Tentang Pertanian Keberlanjutan, Empati, dan Persaingan Niaga

0

Ilustrasi petani di ladang sawah. Foto: Wartani News

Pada 2023, Kereta Bangunkarta berhenti tepat di hadapan saya. Stasiun Pasar Senen pada jam 10 pagi sudah terasa hangat. Tanpa pendingin ruangan maupun kipas, otomatis hanya hembusan angin padat polusi yang bisa saya nikmati. Tak sampai 12 jam kemudian, kereta telah membawa saya memijakkan kaki di kota Madiun, Jawa Timur.

Setelah beristirahat semalam, keesokan paginya saya kembali melanjutkan perjalanan 20 km ke arah Kabupaten Madiun, untuk bertemu dengan kelompok tani, penggiling padi, dan orang-orang penting lainnya, baik dari pemerintah maupun swasta.

Perjalanan-perjalanan serupa – kadang lebih nyaman karena saya berkesempatan menggunakan pesawat, tak jarang lebih menantang seperti ketika saya harus hujan-hujanan menunggu bis malam antar kota di titik henti tak resmi – telah saya lalui selama 1 tahun kebelakang. Hampir tiap bulan, saya menghabiskan waktu 1-2 minggu untuk belajar dan berdiskusi bersama orang-orang hebat dari berbagai latar belakang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saya begitu menikmati setiap detik interaksinya.

Pengalaman ini pun pada akhirnya mengantarkan saya, seorang pribadi yang tak pernah mudik selama lebaran dan merasakan kehidupan pedesaan, pada pengalaman baru. Di ruang tamu rumah tak bercat, di lantai dua rumah kayu, atau pun di restoran tradisional tepi sawah, saya berkesempatan menikmati suatu hal langka bagi orang kota: interaksi yang tulus dan hangat berlandaskan prinsip.

Interaksi Hangat dan Kepentingan Pribadi

Mungkin terasa klise, tapi semua benar adanya. Setiap pertemuan, baik direncanakan maupun spontan, disambut dengan kehangatan. Ini adalah keramah-tamahan desa yang saya takjub, bahkan setelah setahun. 

Satu yang bisa saya ceritakan adalah kehangatan ketika berkunjung ke salah satu penggilingan padi di Dukuh Bogo, Boyolali. Saya dan rekan-rekan yang datang selalu disambut dengan semangat oleh pemiliknya, seorang bapak berumur 40 tahunan yang 15 tahun lalu meninggalkan Jakarta dan membangun penggilingan padi di kampung halaman. 

Kini, penggilingannya telah mempraktikkan produksi beras organik yang sesuai standar Indonesia. Meskipun begitu, ia tetap tak berpuas hati karena menurutnya praktik beras berkelanjutan di Indonesia bisa lebih baik lagi. Masih banyak ruang-ruang, seperti emisi mesin dan pengelolaan manajemen, yang dapat diperbaiki. Semangat ini menjadi bara api juga bagi kami, yang masih seringkali menemukan kebuntuan.

Kendati demikian, saya paham saya tak bisa naif dan melihat keterbukaan ini dari sisi yang utopia. Saya berkunjung tiap bulan karena misi yang saya bawa dari pekerjaan saya, dengan membawa gagasan ideal dari sebuah organisasi internasional, ketika yang berada di tingkat nasional dan lokal masih belum menaruh perhatian. Tak ayal, sebagian pun mungkin membuka diri karena interest atau kepentingan yang mungkin dapat menguntungkan bagi mereka. Tak ada masalah bagi saya soal ini. 

Mengambil kesempatan yang sejalan dengan kepentingan diri sendiri adalah manusiawi. Kita bisa sangat permisif tentang sifat oportunistik ketika ini terjadi di sudut-sudut gedung tinggi. Lalu, mengapa kita harus kecewa ketika hal yang sama dilakukan oleh mereka yang bahkan kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan saja masih harus berjuang mati-matian? Sifat ini sudah menjadi naluri manusia.

Toh, pada akhirnya, tak semua pintu benar-benar terbuka. Ada beberapa orang yang kami kunjungi tapi berdalih sedang ada urusan di luar. Tak perlu berat hati soal ini. Seperti yang saya bilang, interaksi yang hangat itu berdasarkan pada prinsip dan kepentingan. Ketika prinsipnya berbeda, mungkin pintu akan kembali ditutup. Apalagi ketika kepentingannya berbeda. Tak apa. Berdasarkan pengalaman saya yang masih sedikit ini, biasanya pintu lain akan terbuka dan menjadi jalan baru.

Mengenalkan Keberlanjutan dan Terbatasnya Ruang Empati

Setelah setahun, saya jatuh pada kesimpulan bahwa kehidupan kota dan desa di Indonesia memiliki satu kesamaan: sama-sama belum mampu untuk fokus pada keberlanjutan. Hal ini karena keberlanjutan membutuhkan satu prasyarat: empati. Ini yang sulit. Bukan karena masyarakat Indonesia tidak mau, tapi kebanyakan masih belum mampu. Semua masih fokus pada pemenuhan kepentingan pribadinya karena merasa kebutuhan dasarnya belum tercukupi. Sulit untuk meminta orang untuk peduli kanan-kiri ketika urusan pribadi masih belum tuntas. Mungkin hanya 5-10% orang pada suatu wilayah yang memiliki cukup empati untuk mau memikirkan keberlanjutan, yang di dalamnya memiliki turunan lain seperti kesetaraan dan praktik ramah iklim.

Menjadi kian menantang adalah karena keberlanjutan itu sebuah gagasan. Memang sudah lama, tapi selayaknya gagasan, keberlanjutan adalah perangkat lunak. Mengenalkannya ke khalayak tidak seperti mengajarkan anak umur 6 tahun bersepeda. Masyarakat perlu tahu dulu apakah ada ‘virus’ yang dapat membahayakan, apakah mereka akan merasa ‘aman’, dan tentunya, apakah mereka akan diuntungkan.

Di Madiun, saya berbicara dengan seorang penggiling padi yang untuk membesarkan bisnisnya, berhutang ke bank. Hutangnya sebenarnya tak terlalu besar, hanya sekitar 500 juta rupiah. Tapi ia merasa kesulitan untuk berfokus pada hal lain selain bisnisnya. Hal ini karena meskipun bisnis berjalan lancar dan hutang bisa terbayar, hutang akan tetap menjadi beban psikologis yang seringkali membuat orang lupa untuk menengok kanan-kiri. Seperti dalam buku tenar the Psychology of Money, hutang mungkin memberikan pemenuhan kebutuhan, tapi ada expense psikologis yang harus ditanggung selama belum penuh terbayar. Beban psikologis ini mengecilkan ruang untuk empati karena sudah penuh sesak dengan pikiran “pokoknya apa yang saya lakukan harus memaksimalkan kebutuhan demi membayar hutang yang belum terbayar.”

Beban psikologisnya menjadi kian besar ketika objek yang dihutangkan adalah kebutuhan dasar, seperti surat-surat tanah dan rumah. Ini menjadi fatal karena beban pikiran “kalau hutang tak terbayar maka saya kehilangan tempat tinggal.” Bukan main-main ini. Beban psikologis ini lah yang akhirnya mengecilkan ruang empati tersebut.

Ini sama sekali bukan sebuah ajakan untuk tidak meminjam kredit. Silakan saja. Seringkali, pinjaman adalah satu-satunya jalan untuk melakukan ekspansi bisnis yang sudah dibangun tahunan lamanya. Saya hanya berharap ruang empati akan lebih terbuka, sehingga gagasan seperti keberlanjutan yang memang membutuhkan empati, bisa lebih banyak yang mempraktikkan. Karena toh pada akhirnya, yang diuntungkan paling besar adalah sang pemilik bisnisnya. Keuntungan lain yang dirasakan iklim dan orang di sekitarnya adalah keuntungan sekunder saja.

Persaingan Niaga dan Keberlanjutan

Kalau psikologis adalah faktor internal, maka secara eksternal, faktor yang menurut saya berperan penting dalam kemampuan menerapkan praktik berkelanjutan adalah persaingan niaga. Ini kunci utama yang menentukan apakah seorang pebisnis mampu dan mau untuk melakukannya.

Persaingan niaga ini banyak turunannya. Persaingan niaga menentukan apakah faktor keberlanjutan menjadi penting atau tidak. Jika targetnya adalah menurunkan harga semurah-murahnya, tak akan muncul gagasan keberlanjutan dalam hitungannya. Sebaliknya, jika persaingan niaga adalah tentang menghadirkan kualitas yang sebaik-baiknya, keberlanjutan punya potensi untuk diikutkan di dalamnya.

Karena sejatinya keberlanjutan tidak akan pernah secara langsung menurunkan harga. Seringkali, justru harga sedikit lebih tinggi, untuk mengkompensasi biaya tambahan seperti pemerataan keuntungan di seluruh rantai distribusi, mesin yang lebih bagus, dan penurunan dampak iklim dari praktik bisnis. Persaingan murah-murahan harga juga sudah tak lagi zamannya.

Hari ini, kita punya cukup teknologi untuk tahu kadar gizi dari sesuatu yang masuk ke tubuh kita. Dengan strategi persaingan harga, anda akan mungkin dapat sesuatu yang semurah-murahnya. Tapi, bagaimana dampaknya pada tubuh kita?

Sebaliknya, menghadirkan keberlanjutan berarti memastikan bahwa tak ada yang dirugikan dalam rantai distribusi, bahkan kita sebagai konsumen. Semua bertanggung jawab untuk memastikan bahwa apa yang kita konsumsi diproduksi dengan layak dan tidak membahayakan siapapun. Tidak membahayakan pekerja, tidak membahayakan kesehatan kita, ataupun kantong kita.

Itulah mengapa persaingan niaga saat ini dan masa depan sudah tak seharusnya lagi berperang harga. Seharusnya, para pebisnis sudah mulai sadar bahwa mempraktikkan keberlanjutan akan memastikan bisnisnya, berlanjut. 

Keberlanjutan itu seharusnya bermula di desa dan bermuara di seluruh pojok dunia.

Hafizh Mulia adalah Managing Director dari Kontekstual. Dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @hafizhmulia

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *