Katolisisme dan Pancasila Orde Baru: Perkawinan Teologi Politik

0

Katolisisme dan Pancasila Orde Baru: Perkawinan Teologi Politik/ Kredit Foto CNN

Dalam sejarah Indonesia, rezim yang paling sering menggunakan Pancasila dalam setiap manuver kebijakannya adalah Orde Baru. Tafsir Pancasila Orba mempunyai ide sederhana, harmonisasi masyarakat. Konflik tidak perlu, paling penting adalah kerja sama seluruh elemen masyarakat untuk mencapai tujuan bangsa. Ide semacam ini kemudian dijadikan landasan untuk merepresi segala bentuk protes karena dianggap sebagai pengganggu ketertiban.

Bersamaan dengan sejarah itu. beberapa literatur juga menunjukkan peran satu kelompok minoritas katolik dalam mendirikan dan memberi legitimasi terhadap Orde Baru . Hal ini terwujud dalam kontribusi beberapa tokoh penting semacam Sofjan Wanandi atau Harry Tjan Silalahi berikut institusi yang mereka dirikan, CSIS. Bersama dengan TNI, peran kelompok ini cukup dominan dan kerap dianggap sebagai kelompok yang memberi legitimasi terhadap pemerintahan Orba (Lih. Nair, 2022; Dhakidae, 2003). 

Peran kelompok Katolik pada pemerintahan Orba ini agaknya memberi suatu teka-teki teologis politis. Orang boleh jadi bertanya-tanya mengapakah institusi penuh kasih semacam gereja ini dengan apik dan semangatnya mau mendirikan dan memberi legitimasi terhadap rezim Orba yang militeristis? Apa gerangan yang mendorongnya?

Pancasila Orde Baru: Organisisme dan  Ideologi Negara Keluarga

Orde Baru mempunyai satu ideologi yang sederhana, doktrin negara integralistik. Bourchier secara spesifik merujuk ini sebagai ideologi negara keluarga (2019). Visi ideologi ini cukup sederhana, masyarakat itu harmonis sifatnya. Berbagai elemen dalam masyarakat punya fungsi spesifik dan peran kesemuanya menghasilkan keharmonisan. 

Meski begitu, ini tidak berarti bahwa masyarakat akan muncul tanpa konflik. Konflik pasti ada dan karenanya butuh otoritas yang mengatur. Otoritas itu bernama negara. Hal ini sering sekali digambarkan dengan imaji keluarga di mana bapak sebagai otoritas merepresentasikan negara. Kita bisa dengan mudah melihat retorika ini berceceran dalam pidato-pidato petinggi di Orba maupun respon pemerintah. Semuanya mesti diselesaikan secara kekeluargaan. Pancasila versi Orba juga persis pemaknaannya seperti ini!

Dari mana asal-usul visi ini? Kelompok manakah yang merupakan proponen utamanya? Karya kanon Bourchier Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of Family State menyebut militer sebagai kelompok paling utama yang mendorong visi ini. Kelahiran militer Indonesia punya kaitan erat dengan militer Jepang (pembentukan PETA). Militer Jepang, telusur Bourchier, mengenggam doktrin serupa, tapi dengan visi Asia Raya. Hal ini punya pengaruh besar terhadap militer Indonesia. Sementara itu, dari sisi sipil, ada nama Soepomo dengan visi negara integralistiknya. 

Doktrin semacam ini memberi militer suatu pegangan ideologis untuk terlibat dalam politik. Di masa awal kemerdekaan, pertarungan antara berbagai kelompok politik menyebabkan kebersepakatan untuk menjalan satu mode pembangunan terhambat, setidaknya begitu menurut militer. Belum lagi ada visi antagonisme kelas yang dibawa oleh kelompok politik besar seperti PKI. 

Pada kelanjutannya kemudian, kita tahu persis retorika atau kebijakan pembangunan macam apa yang digaungkan Orba ketika memulai program-program pembangunannya. Masyarakat terlalu disibukkan dengan politik (yang kerap berujung konflik) dan sebaiknya cukup terlibat dalam pembangunan saja; depolitisasi istilah kerennya.

Teologi ‘Tubuh Kristus’ : Perkawinan Orba dan Katolisisme

Menariknya, ide Orba semacam itu juga mendapat banyak persetujuan dari beberapa kelompok masyarakat sipil, salah satunya kelompok Katolik. Sofjan Wanandi maupun Harry Tjan sempat beberapa kali menyebutkan betapa pembangunan tidak berjalan di Orde Lama karena tingginya perbedaan politik; yang secara khusus mereka alamatkan pada manuver PKI yang kerap memobilisasi dan mempolitisir massa (Karsono, 2013). Mereka bahkan tidak segan mendorong usaha-usaha depolitisasi dan membentuk politik massa mengambang di mana masyarakat hanya perlu berpartisipasi dalam politik di masa pemilu.

Kenyataan di muka lantas menimbulkan pertanyaan terkait visi ideologi kelompok Katolik di masa itu. Adakah ini visi Katolik atau hanya visi kedua orang tersebut? Tulisan ini berargumen bahwa visi tersebut juga terinspirasi dari doktrin teologi politik katolik. Sebagai catatan awal, adalah perlu untuk menegaskan bahwa institusi Katolik mempunyai otoritas besar untuk menyeragamkan sikap, baik secara teologis maupun politis. Konsekuensinya, posisi kelompok Katolik cenderung seragam dan yang berseberangan cenderung bisa dicap bukan Katolik atau bahkan sesat! 

Wanandi dan Harry Tjan merupakan kader generasi pertama PMKRI (Perseketuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia). Sumber ideologis PMKRI adalah Ajaran Sosial Gereja (ASG) yang merupakan doktrin teologis Gereja Katolik Roma terhadap situasi sosial. Pada masa itu, 1940-1960-an, doktrin utama Gereja muncul dalam ASG yang pertama, Rerum Novarum. Ini sekaligus menjadi respon gereja terhadap situasi sosial politik secara global waktu itu.

Isi doktrin ini mengarah pada dua hal, yaitu masyarakat dan negara organis. Ide doktrin ini mempunyai kongruensi dengan ideologi negara keluarga Orba; Bourchier bahkan merunut ide negara keluarga Orba dari doktrin negara organis yang dipopulerkan oleh Gereja Katolik dan bersumber dari Hegel (2019). Hanya saja, ada sentuhan teologis di sini. Masyarakat yang dipandang sebagai entitas harmonis dengan negara sebagai kepalanya diparalelkan dengan imaji Tubuh Kristus, di mana Yesus adalah kepala dan setiap bagian tubuh-Nya merupakan satu kesatuan yang utuh (Dhakidae, 2003). 

Dosa Politik dan Pertobatan Politis

Dari elaborasi di muka, tampak jelas bahwa keterlibatan kelompok Katolik punya landasan teologi politik yang kuat, Meski begitu, kesamaan ideologi ini juga tidak selalu berjalan mulus. Ada perbedaan signifikan di titik tertentu di antara keduanya yang kemudian mengemuka juga dalam alur sejarah Orba. Visi negara organis katolisisme mempunyai aksentuasi yang kuat terhadap intelektualisme. Sederhananya, untuk menjamin negara sebagai kepala dan perwakilan Kristus, negara itu harus dipimpin oleh akal budi (Dhakidae, 2003). Terjemahan modern terhadap ini adalah teknokratisme

Pada kelanjutannya, visi di muka agaknya berusaha dilakukan oleh kelompok Katolik seperti Wanandi dan Harry Tjan dengan cara masuk atau me-lobby pemerintah; menjadi garam yang larut, tapi tidak hanyut. Namun, alih-alih demikian, keberhasilan mereka tidak banyak. Pada prosesnya, setelah kepergian Ali Moertopo dan mulai terkonsentrasinya kekuasaan Orba pada Suharto, kelompok Katolik ini mulai dipinggirkan dan kehilangan pengaruh.

Konsekuensi kekuasaan Orde Baru sampai saat ini masih terasa. Doktrin Pancasila Orba merasuk ke segala lini kehidupan. Politik dinasti dan masyarakat yang enggan berpolitik adalah contoh-contohnya. Melalui penelusuran sejarah berikut interpretasi tulisan ini, tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa kelompok Katolik punya andil dalam hal ini. Ini dosa politik dan agaknya, menyitir istilah Paus Fransiskus, pertobatan politis perlu dilakukan!

 Referensi

Bourchier, David. 2014. Illiberal Democracy in Indonesia: The Ideology of Family State. London: Routledge

______________. 2019. “Organicism in Indonesian Political Thought,” dalam Oxford Handbook of Comparative Political Theory, Ch. 28, pg. 598-618

Dhakidae, Daniel. 2003. Cendekiawaan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Karsono, Sonny. 2013. Indonesia’s New Order,1966-1998:Its Social and Intellectual Origin. Amerika: Ohio University

Nair, Deepak. 2022. “Spooks, goons,‘intellectuals’: The military–catholic network in the Cold War diplomacy of Suharto’s Indonesia,” in History and Anthropology, Vol.33(3), pg. 372-390

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *