Reshuffle Kabinet Jilid 1, Perlukah?

0

Kabinet Indonesia Maju. Sumber Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr

Dalam masa krisis seperti saat ini, kapabilitas sebuah pemerintahan benar-benar diuji. Namun sayangnya, sebagian menteri dianggap masih belum efektif dalam menangani situasi yang genting ini. Sorotan pun kini menyelimuti menteri-menteri yang dinilai tidak bekerja maksimal selama masa pandemi. Presiden Joko Widodo sendiri sampai berpendapat bahwa menteri saat ini tidak memiliki sense of crisis dalam mengurangi efek pandemi yang terjadi di Indonesia. 

Pandangan Joko Widodo ini diamini oleh mayoritas warga Indonesia, tampaknya. Berdasarkan survei Indonesia Political Opinion (IPO) yang dilakukan kepada 1.350 responden yang tersebar di 135 desa dari 30 provinsi di Indonesia, sepanjang 8-25 Juni 2020, sebanyak 72,9 persen responden menyepakati perlu diadakannya reshuffle atau perombakan kabinet. Sejumlah nama harus siap diganti melihat secara performa yang kurang meyakinkan di awal periode kepemimpinan Jokowi-Ma’ruf Amin. 

Siapakah yang layak diganti? Beberapa nama saat rapat terbatas di Istana Negara menjadi sorotan terutama melihat kinerja Menteri Kesehatan Terawan, Menteri Sosial Juliari Batubara, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo, Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, dan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah. Oleh karena itu, reshuffle kian berhembus kencang.

Tidak mudah memang mengemban tanggung jawab di posisi strategis di masa krisis. Namun, hal ini harus diketahui para calon menteri pengganti karena itu merupakan tugas mereka sebagai wakil negara pilihan Presiden dan mempunyai level otoritas cukup tinggi di bawah naungan Presiden.

Siapa Menterinya?

Seperti dijelaskan sebelumnya, nama-nama yang diisukan akan diganti salah satunya adalah Menteri Kesehatan, dr. Terawan. Ia dianggap terlalu menyepelekan penanganan pandemi Covid-19, terlambat dalam memetakan dan menanggulangi penyebaran pandemi Covid-19, serta tidak melakukan penindakan dan kalkulasi yang tepat soal adanya pandemi Covid-19 yang masih menyebar di Indonesia. Kekeliruan lainnya timbul seperti protokol kesehatan yang kurang dipatuhi masyarakat, APD yang terbatas bagi tenaga medis, penampungan rumah sakit yang tidak sesuai dengan jumlah pasien yang terdampak pandemi Covid-19, ketersediaan masker dan obat yang dinilai tidak jelas, dan fasilitas tracing kit untuk mendeteksi pandemi Covid-19 bagi 270 juta masyarakat Indonesia yang belum sesuai harapan. Apalagi kasus Covid-19 di Indonesia kian hari kian bertambah.

Nama lain yang kerap terdengar adalah Syahrul Yasin Limpo, yang terkait dengan isu kalung eucalyptus atau ramuan kayu putih dengan bahan-bahan lainnya. Belum ada uji klinis soal penggunaan kalung tersebut dan izin dari BPOM hanya sebatas “jamu”, bukan sebagai antivirus.

Sorotan juga menimpa Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah. Sebagian masyarakat mempertanyakan kebijakan menteri tersebut, dengan lebih dari 3 juta pekerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ditambah, social safety net berupa kartu pra-kerja menuai banyak kontroversi baik dari aplikator yang melibatkan aplikasi Ruang Guru sebagai tender dan penyedia layanan. Ketidaksesuaian kebutuhan pelatihan, keterlambatan pemberian sertifikat, pencairan insentif, serta masyarakat harus membayar sejumlah uang jika mengikuti kelas juga menjadi kendala terbesar dari mandeknya program Kartu Pra-Kerja.

Menteri Edhy Prabowo juga dianggap telah melakukan tindakan yang bertentangan dengan kebijakan yang pernah dilakukan Menteri Kelautan dan Perikanan era sebelumnya, Susi Pudjiastuti, yakni soal larangan ekspor lobster. Larangan mengekspor lobster semula tercantum dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan/atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Wilayah Negara Republik Indonesia. Namun ternyata, aturan ini hendak dicabut oleh Edhy dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 pada bulan Mei 2020. Lebih jauh lagi, afiliasi partai terkait ekspor lobster melibatkan pihak-pihak dari Partai Gerindra. 

Kasus terbaru juga tengah menyoroti kinerja Menkumham, Yasonna Laoly, dengan kontroversi pembebasan sejumlah napi yang berjumlah 30 ribu orang. Alih-alih aman, situasi di masyarakat justru dianggap semakin memburuk.

Melihat survei tersebut, perlu diperhatikan adanya kesinambungan profesionalitas menteri tanpa melihat jabatan secara politis. Apalagi banyak orang beropini bahwa menteri ini hanya “titipan” partai-partai tertentu. Pembuktian adanya kinerja yang berintegritas, transparan, dan profesional merupakan syarat mutlak dalam mengkaji kapasitas mereka sebagai menteri.

Lebih jauh lagi, berbagai terobosan dan tantangan dalam mengatur kementerian juga diperlukan namun tetap kepada koridor hukum dan arahan Presiden sebagai penanggung jawab menteri. Peran menteri haruslah mengacu kepada kinerja, bukan menjadi utusan partai. Kesulitan memutus mata rantai kebijakan oligarki politik inilah yang dinilai tidak tepat. Kekeliruan itu haruslah diubah oleh Presiden dalam memilih para menteri di jajaran kabinet.

Sejumlah persoalan menteri jangan sampai merusak tatanan berdemokrasi serta memunculkan skeptisisme dari rakyat terhadap menteri. Dengan adanya menteri sebagai pembantu Presiden, diharapkan dapat mengurangi beban kerja Presiden. Kebijakan yang diambil juga harus berada dibawah komando Presiden, jangan sampai kesewenangan menteri dalam mengambil kebijakan berujung blunder politik yang mengakibatkan kegaduhan di istana.

Tentu, ini akan menyebabkan istana harus mengklarifikasi berbagai kebijakan yang dinilai tidak sesuai arahan Presiden. Oleh karena itu, sentralisasi kebijakan diatur oleh Presiden dan tidak boleh keluar dari pedoman yang Presiden keluarkan kepada setiap menteri. Dinamika politik yang berkembang menyebabkan menteri harus menyesuaikan adaptasi lapangan secara praktis. Namun, tataran teori dalam naskah kebijakan dan kode etik menteri juga harus dikedepankan .

Urgensi Pergantian Menteri

Seberapa penting urgensi pergantian menteri? Hal ini perlu dikedepankan, mengingat tugas-tugas politik yang dijalankan belum maksimal. Semisal, Alokasi bansos pada pagu TA 2020 Kemensos sebesar Rp100,21 triliun, sedangkan yang baru terealisasi sekitar Rp 64,36 triliun atau 64,23 %.

Kemudian, Keterlambatan insentif sebesar Rp 1,9 triliun bagi fasilitas pelayanan kesehatan dan institusi kesehatan pusat juga menjadi polemik tersendiri bagi kebijakan Menteri Kesehatan, Terawan. Tentu, hal ini harus diperhatikan Presiden Joko Widodo.

Mengacu kepada kebijakan secara politis, Presiden Joko Widodo harus berpihak kepada rakyat dalam hal penentuan menteri mana yang harus diganti karena tidak sesuai harapan rakyat berbasis kinerja. Sebab, jika Presiden Jokowi tidak hati-hati menjalankan pemerintahan dengan kebijakan yang pro-rakyat, hal ini bisa menjadi permasalahan di tubuh eksekutif. Kematangan dalam mengeksekusi pergantian menteri juga harus bertepatan dengan isu publik yang tengah berkembang. Tentu, kita berharap reshuffle atau perombakan kabinet menyoal efektivitas dan kompetensi kerja seorang menteri bukan dalam rangka persoalan politis semata.

Ricky Donny Lamhot Marpaung adalah alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan pemerhati Hukum Tata Negara.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *