Politik Turki dan Suriah dalam Secangkir Teh

0

Ilustrasi secangkir teh. Foto: Getty Images

Hakikatnya, teh tidak harus dikaitkan dengan masalah politik. Lalu, seperti apa hubungan politik dengan secangkir teh?

Sifat manusia secara psikologis melibatkan “kesadaran dan perilaku”, yakni mengetahui cara berpikir dapat memberikan kita kemampuan untuk bisa memprediksi perilaku, seperti halnya dengan mengamati dan menganalisis perilaku memberikan kita kemampuan untuk mengungkapkan cara berpikir seseorang secara umum.

Dalam psikologi sosial, masalah umum dalam kehidupan setiap orang dapat terlihat pada apa yang mereka makan dan minum, bahkan dalam cara mereka berpakaian dapat mencerminkan sifat dan pemikiran mereka dalam lingkup politik, sosial, pendidikan, dan lainnya.

Di “Republik Tatarstan” misalnya, di sana mereka terbiasa makan selama empat jam atau lebih, kebiasaan ini disebabkan karena adanya ketakutan akan otoritas yang pernah memerintah mereka, sehingga pertemuan politik mereka selalu diadakan di depan meja, dengan maksud jika mereka dikejutkan dengan adanya serangan keamanan secara tiba-tiba mereka dapat mengubah diskusi politik mereka menjadi perbincangan tentang jenis makanan dan rasanya.

Bahasa Turki sarat dengan kata yang mengungkapkan keberadaan teh dan statusnya dalam kehidupan dan budaya Turki. Misalnya, tempat umum untuk minum teh disebut (çayhane), atau kebun teh (çay bahçesi), atau rumah teh (çay evi). Kondisi ini menjadi sangat menarik mengingat Turki sejatinya adalah negara pecinta kopi.

Kendati demikian, warga Turki sangat menyukai teh hingga acapkali mendapat sebutan “bensin turki”. Bahkan, jumlah teh yang diminum oleh warga Turki bisa melebihi air mineral dalam satu hari. Teh menjadi sebuah bentuk kompensasi dalam berbagai situasi sosial, seperti menjadi bagian penting di pagi hari yang indah, menjadi penghilang lelah selepas bekerja, dan bahkan menjadi teman dalam menghabiskan sisa waktu hingga menghantarkan warga Turki dalam tidur yang nyenyak.

Metode persiapan teh Turki pun dapat mengungkapkan dimensi demokrasi dalam kesadaran publik mereka. Seperti ketika orang Turki meletakkan dua kendi tembaga, yang pertama untuk air mendidih dan yang kedua untuk daun teh yang diseduh perlahan. Siapapun yang ingin meminumnya dapat memilih antara teh berat atau teh ringan, mereka pun berhak memilih jumlah gula sedikit atau banyak.

Cangkir teh juga disajikan dengan piring kaca untuk mengekspresikan nilai dan rasa hormat dari teh itu sendiri. Selain itu, sendok yang mengaduk gula di dalam gelas kaca menciptakan dentingan musik yang menghibur peminum dan dapat menikmatinya hingga larut dalam berbagai perbincangan seperti sosial, agama, politik, dan ekonomi.

Sedangkan teh di Suriah seolah mengekspresikan masyarakat yang ditekan dan diperintah, karena meskipun teh adalah minuman pedesaan dan orang-orang desa minum teh lebih banyak dari orang-orang kota, tak ada perbedaan dalam cara menyajikan teh di antara mereka. Seperti daun teh, gula, dan air ditempatkan dalam satu kendi sekaligus hingga mendidih hingga tercampurlah dari berbagai komponen menjadi satu minuman homogen dengan satu warna dan satu rasa, seolah-olah mengekspresikan politik yang tak kental akan keragaman dan perbedaan.

Kemudian teh dituang ke dalam cangkir tanpa piring, karena piring tidak diciptakan untuk orang-orang yang tertindas, dan peminum dipaksa untuk meminumnya tanpa bisa memilih tingkat kemanisan dari teh itu sendiri. Sama halnya seperti kehidupan orang-orang Suriah yang tidak memiliki hak untuk memilih.

Artikel ini adalah terjemahan dari artikel berbahasa Turki dan diterjemahkan oleh Nada Mudrikah, mahasiswa S-2 di Universitas Karabük, Turki, dengan perubahan. Nada dapat ditemui di Instagramnya @nadamudrikah

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *