Indonesia. Dengan penekanan sifat-sifat swadaya dan swakelola untuk kemaslahatan sosial tersebut, tampaknya terdapat pertentangan dengan pengelolaan tambang sebagai usaha ekstraktif untuk tujuan for profit dan malah berpotensi memberikan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat.

Tambang: Pintu Masuk Klientelisme dan Kemalasan

Dengan sifatnya yang mandiri dan nirlaba, ormas keagamaan dalam sejarah Indonesia telah berkembang dengan kemampuannya sendiri. Dengan menghimpun dana dari anggotanya dan menggunakannya secara produktif dan menguntungkan—tentunya dalam waktu yang panjang—ormas keagamaan mampu untuk membangun sumber daya materiil mereka menjadi jumlah yang sangat besar.

Muhammadiyah misalnya, sebagai ormas keagamaan Muhammadiyah memiliki setidaknya 12.000 masjid, 440 pesantren, 172 perguruan tinggi, dan 353 rumah sakit dan klinik per 2023. Ini ditambah lagi dengan kepemilikan lahan yang tercatat melebihi 214 juta meter persegi. Keseluruhan aset ini ditaksir memiliki nilai sekitar Rp400 triliun. Dengan aset raksasa itulah Muhammadiyah mampu terus melakukan kerja sosial dan kemasyarakatan, dan ini dilakukan secara signifikan tanpa bergantung kepada pemerintah. Mungkin inilah perwujudan adagium “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”.

Di sisi lain, pemberian izin tambang ini menjadi pintu masuk klientelisme yang berpotensi merusak ormas kemasyarakatan. Pemberian izin tambang ini menjadi suatu relasi patron-client karena izinnya dapat diberikan dan dicabut oleh pemerintah yang berkuasa. Dengan demikian, ormas penerima izin tambang justru menjadi sandera pemerintah berkuasa dan berpotensi dikooptasi oleh rezim.

Terdapat setidaknya dua dampak negatif yang jelas dari pemberian izin tambang ini. Pertama, secara politik ormas keagamaan penerima izin tambang akan menjadi mandul. Ormas sebagai organisasi yang mandiri memiliki daya untuk mengkritisi kebijakan pemerintah dan memberikan usul untuk perbaikan. Hal ini mencakup kritisisme terhadap beberapa usaha tambang yang dinilai merugikan masyarakat dan lingkungan. Tentu ormas keagamaan tidak akan mampu kritis jika petingginya juga menjadi pemain.

Kedua, secara keorganisasian ormas keagamaan akan menjadi semakin tidak mandiri dan bergantung pada pemerintah. Dalam jangka pendek, atau paling banyak jangka menengah, tambang dapat memberikan keuntungan besar yang sebelumnya tidak dinikmati ormas keagamaan. Durian runtuh bagi ormas keagamaan ini dapat dengan mudah membuatnya lalai dalam mengusahakan aset produktif yang selama ini ulet dikelola. Akan tetapi, keuntungan ini dapat dengan mudah berakhir apabila izinnya dicabut, permintaan bahan tambang terkait menurun, atau bahan tambangnya habis. Tentunya keberlangsungan hidup suatu ormas keagamaan tidak boleh bergantung kepada seonggok mineral semata.

Ormas Yang Kuat, Ormas Yang Mandiri

Tentu saja, argumentasi melawan klientelisme sebelumnya diberikan tidak dalam ilusi idealis bahwa ormas keagamaan adalah organisasi yang sepenuhnya nirlaba dan demokratis. Sebaliknya, ormas keagamaan adalah institusi hybrid yang kompleks. Ia memiliki muka sosial, politik, relijius, hingga kultural. Tidak sedikit orang di dalamnya yang memanfaatkan berbagai modalitas yang kuat ini untuk memeroleh rente—yang kemudian dapat diduga masuk ke dalam dana sosial ormas itu juga—sebelum terdapat skema pemberian izin tambang secara formal ini. 

Akan tetapi, tidak terdefinisikan secara jelasnya peran, dan utamanya sumber pendanaan, dari ormas keagamaan tidak boleh menjadi alasan untuk menjustifikasi klientelisme secara telanjang. Ormas keagamaan boleh berusaha dan bisa berpolitik, tetapi jangan justru mengalami korporatisasi dan politisasi secara ekstrim.

Ormas keagamaan harus kembali kepada khittah-nya (tujuan) untuk melakukan usaha sosial kemasyarakatan untuk mendukung pembangunan Indonesia. Ormas keagamaan juga harus semakin konsisten dalam pengelolaan sumber dayanya secara produktif. Obat dari ketidakjelasan ini adalah untuk menegaskan kembali posisi ormas keagamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sementara itu masyarakat, terutama para politisi, tidak boleh melihat ormas keagamaan dari lensa transaksional semata. Sebaliknya, kita harus lebih mengapresiasi berbagai hasil swadaya dan swakelola ormas keagamaan yang telah berkontribusi besar bagi bangsa. Hal ini dapat dimulai dengan tidak memandang sebelah mata upaya untuk megumpulkan dana secara mandiri, seperti dengan mengirimkan berbagai proposal kegiatan.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *