Amerika dan Solusi Dua Negara: Tak Nyata Bahkan dalam Retorika

0

AS dan Retorika Tak Berdasar Solusi Dua Negara/ Kredit Foto Sky News

Di tengah agresi Israel yang semakin mengkhawatirkan, dukungan terhadap Palestina untuk merdeka dari komunitas internasional semakin menguat. Hal itu dapat dilihat dari hasil pemungutan suara di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai status keanggotaan Palestina. Secara telak, sebanyak 143 negara atau lebih dari dua pertiga negara-negara anggota di PBB mendukung Palestina menjadi anggota penuh. Sedangkan, terdapat 25 negara yang tidak menyatakan pilihan atau abstain dan sembilan negara yang menolak Palestina menjadi negara anggota ke-194 PBB. Di antara negara yang menyuarakan penolakannya, tidak lain dan tidak bukan, adalah Amerika Serikat. 

Berdasarkan resolusi yang dihasilkan di Majelis Umum PBB itu, secara simbolis dapat dimaknai bahwa mayoritas negara-negara di dunia secara tegas mendukung Palestina menjadi negara merdeka. Namun, resolusi tersebut masih perlu dibawa ke Dewan Keamanan PBB untuk meminta meninjau kembali pengajuan keanggotaan Palestina pada tahun 2011 lalu agar bisa berubah status dari negara pengamat menjadi anggota tetap. Sayangnya, dari sembilan negara yang menolak keanggotaan Palestina, yakni Amerika Serikat, Hungaria, Israel, Republik Ceko, Argentina, Nauru, Papua Nugini, Mikronesia, Palau, salah satunya memegang hak istimewa atau veto, yakni AS. 

AS yang seringkali memberikan veto-nya di beberapa pengajuan resolusi gencatan senjata antara Israel dan Palestina pada sidang Dewan Keamanan PBB telah memberikan sinyal akan memveto kembali resolusi keanggotaan penuh Palestina. Dalam vetonya sebelum perihal ini dibawa ke Majelis Umum, perwakilan AS berargumen bahwa “penolakan AS atas keanggotaan Palestina di PBB bukanlah penolakan atas solusi dua negara (two state solution)”. Menurut AS, kenegaraan Palestina hanya dapat dimengerti dalam konteks negosiasi perdamaian, tetapi tidak sebagai anggota PBB, setidaknya belum.

Penolakan AS baik di Majelis Umum maupun Dewan Keamanan PBB terhadap perdamaian dan kemerdekaan Palestina selama ini menimbulkan pertanyaan: apakah AS tetap berkomitmen terhadap kebijakan solusi dua negara atas permasalahan Israel-Palestina? AS berulang kali menyebut penyelesaian konflik Israel-Palestina hanya bisa dilakukan dengan membuat dua negara berdampingan yang saling menghormati teritori dan hidup bersama secara damai. Akan tetapi, kebijakan AS justru semakin tidak konsisten terhadap cita-cita perdamaian seperti itu.

Solusi Dua Negara: Jalan Panjang Upaya Perdamaian Israel-Palestina

Kebijakan solusi dua negara memiliki sejarah panjang, yang telah divisikan setidaknya sejak partisi 1967. AS juga mengusung rencana perdamaian ini secara aktif, terutama sejak tahun 1993 dalam Perjanjian Oslo I. AS memprakarsai pertemuan antara Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat dari Organisasi Pembebasan Palestina (PLO). 

Perjanjian Oslo ini menghasilkan pengakuan dari masing-masing entitas, Israel mengakui PLO sebagai wakil Palestina dan mitra negosiasi, begitu juga sebaliknya. Selain itu, hasil penting dari perjanjian ini adalah pembentukan Otoritas Palestina dengan kekuasaan terbatas di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dua tahun berselang, kedua pihak menjalin kesepakatan kembali untuk membahas batas-batas negara dan hak masing-masing dalam Perjanjian Oslo II. 

Namun, perjanjian itu mendapat pertentangan dari rakyat Palestina maupun Israel. Pertentangan dari Palestina datang dari kelompok Hamas yang menolak mengakui negara Israel, tidak percaya kepada Israel akan menepati perjanjian dan lebih memilih jalur perjuangan dibanding bernegosiasi. Kelompok sayap kanan Israel juga mengecam Perjanjian Oslo hingga membunuh Perdana Menteri Rabin, promotor dari pihak Israel dalam perjanjian itu. Pergantian rezim yang kebanyakan diisi oleh politisi anti-palestina semakin membuat Perjanjian Oslo terkesampingkan. Akibatnya, konflik tetap berlanjut dan status kemerdekaan Palestina masih belum pasti.

AS melakukan upaya kembali untuk mendamaikan masalah Israel dan Palestina yang belum sepenuhnya selesai di Perjanjian Oslo sebelumnya melalui Pertemuan Camp David tahun 2000. Pertemuan antara Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton dengan Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Yasser Arafat dari Otoritas Palestina ingin menyelesaikan isu-isu sensitif, seperti status Yerusalem Timur, pemukiman Yahudi dan pengungsi Palestina. Akan tetapi, Pertemuan Camp David tidak menemui titik temu dan tidak ada kesepakatan yang dicapai. Setelah itu, kekerasan semakin meningkat terutama dengan terjadinya peristiwa Intifada II. 

Solusi Yang Semakin Tidak Nyata

Di abad ke-21, usaha-usaha yang dilakukan oleh AS masih memegang pemikiran solusi dua negara. Akan tetapi, tanpa proses negosiasi atau perjanjian penting seperti Perjanjian Oslo yang dihasilkan, upaya ini tampak semakin fana. Bahkan, ketika masa pemerintahan Trump tahun 2017-2021 banyak kebijakan yang sangat pro-Israel, seperti mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan mendirikan kedutaan di sana, mendukung aneksasi Israel di Tepi Barat, serta memangkas dana bantuan ke Palestina maupun Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA).

Pemikiran solusi dua negara ini sendiri menjadi semakin meragukan dengan kenyataan bahwa AS, dan sebagian besar negara Barat, mengakui Israel tanpa mengakui Palestina. Pengakuan Israel tidak bersyarat, tetapi berdasarkan penjelasan perwakilan AS di DK PBB, pengakuan atas kenegaraan Palestina memiliki syarat negosiasi perdamaian yang selesai dan tuntas. Meski dalam perihal ini dibicarakan mengenai keanggotaan PBB, tetapi dapat juga ditafsirkan pengakuan bilateral secara diplomatik, sebab memang faktanya demikian.

Padahal, solusi dua negara seharusnya dilandaskan pada perlakuan yang sama atas status kenegaraan Israel dan Palestina. Tidak mungkin ada “solusi dua negara” jika tidak ada “dua negara”. Setelah kedua negara eksis, setidaknya secara de jure jika belum sempurna secara de facto, baru proses perdamaian yang berujung pada koeksistensi bisa berjalan. Pengakuan ini tentunya juga seharusnya direfleksikan dalam PBB. Hal ini tidak terjadi karena kecenderungan AS untuk mengakui satu negara saja. Akhirnya, terus terjadi ketimpangan dalam proses perdamaian—yang memang sudah lama tidak berjalan—antara “negara Israel” dan “otoritas Palestina”, bukan antar dua negara yang setara.

AS yang masih berpegang pada istilah solusi dua negara dalam retorikanya kemudian menjadi lebih buruk daripada munafik. Istilah soslusi dua negara hanya menjadi pegangan karena tidak (atau belum) ada solusi lain yang dapat menjadi acuan. Semakin banyak pernyataan yang menyesatkan, yang menjauhkan solusi dua negara dari implementasinya secara nyata. Dalam retorika, solusi ini sudah terlihat tidak lagi nyata.

Referensi

https://www.cfr.org/backgrounder/what-us-policy-israeli-palestinian-conflict

https://www.kompas.com/stori/read/2023/11/21/090000579/kenapa-perjanjian-oslo-gagal-mendamaikan-israel-dan-palestina-?page=all#:~:text=KOMPAS.com%20%2D%20Perjanjian%20Oslo%20merupakan,%2C%20Washington%20DC%2C%20Amerika%20Serikat.

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7341195/ditolak-9-negara-begini-sejarah-keanggotaan-palestina-di-pbb#:~:text=Palestina%20tidak%20termasuk%20keanggotaan%20PBB,memberikan%20suara%20dalam%20organisasi%20tersebut.

https://www.antaranews.com/berita/3810261/melihat-konflik-palestina-israel-dari-perjanjian-oslo

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *