Repatriasi Benda Bersejarah dari Belanda, Seberapa Siapkah Kita?

0

Ilustrasi koleksi hasil repatriasi di Museum Nasional. Foto: ANTARA

Kita mendapatkan kabar yang cukup menggembirakan di awal tahun 2021. Sejumlah benda-benda bersejarah Indonesia yang selama ini tersimpan di Belanda, baik yang dulunya diberikan sebagai upeti maupun yang dulunya dirampas saat penaklukan kerajaan-kerajaan, akan segera dikembalikan dalam waktu dekat.

Negara-negara Eropa yang dulunya memiliki koloni di Asia atau Afrika memang sedang mencoba untuk menyelesaikan dosa-dosanya di masa lampau kepada bekas negara koloninya. Emmanuel Macron dalam pidatonya di Burkina Faso pada tahun 2017 mendorong adanya diskusi dari negara kolonialis dengan bekas negara koloninya untuk mengembalikan artefak sejarah yang dulunya didapat dengan kekerasan.

Namun terdapat pertanyaan serius yang muncul ketika nantinya semua artefak Indonesia ini tiba di tanah air; seberapa siapkah kita untuk merawat harta-harta bersejarah tersebut?

Kondisi Museum Kita

Izinkan saya menceritakan tentang kondisi museum yang ada di Indonesia, terlebih Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara yang berada di kota tempat saya tinggal. Terakhir kali saya melakukan kunjungan ke sana adalah pada bulan Maret 2019. Kunjungan saya ke sana didasari oleh keinginan untuk membandingkan kondisi museum yang ada di kota Medan dengan Museum Peradaban Asia yang saya kunjungi beberapa hari sebelumnya di negara tetangga. Tentu tidak apple to apple jika membandingkan keduanya secara langsung, tetapi yang menjadi poin utama saya adalah saya ingin melihat seserius apa pemerintah kita dalam mengurus dan merawat benda-benda bersejarah yang ada di Indonesia—terlebih oleh museum yang ada di daerah-daerah. 

Saat memasuki beberapa ruang pamer, terlihat bahwa museum tersebut sudah mendapatkan perawatan yang amat baik dan artefak-artefak yang dipamerkan juga sudah mendapat penataan yang apik. Namun saat memasuki beberapa ruang pameran lain, saya juga melihat contoh-contoh tindakan tidak pantas dari para pengunjung berupa coret-coretan pada tembok dan bahkan terdapat beberapa benda yang dipamerkan tanpa pembatas sehingga pengunjung dapat dengan mudah menyentuh artefak yang seharusnya tidak boleh disentuh. Hal ini menjadi amat disayangkan sehingga tidak salah juga jika saya memiliki ketakutan kalau nantinya benda-benda bersejarah yang dikembalikan kepada kita akan mendapatkan perilaku tidak pantas yang serupa di museum-museum Indonesia.

Lalu, pertanyaan lain muncul di benak saya: apakah nantinya artefak sejarah yang dikembalikan akan dipusatkan untuk disimpan di Museum Nasional atau apakah nantinya setiap artefak akan disimpan di museum-museum berdasarkan daerah asal mereka?

Apakah Museum Kita Sudah Cukup Aman?

Menyambung dari pembahasan di atas, keamanan museum-museum kita juga menjadi pertanyaan besar ketika nantinya artefak-artefak bersejarah tersebut sudah tiba. Dalam cuitan akun Twitter-nya, Bonnie Triyana sebagai salah satu kurator Rijksmuseum di Belanda mengatakan bahwa salah satu artefak yang akan dikembalikan ke Indonesia adalah berlian 70 karat milik Panembahan Adam dari Banjarmasin. Berlian ini dirampas ketika Belanda menyerang istana di Banjarmasin pada tahun 1875 dan selama ini tersimpan dan dijaga dengan baik di Rijksmuseum Belanda. Sejujurnya saya agak bergidik membayangkan apa kita sanggup menjaga barang-barang seperti itu.

Indonesia memiliki pengalaman yang cukup buruk mengenai pencurian barang-barang bersejarah. Tercatat telah terjadi beberapa kali pencurian di Museum Nasional—yang dinilai sebagai museum dengan keamanan terbaik jika dibandingkan dengan museum lainnya yang ada di Indonesia—yang belum terungkap sampai sekarang dan pada tahun 2010 terjadi pencurian artefak sejarah terbesar sepanjang sejarah Indonesia yang terjadi di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Hal ini lagi-lagi menunjukan bahwa kita nampaknya belum serius dalam mengelola artefak sejarah dengan baik sehingga memunculkan tanda tanya besar mengenai kesiapan dan kemampuan pemerintah maupun museum-museum di Indonesia dalam menjaga harta bersejarah kita. Karena akan menjadi sebuah kesia-siaan dan aib memalukan jika nantinya artefak sejarah yang selama ini dijaga dengan amat baik oleh negara asing—terlebih mantan negara penjajah—malah hilang atau rusak ketika berada di tangan kita sendiri.      

Penutup

Untuk menyambut kembalinya artefak-artefak sejarah yang selama ini disimpan di luar negeri di tanah air, pemerintah berencana membentuk komite repatriasi artefak beranggotakan ahli sejarah, antropolog, dan arkeolog yang berfungsi untuk memberikan saran dan masukan, mengorganisasi kegiatan penelitian, serta mengumpulkan dan menyebarkan informasi yang berkaitan dengan artefak yang akan dikembalikan ke Indonesia. Pemerintah juga mendorong adanya program pendidikan lanjutan untuk mempelajari artefak-artefak sejarah yang ada di Indonesia.

Bagi saya, yang paling penting adalah bagaimana menimbulkan rasa memiliki, menghargai, dan mengapresiasi dari dalam diri kita terhadap artefak-artefak sejarah yang ada. Pada akhirnya permasalahan mengenai artefak sejarah ini bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah saja namun juga merupakan tanggung jawab kita bersama. Hal ini karena sejarah dalam bentuk apapun merupakan ingatan kolektif kita bersama dan menjadi dasar utama pembelajaran untuk bertindak di masa depan.

Mohd Derial adalah alumni Manajemen Universitas Sumatera Utara. Dapat dihubungi melalui Twitter dan Instagram di @mderial

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *