Psikopolitik, Twitter dan Iklim Anti-intelektualisme Indonesia

0

Ilustrasi pengguna Twitter. Foto: Business Elites Africa

“You tweet therefore you are; like and you too shall be liked; confess every last boring detail and you too shall be saved”

Twitter hari ini berdiri sebagai media sosial tempat para akademisi maupun non-akademisi melakukan hegemoni intelektualitas. Fitur aksesibilitas dan transparansi informasi Twitter sekilas memberikan Indonesia harapan untuk terus maju mewujudkan misi pencerdasan seluruh lapisan masyarakat. Sebagai pelengkap, kini Twitter sudah dilengkapi fitur insight cuitan tweet yang dirancang Elon Musk untuk makin mengaksentuasikan distribusi konten, berita dan informasi-informasi lainnya secara merata. Sekilas kita sangat optimis dalam situasi ruang digital ini, masalah ketertimpangan kultur, ekslusivitas pendidikan dan masalah sosiokultural lainnya seakan-akan satu langkah menuju kata pencerahan atau renaissance. Iklim akademik Indonesia pun diharapkan maju dengan modalitas ruang digital.

Akan tetapi, membaca realitas digital dalam level dasar tidaklah cukup. Membaca ruang digital dalam operasi metafisika memberikan kita suatu realisasi bahwa infosphere Twitter (dengan algoritma dan big data-nya) telah beroperasi dalam cara yang bertolak belakang dari renaissance. Kita telah kembali kepada zaman skolastis katolik di mana smartphone adalah rosario bagi kita untuk bertobat di kala kita mencoba membuka diskusi dan Twitter adalah torture chamber baru bagi kita—dalam kehidupan akademis—untuk melegitimasi neoliberalisme dan iklim anti-intelektualisme.

Psikopolitik dan Insight Twitter

Semenjak Elon Musk memberikan fitur insight dan for you untuk Twitter dalam bentuk angka dan grafik hasil interaksi sesama pengguna, kira-kira begini ilustrasi hegemoni intelektualitas para akademisi maupun non-akademisi Twitter. Anggaplah ada suatu masalah x yang muncul berlintasan di beranda for you Twitter.  Netizen akan mengkritisi cuitan tersebut dengan opini dan argumennya masing-masing. Argumen ini pun, akan menghasilkan efek berantai di mana cuitan dengan insight banyak akan bermunculan di sembarang beranda pengguna Twitter. Biasanya dalam satu topik masalah terdapat polarisasi kubu yang mempertahankan argumen yang berbeda, tak jarang beberapa kubu progresif seperti Social Justice Warrior (SJW) mempertahankan stance partikularnya untuk hegemoni suatu kondisi kesadaran intelektual—open minded, dalam bahasa internet.

Pada poin ini kita akan bertanya-tanya, lantas di manakah letak regresi intelektualitasnya? Bukankah ketika kebebasan sudah ada di genggaman, maka kita sepenuhnya memiliki agensi untuk perwujudan hegemoni intektual dan legitimasi sosiokultur?

Sebelum sampai pada konklusi regresi, mari pahami bagaimana psikopolitik bekerja. 

Byung-Chul Han (1956) dalam The Burnout Society (2015), mengadopsi konsep panopticon Michael Foucault (1926-1984) untuk merefleksikan perilaku masyarakat saat dengan operasi kontrol dan pengawasan melalui media digital. Han memperbarui konsep panopticon dan menerapkannya pada masyarakat digital, di mana informasi ditransmisikan dalam volume besar yang mengakibatkan paparan spontan penggunanya sehingga menimbulkan berbagai bentuk kegagapan dan kebingungan masyarakat. Komunikasi digital telah membentuk masyarakat transparan dengan panoptikon digital.

Our cells are digital: if the original panopticon worked at the level of vision and what is called biopolitics, our new kind of panopticon operates through the digital, and on the psyche (psychopolitics); a system that quite well describes the scheme of digital psychopolitics.

Dengan media digital, psikopower telah menggantikan biopower. Tidak seperti disiplin biopower, psikopower dapat mengintervensi dalam proses psikologis, menghasilkan suatu proses psikologis masyarakat dalam ruang digital. Eksistensi masyarakat (sebagai pelaku komunikasi) tidak bergantung pada pandangan optik represif pusat seperti pada panopticon dalam konsepsi Bentham (1748- 832),  tetapi pada pengawasan digital yang secara efisien mencatat habitus digital dan tidak disadari penggunanya. 

Inilah apa yang tidak dibayangkan oleh Bentham maupun Foucault: anatomi biopower dan tubuh telah bermutasi pada tatanan digital dan psikologis, dalam sistem saraf yang tertanam dalam semua sel kehidupan. Implikasi politik potensial karena meningkatkan pengetahuan (dan kapasitas untuk manipulasi), sumber semua perilaku manusia: otak. Dengan demikian, teknologi digital berlaku seperti pisau bedah, teknis kekuasaan beroperasi pada organisme kolektif: membagi, memeriksa, mengukur, file dan control. Ketika kompleksitas kehidupan dikurangi menjadi angka, data, bit, kalori, piksel, karakter, seluruh kehidupan manusia pun, sebagai konsekuensi menjadi informasi

Masyarakat dengan digital panopticon, terlibat langsung dalam komunikasi yang demikian “hidup” dan melepaskan diri dari kehendak bebas (free will) mereka sendiri. Dengan cara ini, mereka secara aktif berkolaborasi dalam panoptikon digital.

Pada digital panopticon, dinamika komunikasi digital yang terjadi di Twitter tidak meniscayakan netizen untuk menjadi subjek komunikasi, tetapi objek informasi. Seluruh manusia hidup yang eksis di media digital hanyalah angka massif yang dapat dimanipulasi dan dikontol pengawas. Tetapi siapakah tepatnya pengawas ini? Bukan, pengawas ini bukanlah polisi siber seperti yang diinisiasi Polri atas UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Panoptikon ini tidak lain dan tidak bukan adalah neoliberalisme yang mengondisikan kerja algoritma media digital sebagai bentuk ekstensi kapitalisme-lanjut (late capitalism). 

Kesadaran neoliberalisme telah bermutasi memasuki ruang digital melalui digital panopticon. Selain mengondisikan masyarakat secara fisis, neoliberalisme juga mengondisikan masyarakat untuk bertindak neolib melalui psikopolitiks. Fitur Twitter yang demikian aksesibel dan transparan memungkinkan masyarakat melakukan komunikasi digital yang serasa begitu “nyata.” Seluruh residu aktivitas digital ini kemudian akan dicatat untuk kemudian melakukan inovasi lebih gila (lebih inovatif dan kreatif—dalam bahasa IT) dalam mendesain fitur baru di media digital supaya masyarakat makin merasa “hidup” di dalamnya. Dengan demikian, masyarakat pun memiliki bonding psikis dengan ruang digital. Hal ini yang kemudian mengeksplanasi bagaimana menulis cuitan (tweet) yang tidak penting sekalipun adalah upaya subsistensi diri untuk eksis. Meng-uninstall Twitter berarti skeptis dan kurang terlibat dalam masalah-masalah dunia hari ini, memberikan reaksi terhadap informasi atau berita di Twitter adalah kegiatan minimum kontribusi “akademis.”

Secara tak sadar, dengan operasi psikopolitik, masyarakat-masyarakat Twitter direduksi menjadi informasi semata sebagai objek pelanggeng neoliberalisme dan kapitalisme-lanjut tanpa suatu agensi: Semakin frekuen dinamika komunikasi digital, semakin inovatif dan semakin ajeg Twitter menjadi realitas utama, semakin manusia kehilangan agensi dirinya sendiri.

Lantas, apakah Elon Musk, Programmer IT dan bahkan pemerintah menyadari proses reduksi ini?. Tepatnya, apakah mereka memiliki agensi? Saya akan menjawab tidak, sebab, secara tidak langsung, sebagai pengguna mereka terlibat dalam psikopolitik dalam panoptikon digital yang ajeg. Tiada sadar tidak sadar di sini, semuanya melakukan hal secara sadar, tetapi mereka tidak sadar atas pelanggengan neoliberal yang begitu menyatu dengan sel digital-biologis kita.

Kembali pada diskusi intelektual. Dengan insight yang akan menimbulkan hegemoni intelektualitas dan keterbukaan pikiran oleh netizen-netizen progresif, Twitter diharapkan berfungsi dalam hegemoni intelektualitas mayarakat Indonesia. Sekilas, hal ini tampak sangat sederhana dan membawakan pada keoptimisan ruang bebas tanpa kontrol dan pengawasan. Tetapi, psikopolitik yang memosisikan masyarakat sebagai objek informasi telah mengondisikan juga kesadaran neoliberalisme pada pikiran mereka secara tak sadar. Masyarakat merasa memiliki agensi dalam kegiatan pelontaran argumen dan opini, tetapi sesungguhnya agensi mereka adalah sepenuhnya agensi neoliberal. Bahwa masalah hanyalah untuk diberikan reaksi dan dipreventasi alih-alih diselesaikan dan “ditelusuri mengapa”. Bahwa pengobatan lebih baik daripada pencegahan, bahwa variabel keberpihakan lebih penting daripada variabel kausatif.

Tak jarang di Twitter, argumen-argumen dilontarkan dengan pendekatan individualistik. Pendekatan individualistis massif cerminan kesadaran neoliberal ini lah yang menjadi katalisator langgengnya masalah yang tak sudah-sudah. Misalnya, dalam kasus kekerasan seksual Amanda Zahra yang sempat viral awal bulan April 2023, alih-alih ditelusuri mengapa konservativisme masih eksis, masyarakat malah sibuk menjustifikasi keberpihakan yang disebabkan polarisasi yang mereka sebabkan sendiri (dan terus bergerak dalam siklus biner tersebut).

Bukannya menelusuri mengapa, masyarakat cenderung menempatkan individu tersebut dalam suatu peta sosiokultural yang ajeg, menjustifikasi bahwa yang bersangkutan memang “demikian adanya”. Bahwa jika seseorang konservatif, maka yang terbaik yang kita lakukan adalah membodoh-bodohinya dan ya sudah educate yourself saja. Bahwa mungkin saja kesadaran dapat bertransformasi di masa depan tanpa suatu komitmen material. Bahwa narasi heteroseksual tidak memiliki justifikasi apa-apa lagi untuk tetap eksis mendominasi kecuali bahwa mereka harus menghilangkan modalitas material. Bahwa intelektualitas adalah ajang menang-kalah, mereka yang tak memiliki suara dan keberpihakan yang sama, harus segera diekslusikan menjadi netizen stereotipe seperti Nuruls.

Dengan ini, harus disadari juga bahwa pada akhirnya penyebaran kesadaran intelektual dan terbentuknya polarisasi kubu untuk argument biner sungguh tidak membuahkan apa-apa (kecuali profit untuk netizen intelek mendapat insight).

Sikap individualistis ini lah yang kemudian melahirkan sikap anti-intelektualisme dalam skala besar seperti kemacetan riset, munculnya fenomena kematian kepakaran sampai terbentuknya suaka konformis dalam medan akademik. Tak jarang saya temukan masyarakat-masyarakat ini alih-alih memecahkan masalah, malah memberikan reaksi atas masalah. Dan semuanya tidak mungkin tidak dilakukan karena insight dan retweet (selepas, dengan pertimbangan kesadaran individualistis, mereka merasa sudah melakukan hal yang benar). Masyarakat ini secara tidak sadar terkurung dalam paradigma akademik yang begitu konformis tanpa berani menyentuh kondisi realitas sosial yang nyata. Meskipun mereka merasa tidak dikontrol, tetapi sungguh mereka sudah berkontribusi dalam legitimasi paradigma neoliberalisme dan iklim akademik yang begitu macet.

Anti-intelektualisme dan Anti-realisme 

Medan akademik ruang digital yang begitu bebas telah menjadi katalisator legitimasi neoliberalisme. Dengan psikopolitik, legitimasi ini memberikan sikap anti-intelektualisme pada iklim akademik Indonesia. Meminjam terma Gilles Deleuze, keseluruhan sistem psikopolitik ini bersifat machinic. Selain karena suatu kondisi machinic psikopolitik, anti-intelektualisme digerogoti masyarakat humaniora yang begitu anti-realis. Fafifu politik, tapi goblok metafisika, begitu ucap teman saya. 

Di tengah-tengah kondisi macet iklim akademik ini, saya menawarkan refleksi lebih lanjut terkait komitmen metafisis ilmu (khususnya humaniora) yang anti anti-realis.

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan anti-realisme? Anti-realisme mengakar dari komitmen metafisis dimensi sosiologis dunia yang konvensionalis. Konvensionalisme menganggap banyak teori-teori ilmu yang digunakan ilmuwan sosial maupun ilmiah tidak akan sampai pada kebenaran (hanya akurasi mendekati) dan bahwa metodologi untuk merujuk masalah akan selalu berubah-ubah. Komitmen metafisis ini mengandaikan suatu pensifatan realitas sosial yang tidak tetap dan akan selalu kontingen. Tidak benar bahwa realitas sosial dapat menuju suatu kondisi yang konstan, masyarakat akan terus bergerak dan tiada yang lebih baik yang dapat kita lakukan kecuali menanggapi, menyikapi dan bereaksi. 

Masyarakat yang berargumen dengan landasan sentimen biasanya meniscayakan komitmen metafisis konvensionalis ini. Dengan demikian, mereka sungguh anti-realis terhadap seluruh entitas-entitas di dunia: kelas hanyalah suatu entitas yang terikat pada teori, masalah terjadi karena pengondisian budaya yang terikat teori yang berubah-ubah dan bahwa tidak ada kausalitas ilmiah yang dapat digunakan untuk melacak masalah yang tidak selesai-selesai. Profil konvensionalisme ini juga jalan linear dengan pragmatisme. Anti-realisme tidak percaya pada keberadaan entitas-entitas sosial seperti kelas, komoditas, gender dan lain-lainnya, tetapi mereka percaya mereka dapat berguna jika terikat pada suatu teori dan terbukti berguna untuk menyikapi dan mengesplanasi suatu masalah. Mungkin saja ilmu sosiologi dan humaniora hari ini sudah atau bahkan sudah selalu berkomitmen secara konvensional. Tetapi jika hal ini berarti kita memberikan progress (kecil-kecilan) untuk masalah-masalah sosial, mengapa tidak beralih pada komitmen yang lebih realis? Mungkin anti-intelektualisme merupakan konklusi yang terlalu terburu-buru, tetapi beginilah kira-kira gambaran iklim akademik Indonesia kontemporer.

Mungkin yang teredukasi biarlah makin teredukasi untuk subsistensi diri, mungkin, meminjam Nabi yang dipuja-puja liberal progresif, hell really is, other people.

Raisa Rahima merupakan Mahasiswi Fakultas Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @prideuxraii_

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *