Rusia-Ukraina dan Bebas Aktif yang Membingungkan

0

Pasukan militer Ukraina. Foto: BBC

Setahun lebih kita telah mendengar berita mengenai dinamika perang Rusia-Ukraina. Egoisme yang dipertahankan menimbulkan dampak bagi masing-masing negara. Tak hanya sebatas dua negara, namun dunia internasional tidak lepas dari percikan dampak yang ditimbulkan. Percikan menyulut negara-negara mengambil sikap untuk melindungi kepentingan mereka, termasuk Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang cukup aktif menanggapi perang Rusia-Ukraina.

Di awal perang meletus, sikap Indonesia bersama 140 negara Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam agresi Rusia ke Ukraina. Berbeda dalam sidang PBB yang membahas tentang pembekuan Rusia dari Dewan Hak Asasi Manusia, Indonesia memilih untuk abstain. Dalam sidang PBB di New York pada 24 Februari lalu, Indonesia kembali menjadi salah satu dari 141 negara yang menyetujui resolusi agar Rusia menarik pasukannya dari Ukraina. Terkait dengan posisi resmi pemerintah Indonesia sesuai dengan perkataan ibu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam rapat kerja DPR RI Komisi I Juni lalu, terdapat empat poin, yaitu 1) penghormatan terhadap kedaulatan dan integritas wilayah, 2) seruan untuk menghentikan perang, 3) mendapatkan jaminan agar rantai pasok makanan tetap terjaga, dan 4) memberikan bantuan kemanusiaan terhadap Ukraina. 

Deretan sikap Indonesia dalam sidang Internasional terkait Rusia-Ukraina perlu dipertanyakan, sebenarnya Indonesia memihak atau netral? Sejak duduk di bangku sekolah, kita berulang kali disodorkan bahwa arah kebijakan atau politik luar negeri Indonesia adalah prinsip bebas aktif. Namun, terkadang kebingungan melanda dalam benak diri kita. Apakah bebas aktif itu bersikap netral? Atau bersikap memihak salah satu negara yang berselisih? 

Pengertian Bebas Aktif 

Politik bebas aktif merupakan gagasan yang dicetuskan oleh Mohammad Hatta dalam pidatonya yang bertajuk Mendajung di antara Dua Karang pada tahun 1948. Di masa itu, iklim internasional sedang panas dengan persaingan dua ideologi besar, liberalis-kapitalis melawan sosialis-komunis. Menanggapi situasi yang demikian, Hatta memberikan pidato pemaparan sikap yang harus dilakukan Indonesia. Hatta mengatakan bahwa Indonesia harus menjadi subjek, bukan objek pertarungan politik internasional. Artinya, Indonesia berhak menentukan sikap politiknya sendiri, tidak berdasarkan haluan politik negara lain.

Istilah Mendajung di antara Dua Karang menggambarkan pengertian prinsip “bebas.” Bebas berarti percaya terhadap kekuatannya sendiri untuk menentukan sikap politik tanpa terpengaruh atau terikat oleh haluan negara lain. Namun, prinsip bebas sering dimaknai dengan mengambil posisi netral. Dalam tulisan Philip C. Jessup di Ensiklopedia Social Sciences, posisi netral dalam politik internasional diartikan tidak berpihak terhadap negara yang berselisih, serta bersikap acuh dalam komunitas internasional. Oleh sebab itu, Hatta meluruskan dalam buku Indonesia Foreign Policy, bahwa Indonesia berpihak terhadap solidaritas internasional yang bertujuan untuk menegakkan dan mewujudkan perdamaian dunia. Keberpihakan Indonesia dalam solidaritas internasional menggambarkan prinsip “aktif” yang berarti Indonesia tidak bersikap acuh dalam komunitas internasional. 

Prinsip bebas aktif merupakan hasil perasan landasan konstitusi kita, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Tepatnya dalam Pembukaan UUD 1945 alinea satu dan empat yang intinya Indonesia menolak penjajahan di atas dunia serta mewujudkan perdamaian dunia. Oleh karena itu, pelaksanaan prinsip bebas aktif harus sesuai dengan tujuan bangsa Indonesia yang terpampang dalam UUD 1945. Lantas, apakah Indonesia sudah menerapkan bebas aktif dalam perang Rusia-Ukraina? 

Bebas-Aktif dalam Perang Rusia-Ukraina 

Indonesia tetap berhubungan baik dengan kedua negara, menurut Direktur Eropa II Kementerian Luar Negeri Indonesia, Winardi Hanafi Lucky. Perlu diperhatikan dari awal perang meletus sampai sidang PBB di bulan Februari, Indonesia selalu mengutuk tindakan agresi Rusia. Alasannya seperti yang dikatakan Duta Besar Indonesia untuk PBB Arrmanatha Christiawan Nasir, Indonesia percaya dengan Piagam PBB dan hukum internasional serta resolusi perdamaian PBB. 

Mengingat kata Bung Hatta bahwa keberpihakan Indonesia terhadap solidaritas internasional, alasan tersebut dapat dikatakan sesuai dengan prinsip bebas aktif. Namun, menurut Guru Besar Hukum Internasional UI, Hikmahanto Juwana, kedua negara memiliki justifikasi berdasarkan Piagam PBB dan hukum internasional. Indonesia mengutuk tindakan Rusia berdasarkan Pasal 2 Ayat 4 Piagam PBB yang melarang “tindakan mengancam atau menggunakan kekuatan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik suatu negara lain atau dengan cara apapun yang bertentangan dengan tujuan-tujuan PBB.” Menurut Juwana, Rusia juga memiliki justifikasi secara hukum atas tindakan agresinya, yaitu dalam Pasal 51 Piagam PBB. Dalam pasal tersebut, pengecualian Pasal 2 dan 4 dapat dilakukan dengan alasan self-defense melalui persetujuan Dewan Keamanan PBB.

Penggunaan Pasal 51 bukan hal yang baru, Indonesia pernah menggunakannya dalam kasus Timor Timur, dan Amerika Serikat juga pernah menggunakannya untuk menginvasi Irak. Maka dari itu, kurang tepat apabila mengutuk Rusia berdasarkan hukum internasional termasuk pelaksanaan bebas aktif. 

Seandainya dengan mengutuk Rusia merupakan satu cara dalam mewujudkan perdamaian, maka hal itu dapat dibenarkan. Namun, mengapa Indonesia tidak totalitas dalam memberi kutukan? Melansir data dari Badan Pusat Statistik, di tahun 2022 perdagangan Indonesia-Rusia tercatat 3,56 miliar USD, naik 29,87% dari tahun 2021 sebesar 2,74 miliar USD. Berdasarkan data tersebut, Indonesia tetap melakukan perdagangan dengan Rusia, bahkan mengalami peningkatan. Secara tidak langsung Indonesia membiayai agresi yang dilakukan Rusia. Mengutuk secara pernyataan belum bisa mendesak Rusia untuk menarik pasukannya. Seharusnya dengan memberikan embargo, sanksi ekonomi, atau minimal mengurangi perdagangan dengan mereka.

Sikap Indonesia kesannya belum menerapkan prinsip bebas aktif secara utuh dalam perang Rusia-Ukraina. Indonesia belum sepenuhnya untuk mendayung di antara dua karang. Indonesia sedikit menepi di salah satu karang atau mungkin juga nantinya akan berlabuh. Seyogianya Indonesia memilih abstain ketika resolusi dari PBB yang cenderung merugikan salah satu pihak yang berselisih. Abstain bukan berarti acuh, namun menolak resolusi perdamaian yang berat sebelah dalam perselisihan negara yang sama-sama memiliki justifikasi secara hukum. Indonesia harusnya aktif dalam memberi usulan resolusi yang adil dan efektif, serta menjadi mediator kedua negara untuk berdamai.

Achmad Zainuddin Hidayatullah merupakan Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dan Twitter dengan nama pengguna @zainachmad_ dan @zainachmad07

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *