Ilustrasi Presiden Vladimir Putin. Foto: Alexei Druzhinin/Sputnik/AP

Dalam beberapa minggu terakhir, Rusia selalu muncul di dalam pemberitaan internasional. Namun, pemberitaan yang ada bukanlah pemberitaan positif: Rusia sedang terlibat dalam skandal besar-besaran berskala internasional.

Dari dalam negeri, penahanan Alexei Navalny dan penempatan pasukan di perbatasan Ukraina mengundang kecaman besar dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. 

Negeri Beruang Merah juga sedang terlibat upaya saling usir diplomat dengan AS sejumlah negara Eropa. Tidak hanya itu, pemerintahan Joe Biden turut memberikan sanksi bagi Rusia.

Apa yang terjadi dengan Rusia?

Penahanan dan Protes Alexei Navalny dari Dalam Penjara

Alexei Navalny, kritikus terbesar Putin, sudah mendekam di penjara setelah dijatuhi vonis 2,5 tahun pasca berobat di luar negeri akibat diracun pada tahun lalu. Meskipun demikian, pria berusia 44 tahun tersebut tidak berhenti mengkritik Putin di dalam penjara.

Ia memulai mogok makan sejak tiga minggu yang lalu untuk memprotes penahanannya. Akibatnya, kondisinya menjadi sangat lemah. Hal ini bertambah buruk dengan tuduhan perlakuan buruk terhadapnya di penjara Rusia.

Dikutip dari The Guardian, dokter yang merawatnya menyebut bahwa kondisi Navalny “sangat parah”, terancam oleh serangan jantung dan gagal ginjal, bahkan “bisa mati kapan saja.” Hal ini menyebabkan kemurkaan negara-negara Barat yang kemudian memperingatkan Rusia secara keras. AS bahkan mengancam bahwa Rusia akan “menerima konsekuensi” jika Navalny meninggal di dalam penjara.

Setelah tekanan semakin memuncak, Rusia akhirnya mengalah. Navalny kemudian ditransfer ke rumah sakit penjara di Vladimir, 180 km dari Moskow pada Senin (19/4) waktu setempat.

Puluhan Ribu Pasukan di Perbatasan Ukraina

Tidak hanya penahanan Navalny, mobilisasi militer Rusia di perbatasan Ukraina juga memantik reaksi keras dari dunia internasional.

Dilansir dari ABC News, sejak akhir Maret 2021, Rusia telah memobilisasi 60.000 hingga 100.000 pasukannya, termasuk kendaraan tempur dan artileri berat, ke Krimea dan perbatasan barat dengan Ukraina.

Rusia berdalih bahwa mobilisasi tersebut merupakan “cek kesiapan” dalam melawan peningkatan aktivitas NATO dan AS.

Uni Eropa bereaksi keras terhadap mobilisasi tersebut dan menyebut bahwa sedikit “pemicu” saja akan memprovokasi konfrontasi besar-besaran antara kedua negara. Bahkan, sempat muncul spekulasi perang antara kedua negara.

Meskipun demikian, banyak ahli berpendapat bahwa mobilisasi tersebut hanya merupakan bentuk bagi Ukraina agar tidak macam-macam dengan Rusia dan organisasi separatis pro-Rusia di Donbass, wilayah timur Ukraina yang penduduknya berbahasa Rusia.

Saling Usir Diplomat

Rusia juga terlibat saling usir diplomat dengan AS dan sejumlah negara Eropa, seperti Polandia dan Ceko

Semua bermula ketika Joe Biden memberikan sanksi bagi Rusia atas keterlibatannya di dalam serangan siber untuk mengintervensi Pemilu AS 2020. Ia juga mengusir sepuluh diplomat Rusia yang diduga terlibat di dalam serangan tersebut.

Dikutip dari CNN dan DW, tindakan tersebut dibalas Rusia dengan memberikan sanksi bagi delapan figur pemerintahan AS, mengusir sepuluh diplomat AS dan membatasi aktivitas diplomat AS lainnya, mengusir tiga diplomat Polandia, memotong aktivitas LSM AS, dan mempertimbangkan upaya “menyakitkan” bagi bisnis AS di Rusia.

Tidak hanya AS saja, Ceko juga mengusir 18 diplomat Rusia atas dugaan keterlibatan mereka dalam pengeboman gudang amunisi tentara pada 2014 yang menewaskan dua orang. Dua orang di antaranya bahkan diduga terlibat peracunan Sergei Skripal yang sempat menghebohkan dunia pada tahun 2018. 

BBC menyebut bahwa Rusia segera bereaksi keras dengan menyebut tindakan tersebut sebagai “aksi permusuhan” dan mengusir 20 diplomat Ceko dari Rusia. 

Pedang Bermata Dua?

Perilaku agresif Rusia pada akhir-akhir ini mengundang ancaman bagi Rusia, dengan negara tersebut berpotensi diisolasi secara internasional. Sanksi yang dijatuhkan AS juga berpotensi semakin merusak ekonomi Negeri Paman Putin tersebut.

Meskipun demikian, dikutip dari DW, sanksi dan isolasi tersebut dapat menjadi pedang bermata dua.

Pertama, sanksi AS dapat memperparah kondisi ekonomi warga Rusia sehingga Putin dapat menggunakan retorika anti-AS untuk menggalang dukungan dari warga yang terdampak sanksi tersebut.

Kedua, sanksi dan isolasi dapat menjadikan Rusia berperilaku semakin agresif, melebihi “penempatan pasukan” yang ada di perbatasan Ukraina.

Ketiga, kemampuan nuklir Rusia dan proyeksi kekuatannya di dunia menjadikan AS tidak bisa bertindak dengan mudah.

Keempat, sanksi dan isolasi yang ada berpotensi menyatukan Rusia dan Tiongkok ke dalam koalisi anti-AS.

Pada akhirnya, segala kontroversi yang Rusia timbulkan saat ini akan menguji kesabaran dan strategi negara-negara Barat dalam menghadapi Rusia di ambang krisis internasional. Setiap langkah yang diambil patut diperhatikan, sebab berpotensi membawa dunia kembali kepada ketenangan atau krisis internasional pada era pasca-Perang Dingin yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *