Tuan Rumah Event Olahraga: Berkat atau Kutukan?

0

Ilustrasi logo Olimpiade. Foto: International Olympic Committee

Memasuki pertengahan tahun 2021 berarti saatnya bagi kita menyambut berbagai macam hiburan olahraga. Pada tahun 2021 ini, kita akan menyambut Copa America 2021, Euro 2020  dan Olimpiade 2020 (yang tidak berganti nama walaupun tahun pelaksanaan berganti) yang sempat tertunda jadwal penyelenggaraannya akibat COVID-19.

Namun dalam situasi sekarang ini penyelenggaraan event-event ini kembali dipertanyakan relevansinya. Negara-negara tuan rumah terkesan terlalu memaksakan dan tidak peka akan kondisi yang sedang terjadi di dunia saat ini. Hal ini bagi saya sendiri menjadi pertanyaan apakah pertandingan olahraga antar negara masih relevan dilaksanakan, terlebih dalam kondisi saat ini?

Event Olahraga Sebagai Alat Propaganda Politik dan Ideologis

Selain untuk menunjukan kekuatan dan kemampuan fisik para atlet, sering sekali pelaksanaan acara olahraga digunakan untuk mempropagandakan kemampuan atau kelebihan sebuah negara yang bahkan mencapai hal-hal politis dan ideologis. Sejarah mencatat bahwa hal ini sudah berulang kali terjadi, misalnya pada Olimpiade Berlin tahun 1936 yang digunakan oleh Adolf Hitler untuk menunjukkan bahwa Jerman sudah bangkit dari kekalahan di Perang Dunia I dan juga ingin menunjukan bahwa ras Arya adalah ras paling unggul (Large, 2008). Pada penyelenggaran Asian Games IV Jakarta 1962, setidaknya Bung Karno memiliki dua motivasi besar mengapa Indonesia sangat antusias untuk menjadi tuan rumahnya, yaitu untuk mengangkat martabat bangsa dan mendukung peningkatan kemajuan prestasi olahraga Indonesia (Rahayu, 2012). Walaupun di kemudian hari motivasi politik nyatanya lebih mendominasi termasuk dengan tidak mengeluarkan Visa bagi kontingen Israel dan Taiwan (Alperovich, 2008) yang kemudian polemik ini nantinya membuat tercetusnya ide untuk menciptakan sebuah event olahraga besar yang pesertanya merupakan negara-negara yang dianggap progresif yaitu GANEFO (Rahayu, 2012). 

Piala Dunia sendiri juga tidak bisa dilepaskan dari politisasi. Tercatat Piala Dunia 1978 di Argentina dianggap sebagai Piala Dunia paling kotor dalam sejarah karena Argentina—yang pada masa itu dipimpin oleh Junta Militer Jorge Videla—menganggap bahwa perlu ada satu isu yang dapat mengalihkan perhatian dunia dari kekejaman Videla namun juga dapat mempersatukan rakyat Argentina. Oleh karena itu, sepak bola sebagai olahraga paling populer dan berprestasi dilihat dapat digunakan sebagai pengalihan isu tersebut. Salah satu bentuk dari usaha tersebut adalah menciptakan slogan “25 Millions Argentinians Will Play in the World Cup” walaupun yang terjadi sebenarnya adalah “25 Millions Argentinians Will Pay for the World Cup” karena rakyat Argentina benar-benar dikorbankan demi ambisi junta militer untuk menjuarai Piala Dunia (Siahaan, 2014).

Dampak Ekonomi bagi Tuan Rumah: Harapan dan Kenyataan

Menjadi tuan rumah penyelenggaraan event olahraga merupakan hal yang amat membanggakan bagi mereka yang mendapatkan kesempatan tersebut. Terkhusus pada Piala Dunia, menjadi tuan rumah adalah cara instan untuk menjadi peserta. Seburuk apapun prestasi sepak bola sebuah negara ketika mereka menjadi tuan rumah, maka mereka otomatis menjadi peserta Piala Dunia. Hal ini berlaku bagi Qatar yang akan menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022 yang mana hingga Piala Dunia 2018 belum pernah sama sekali merasakan atmosfer pertandingan. 

Namun pemilihan sebuah negara sebagai tuan rumah tentunya harus diikuti pula dengan tersedianya fasilitas yang mumpuni. Oleh karena itu, tuan rumah harus dapat meyakinkan federasi olahraga dunia bahwa mereka dapat menyediakan fasilitas tersebut. Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah menjadi tuan rumah acara pertandingan olahraga nyatanya menguntungkan?

Yunani mengalami krisis ekonomi yang bisa dikatakan sangat tragis dan kesediaan mereka sebagai tuan rumah Olimpiade disinyalir menjadi salah satu alasannya. Pembangunan yang dilakukan oleh Yunani pada saat terpilih sebagai tuan rumah Olimpiade 2004 disertai juga dengan program yang disebut dengan “Greece 2004”. Program ini bertujuan untuk menyebarkan dampak positif Olimpiade di tengah masyarakat, melakukan modernisasi, dan pembangunan daerah yang berada di pelosok Yunani (Foundation for Economic and Industrial Research, 2015). Namun pada praktiknya, pembangunan venue olahraga saja sudah membebani ekonomi Yunani hingga US$ 4,6 miliar yang bahkan Stephen Wenn—profesor sejarah olahraga dan olimpiade dari Wilfrid Laurier University—meyakini bahwa pengeluaran ini sebenarnya mencapai angka US$ 14-15 miliar (CNBC, 2012). 

Hal yang sama juga terjadi pada penyelenggaraan Piala Dunia 2014 dan Olimpiade 2016 di Brasil. Di Brasil terjadi penggelembungan biaya yang sangat masif, salah satunya adalah pembangunan Arena Corinthians di Sao Paulo yang menurut salah satu eksekutif dari Odebrecht (kontraktor yang melakukan pembangunan stadion) terdapat penggelembungan biaya dari yang awalnya hanya sebesar $100 juta menjadi $300 juta (DW, 2017). Hal ini menjadi ironis ketika masyarakat Brasil yang gila bola ternyata malah memicu kemarahan atas ketidakadilan yang dihadapi. 

Kesediaan sebuah negara atau daerah untuk menjadi tuan rumah ajang olahraga biasanya diikuti dengan harapan agar tercipta apa yang disebut dengan economic bonanza. Economic bonanza dalam event olahraga biasanya dimulai dengan harapan ketika terjadi pembangunan fasilitas olahraga akan diikuti dengan berkembangnya ekonomi di daerah sekitar pembangunan, serta kehadiran fasilitas olahraga ini dapat menciptakan pusat keramaian yang kemudian akan memicu perkembangan ekonomi (Kuper & Szymanski, 2009). Terlebih pada event seperti Olimpiade dan Piala Dunia yang mana tuan rumah sangat mengharapkan hadirnya wisatawan serta terbukanya lapangan pekerjaan bagi masyarakat setempat. Namun fakta menunjukkan bahwa ekspektasi akan hadirnya economic bonanza nyatanya tidak pernah hadir, atau hanya menimbulkan percikan yang amat kecil. Studi yang dilakukan pada saat Euro 1996 di Inggris menunjukkan bahwa pengeluaran yang dilakukan oleh wisatawan yang hadir pada saat itu hanya mencapai US$ 155 juta, jumlah yang amat sedikit jika dibandingkan dengan total pengeluaran wisatawan Inggris pada tahun itu yang mencapai $20 miliar. (Kuper & Szymanski, 2009).       

Selain itu, terdapat masalah lain yang terjadi yaitu ketidakmampuan dalam merawat fasilitas olahraga yang dibangun. Hal ini terjadi karena kurangnya minat pada olahraga tersebut, jarak yang terlalu jauh, atau juga ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses fasilitas olahraga yang dibangun karena biaya penggunaan yang mahal. Terlebih pada saat penyelenggaran olimpiade dan event multicabang olahraga lainnya yang mana tuan rumah dituntut untuk menyediakan segala keperluan dan fasilitas olahraga, namun setelah event selesai rendahnya minat masyarakat serta jauhnya kultur masyarakat dalam olahraga tersebut membuat fasilitas yang telah dibangun terbengkalai. 

Sebagai contoh adalah penggunaan Estádio Nacional Mané Garrincha di Brasilia, dibandingkan dengan Estadio do Maracana di Rio De Janeiro yang menjadi rumah bagi dua tim besar dengan basis fans fanatik seperti Flamengo dan Fluminiense. Brasilia tidak memiliki kultur sepakbola yang kuat dengan tim yang hanya berkutat di divisi bawah liga nasional dan tingkat keterisian stadion ini ketika tim lokal bertanding hanya mencapai sekitar seribu penonton sehingga tentu sangat mubazir jika dibandingkan dengan kapasitas maksimal yang dapat mencapai 73.000 penonton. Hal ini juga terjadi pada beberapa stadion yang dibangun seperti Arena Das Dunas di Natal dan Arena Amazonia di Manaus. Selain di Brasil, untuk Arena Amazonia sendiri yang lokasinya terletak di tengah hutan Amazon juga mengakibatkan rendahnya penggunaan stadion ini bahkan ketika stadion digunakan untuk hal lain seperti konser, kegiatan keagamaan, bahkan kegiatan agenda kampanye politik.

Masalah ini juga terjadi di Indonesia yakni di Stadion Palaran di Kalimantan Timur yang dibangun untuk menunjang fasilitas Pekan Olahraga Nasional (PON) 2008. Stadion ini merupakan stadion terbesar nomor dua di Indonesia namun ditinggalkan oleh tim lokal Borneo FC karena akses lokasinya yang dianggap kurang strategis. 

Penutup

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa seringkali harapan akan hadirnya geliat ekonomi yang dipicu oleh agenda olahraga ini sering kali tidak sesuai dengan harapan. Selain itu, dapat dilihat bahwa tujuan utama dari keinginan untuk menjadi tuan rumah event olahraga merupakan alasan politis yang dikemas dalam alasan-alasan prestasi maupun ekonomi. Sebagai contoh, sangat terlihat keinginan Brasil untuk menjadi tuan rumah dua event besar dalam waktu yang amat berdekatan adalah untuk menunjukkan bahwa Brasil adalah salah satu negara dengan pertumbuhan dan fondasi ekonomi yang kuat. Hal ini juga senada dengan majunya Kalimantan Timur sebagai tuan rumah PON 2008 karena ingin menunjukkan bahwa mereka juga sedang berkembang dalam menjadi salah satu pemain utama dalam ekonomi Indonesia (Pandit Football Indonesia, 2014). 

Bahkan Brasil tetap melakukan hal ini di tengah pandemi yang sedang berlangsung. Pada tahun ini, Brasil mengumumkan diri sebagai tuan rumah Copa America 2021 ketika tuan rumah sebelumnya—Kolombia dan Argentina—memutuskan untuk mengundurkan diri dengan alasan ketidakstabilan politik dan merasa belum mampu untuk mengendalikan pandemi. Keputusan Brasil ini disinyalir hanya aksi “gagah-gagahan” pemerintahan Bolsonaro karena Brasil sendiri juga tengah didera ketidakstabilan politik dan ketidakmampuan mereka dalam mengendalikan pandemi COVID-19.

Referensi:

Jurnal dan Tesis

Alperovich, A. (2008). ISRAEL IN DER OLYMPISCHEN BEWEGUNG ( Israel Dalam gerakan Olimpiade). Koln: Institut für Sportgeschichte der Deutschen Sporthochschule Koln. 

Foundation for Economic and Industrial Research. (2015). The impact of the 2004 Olympic Games on the Greek Economy . Athens: Foundation for Economic and Industrial Research.

Rahayu, A. (2012). Pesta Olahraga Asia (Asian Games IV) Tahun 1962 di Jakarta: Motivasi dan Capaiannya . Depok: Departemen Sejarah Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Artikel Online

CNBC. (2012). Olympic Cities Booms and Busts . CNBC.

DW. (2017). World Cup, Olympic stadiums in Odebrecht scandal. DW.

Buku

Kuper, S., & Szymanski, S. (2009). Soccernomics: Why England Loses, Why Germany and Brazil Win, and Why the U.S., Japan, Australia, Turkey — and Even Iraq — Are Destined to Become the Kings of the World’s Most Popular Sport. London: Nation Books .

Large, D. C. (2008). Nazi Games: The Olympics of 1936. New York: W.W Norton and Company.

Pandit Football Indonesia . (2014). Brazilian football and their enemies. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Siahaan, P. (2014). Big Pang Theory, Talking Mad About Football. Jakarta: PT.Elex Media Komputindo .

Mohd Derial adalah alumni Manajemen Universitas Sumatera Utara. Dapat dihubungi melalui Twitter dan Instagram di @mderial

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *