Perang Nagorno-Karabakh 2020: Analisis Model Kebijakan Luar Negeri William D. Coplin

0

Ilustrasi Proses Negosiasi Armenia dan Azerbaijan. Foto: AP

Pada musim gugur 2020, sebuah perang enam minggu di Kaukasus Selatan membentuk kembali dinamika konflik puluhan tahun antara Azerbaijan dan Armenia. Sengketa ini berpusat di wilayah Nagorno-Karabakh yang mayoritas penduduknya Armenia (atau Karabakh Pegunungan, juga dikenal dalam bahasa Armenia sebagai Artsakh) dan wilayah sekitarnya yang diakui secara internasional sebagai bagian dari Azerbaijan (Welt dan Bowen, 2021). Dalam perang ini, Azerbaijan berhasil memulihkan kedaulatannya atas sebagian besar wilayah yang hilang dari pasukan Armenia dan Nagorno-Karabakh selama pertempuran sebelumnya pada tahun 1990-an, termasuk sebagian Nagorno-Karabakh dan hampir semua wilayah sekitarnya. Armenia mempertahankan kontrolnya atas sisa wilayah Nagorno-Karabakh, termasuk pusat kota Stepanakert. Perjanjian gencatan senjata yang dimediasi oleh Rusia mendatangkan sekitar 2.000 tentara Rusia ke zona konflik untuk bertugas sebagai penjaga perdamaian dan menjamin keamanan koridor darat antara Armenia dan Nagorno-Karabakh. 

Dalam artikel ini, penulis akan menganalisis Perang Nagorno-Karabakh 2020 dengan menggunakan model kebijakan luar negeri seorang ahli teori hubungan internasional, yaitu William D. Coplin. Menurut Coplin, tindakan politik luar negeri bisa dipandang sebagai akibat dari tiga pertimbangan yang mempengaruhi para pengambil keputusan luar negeri. Pertama, kondisi politik dalam negeri, termasuk faktor budaya yang mendasari tingkah laku politik manusianya. Kedua, kondisi ekonomi dan militer, termasuk faktor geografis yang selalu menjadi pertimbangan utama dalam pertahanan atau keamanan. Dan ketiga, konteks internasional, yakni pengaruh dari negara-negara lain yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi (Coplin, 1992).

Pendahuluan

Pecahnya Uni Soviet meninggalkan berbagai permasalahan di bekas wilayahnya. Konflik etnis merupakan salah satu permasalahan yang masih terjadi pasca jatuhnya Uni Soviet.  Pemerintahan sentral Uni Soviet menjadi fondasi yang kokoh dalam meredam konflik antar etnis (Cornell, 1999).  Hal tersebut dilakukan melalui tekanan yang diberikan pemerintah pusat komunis Soviet pada masanya. Ketika fondasi yang berfungsi sebagai peredam pecahnya konflik runtuh, maka tidak ada lagi mekanisme yang mampu meredam pecahnya konflik etnis. Salah satu wilayah di Former Soviet Union (FSU) yang mengalami pergolakan terkait konflik etnis adalah wilayah Nagorno-Karabakh.

Nagorno-Karabakh (Artsakh dalam bahasa Armenia) adalah sebuah wilayah pegunungan yang terletak di Kaukasus Selatan yang diakui sebagai bagian dari Azerbaijan oleh masyarakat internasional. Sesuai kebijakan “divide and rule” pemimpin Uni Soviet, Joseph Stalin, Nagorno-Karabakh diberikan ke dalam batas wilayah Azerbaijan sebagai provinsi otonomnya. Meskipun demikian, mayoritas populasi yang dominan di Nagorno-Karabakh bukanlah etnis Azeri, melainkan etnis Armenia. Wilayah Nagorno-Karabakh hingga saat ini masih menjadi perebutan antara Armenia dan Azerbaijan.

Pada tahun 1991, ketika Uni Soviet mengalami keruntuhan sebagai akibat dari kebijakan glasnost dan perestroika yang dicetuskan oleh Mikhail Gorbachev, wilayah Nagorno-Karabakh menyatakan bahwa yurisdiksi Azerbaijan tidak lagi berlaku dan segera mendeklarasikan kemerdekaan. Konflik antara etnis Armenia dan Azeri sendiri mulai semakin intensif sejak akhir 1989 dan meningkat menjadi perang berskala penuh. Di tahun 1993, pasukan Armenia mulai melakukan serangan besar-besaran yang mengakibatkan setidaknya sekitar 450.000-500.000 orang Azeri mengungsi. Pasukan Armenia bahkan berhasil menduduki sekitar 20-25% dari total wilayah Azerbaijan. Pada bulan Mei 1994, gencatan senjata diumumkan kembali oleh Menteri Pertahanan Rusia Pavel Grachev. 

Sementara itu, pada tahun 1992, Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE) membentuk OSCE Minsk Group, yang bertujuan untuk menemukan solusi damai terkait konflik yang sedang berlangsung di Nagorno-Karabakh, OSCE Minsk Group sebagai mediator konflik rutin memfasilitasi pertemuan antara Presiden Armenia dan Presiden Azerbaijan agar kedua belah pihak dapat segera mencapai titik temu penyelesaian konflik (Jafarova, 2011). Dalam proses perdamaian yang dilaksanakan oleh OSCE Minsk Group, terdapat tiga negara yang memiliki peran utama dalam mediasi konflik Nagorno-Karabakh, yaitu Rusia, Amerika Serikat, dan Prancis. Rusia sebagai anggota co-chairman dalam OSCE Minsk Group sangat aktif terlibat dalam proses mediasi.

Meski upaya penyelesaian konflik telah dilakukan, namun baik Azerbaijan dan Armenia masih saling melakukan pelanggaran gencatan senjata. Dalam periode 2010-2016 saja, sudah terjadi berkali-kali baku tembak, pertempuran, dan skirmish antara kedua negara. Sebagai contoh, pada bulan Juni 2010, empat serdadu wajib militer Armenia dan satu prajurit Azerbaijan tewas setelah adanya baku tembak di dekat desa Chaylu, Nagorno-Karabakh (Fuller, 2010). Pada tahun 2014, kembali terjadi konflik dalam skala yang cukup besar di sekitar garis kontak (line of contact) Nagorno-Karabakh dan Azerbaijan, yang disertai penembakan jatuh helikopter tempur Mi-24 milik Armenia oleh militer Azerbaijan (Kucera, 2014). Jumlah total korban tewas diperkirakan mencapai 18 orang pada kedua belah pihak. 

Baik Armenia maupun Azerbaijan saling menyalahkan satu sama lain dalam tiap pelanggaran gencatan senjata yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Sejak perjanjian gencatan senjata disepakati oleh kedua belah pihak pada tahun 1994, hingga kini baik Armenia maupun Azerbaijan masih belum mampu mencapai kata damai, meskipun proses mediasi yang difasilitasi oleh OSCE Minsk Group telah dilakukan secara rutin. Keduanya pun masih saling bersikukuh mempertahankan dan memaksakan klaim teritorial masing-masing atas Nagorno-Karabakh, yang berujung pada Perang Nagorno-Karabakh 2020.

Pembahasan

Perang yang meletus antara Armenia dan Azerbaijan selama 2020 adalah konflik yang paling mematikan sejak lebih dari 25 tahun terakhir. Diaspora Armenia dimobilisasi untuk membantu negara kecil Kaukasus Selatan tersebut melawan Azerbaijan dengan sukarelawan dari Prancis, AS, dan Lebanon yang tiba dengan pesawat. Hal ini mengingatkan pada situasi tahun 1990-an, ketika konflik serupa meletus, tentara bayaran Rusia, Ossetia dan Slavia bergabung di pihak Armenia, sementara Azerbaijan didukung oleh Grey Wolves (gerakan ultranasionalis sayap kanan Turki), serta milisi-milisi Chechnya dan Afghanistan (Firman, 2020).

Sejak peningkatan eskalasi pada 27 September 2020, dilaporkan puluhan warga sipil tewas di kedua belah pihak. Armenia mengatakan lebih dari 400 tentara tewas, kebanyakan berusia sekitar 20 tahun. Azerbaijan tidak merilis pasukannya yang tewas. Jumlah korban sangat mungkin berubah selama konflik masih berlangsung. Sebenarnya gencatan senjata sudah dilakukan dengan perantara Rusia. Di lapangan berkata lain, kedua negara masih terlibat baku bentrok dan saling menuduh melancarkan serangan baru.

Armenia, Azerbaijan, dan Rusia telah menandatangani perjanjian untuk mengakhiri konflik militer pada 9 November 2020 (BBC, 2020). Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan menyebut kesepakatan itu “sangat menyakitkan bagi saya dan rakyat kami,”. Berdasarkan kesepakatan tersebut, Azerbaijan akan mempertahankan wilayah Nagorno-Karabakh yang telah direbut selama konflik. Armenia juga sepakat untuk menarik diri dari beberapa daerah lain yang berdekatan selama beberapa minggu kedepan. Selama pidato online yang disiarkan televisi, Presiden Putin mengatakan bahwa pasukan penjaga perdamaian Rusia akan dikerahkan untuk berpatroli di garis depan. Kementerian Pertahanan Rusia memastikan bahwa 1.960 personel akan terlibat dan laporan mengatakan pesawat telah meninggalkan pangkalan udara di Ulyanovsk membawa pasukan penjaga perdamaian dan pengangkut personel lapis baja ke Karabakh. Bagian dari peran mereka adalah penjagaan “koridor Lachin”, yang menghubungkan ibu kota Karabakh, Stepanakert, ke Armenia. Turki juga akan mengambil bagian dalam proses pemeliharaan perdamaian, menurut presiden Azerbaijan, yang bergabung dengan Presiden Putin selama pidato tersebut (BBC, 2020).

Keterlibatan Aktor Asing

Konflik tahun ini melibatkan aktor regional yang signifikan, seperti Turki dan Rusia. Di antara keduanya, Turki sangat agresif dalam menunjukkan keberpihakannya pada Azerbaijan. Kantor berita pemerintah Turki, Anadolu Agencymenyebutkan bahwa Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berjanji akan melanjutkan perjuangan di wilayah Nagorno-Karabakh sampai tanah itu terbebas dari pendudukan militer Armenia. Mereka bertekad akan mendukung perjuangan “di medan perang atau meja perundingan” jika diperlukan. Seruan NATO kepada Turki sebagai salah satu negara anggotanya agar menghentikan konflik sejauh ini tak dihiraukan (Firman, 2020).

Turki adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Azerbaijan pada 1991 pasca runtuhnya Uni Soviet. Faktor kedekatan etnis, budaya dan sejarah membuat mereka dijuluki “one nation with two states”. Kekayaan minyak dan gas di perut Azerbaijan telah lama dinikmati Turki sebagai mitra bisnis yang kuat. Faktor kedekatan ini ditambah lagi dengan kesamaan perseteruan dengan Armenia. Jika perseteruan antara Azerbaijan dengan Armenia sudah berlangsung selama berabad-abad silam dan eskalasinya meningkat terutama saat redup dan runtuhnya Uni Soviet, maka hubungan antara Turki dengan Armenia sangat buruk akibat peristiwa pembantaian dan deportasi jutaan orang Armenia pada akhir kekuasaan Kesultanan Usmaniyah sekitar seabad yang lalu. Hingga kini, Pemerintah Turki terus menyangkal peristiwa tersebut sebagai “genosida” (Firman, 2020). Buntutnya, kedua negara tidak memiliki hubungan diplomatik dan Turki menutup perbatasannya dengan Armenia pada 1993 demi menunjukkan solidaritas dengan Azerbaijan dalam Perang Nagorno-Karabakh Pertama.

Jika Turki menunjukkan minat besarnya dalam menghalau Armenia di Nagorno-Karabakh, maka Rusia sebagai sekutu kunci Armenia justru tidak melakukan manuver yang sama di halaman belakangnya itu. Terlebih lagi, Armenia adalah anggota CSTO bersama Rusia yang dibentuk pasca runtuhnya Soviet. Statusnya menyebabkan Armenia dan semua negara anggota CSTO tidak diperkenankan menjalin hubungan militer dengan negara lain di luar CSTO. Ada pangkalan militer Rusia di kota Gyumri. Sejumlah ahli menilai bahwa Rusia dan Turki menyeret masalah Nagorno-Karabakh dari panggung Eropa-Amerika seperti OSCE Minsk ke tingkat regional sebagai strategi untuk menempatkan mereka sebagai titik penentu penyelesaian konflik (Firman, 2020).

Keengganan Rusia, menurut Alexander Baunov, anggota senior sekaligus editor Carnegie Moscow Center, tampaknya muncul karena ingin memelihara hubungan baik dengan Azerbaijan yang dipandang sebagai negara pasca-Soviet yang ideal (Firman, 2020). Sejauh ini pemerintahan Azerbaijan tidak pernah memainkan retorika anti-Rusia dalam kebijakan luar negerinya. Meski bekerja sama dengan NATO, Azerbaijan pun tidak pernah menyuarakan ambisi resmi untuk bergabung dengan aliansi militer pimpinan AS tersebut.

Sejak awal konflik, beberapa media melaporkan adanya penggunaan drone milik Israel oleh Azerbaijan dalam perang melawan Armenia. Pada 30 September, wartawan Barak Ravid dari situs berita Walla mempublikasikan wawancara dengan Hikmet Hajiyev, ajudan Presiden Azerbaijan. Hajiyev mengatakan dalam wawancara bahwa tentara Azerbaijan telah menggunakan pesawat nirawak buatan Israel, termasuk amunisi yang berkeliaran atau “bunuh diri”, dalam pertempurannya dengan Armenia, dengan menyatakan, “Angkat topi kepada para insinyur yang merancangnya.” (Bassist, 2020). Dia juga mengatakan bahwa Azerbaijan “sangat menghargai kerja sama dengan Israel, terutama dalam bidang pertahanan.” (Bassist, 2020). Armenia menarik duta besarnya dari Israel setelah mengetahui ini.

Perdana Menteri Armenia, Nikol Pashinyan dengan tegas menguraikan bahwa jika sebelumnya hanya ada bukti tidak langsung bahwa Turki memobilisasi tentara bayaran Suriah untuk berjuang di Azerbaijan, maka sekarang bukti-bukti tersebut menjadi sangat nyata setelah terjadi penangkapan dua tentara bayaran oleh pihak separatis Nagorno-Karabakh (Erina, 2020). Beliau juga mengatakan bahwa alasan masyarakat internasional harus segera mengambil tindakan adalah karena semuanya mewakili modus operandi Turki; ‘mekanisme’ yang bertujuan untuk merestorasi masa kejayaan Kekaisaran Usmaniyah (Erina, 2020). 

Perang Nagorno-Karabakh 2020 Menurut Model Kebijakan Luar Negeri William D. Coplin

Dalam menganalisis Perang Nagorno-Karabakh 2020, penulis menggunakan model analisis seorang ahli teori HI William D. Coplin yang berdasarkan pada tiga pertimbangan, yakni kondisi politik dalam negeri, kondisi ekonomi dan militer di suatu negara, dan konteks internasional.

Pertama, kondisi politik dalam negeri, yang mana baik pemerintah Armenia dan Azerbaijan berusaha untuk mempertajam isu-isu masa lampau, historis, dan iredentisme untuk membenarkan sudut pandang masing-masing perihal siapa yang berhak memiliki Nagorno-Karabakh secara sah. 

Kedua, kondisi ekonomi dan militer, yang mana Azerbaijan menjalin ikatan sosial-budaya yang kuat dengan Turki dan memanfaatkan keanggotaannya dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) demi menekan Armenia agar menghentikan okupasi militer dan agresinya terhadap Nagorno-Karabakh melalui berbagai resolusi OKI. Sementara, Armenia menjalin aliansi yang kuat dengan Rusia atas dasar persamaan agama dan menerima kehadiran pasukan militer Rusia.

Ketiga, konteks internasional, yang mana Armenia dan Azerbaijan bersepakat untuk menerima mediasi yang disponsori oleh Rusia. Perundingan putaran pertama antara menteri luar negeri Azerbaijan dan Armenia diperantarai oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov di Moskow, Rusia pada 9-10 Oktober 2020, yang diakhiri dengan kesepakatan awal tentang gencatan senjata kemanusiaan. Namun, perjanjian ini—bersama dua gencatan senjata kemudian—terbukti tidak efisien dan dilanggar hanya satu jam setelah berlaku.

Daftar Pustaka:

Arnaya, I. P. A. P., Wiranata, I. M. A., Prameswari, A. A. A. I. Peran dari OSCE Minsk Group Dalam Mediasi Konflik di Wilayah Nagorno-Karabakh. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana.

Bassist, R. (2020, 9 November). “Armenian-Israelis protest arms sales to Azerbaijan.” Al-Monitor. https://www.al-monitor.com/originals/2020/11/israel-armenia-azerbaijan-nagorno-karabakh-jerusalem-jaffa.html

BBC (2020, 10 November). “Armenia, Azerbaijan and Russia sign Nagorno-Karabakh peace deal.” BBC. https://www.bbc.com/news/world-europe-54882564

Erina, R. (2020, 4 November). “Armenia Punya Bukti-bukti Campur Tangan Israel Dan Turki Dalam Konflik Nagorno Karabakh.” rmol.id. https://dunia.rmol.id/read/2020/11/04/459522/Armenia-Punya-Bukti-bukti-Campur-Tangan-Israel-Dan-Turki-Dalam-Konflik-Nagorno-Karabakh-

Fatoni, M. A. (2019). Kegagalan Upaya Mediasi Antara Armenia dan Azerbaijan Dalam Konflik Nagorno-Karabakh. Journal of International Relations

Firman, T. (2020, 21 Oktober). “Dukungan Turki dan Rusia di Konflik Nagorno-Karabakh.” tirto.id. https://tirto.id/dukungan-turki-dan-rusia-di-konflik-nagorno-karabakh-f563

trtworld. (2021, 14 Januari). “What’s behind the growing Azerbaijan-Pakistan-Turkey friendship?” trtworld. https://www.trtworld.com/magazine/what-s-behind-the-growing-azerbaijan-pakistan-turkey-friendship-43259

Welt, C. & Bowen, A. S. (2021, 7 Januari). Azerbaijan and Armenia: The Nagorno-Karabakh Conflict. Congressional Research Service. 

Raynor Argaditya adalah mahasiswa dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @raynorargaditya_

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *