Ancaman Otoritarianisme Baru dari Kotak Suara

0

Ilustrasi Senjakala Demokrasi. Sumber: Pixabay

Bagaimana Demokrasi Mati : Apa yang Diungkapkan Sejarah tentang Masa Depan Kita

Penulis: Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (Alih bahasa oleh Zia Anshor)  

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2019

Tebal: 207 halaman

Buku “Bagaimana Demokrasi Mati”. Sumber: https://ssvr.bukukita.com/babacms/displaybuku/111788_f.jpg

Ketegangan ideologis dan peperangan antarnegara telah berkurang sesudah Perang Dingin. Pertumbuhan demokrasi juga turut membentuk perdamaian dunia — setidaknya menurut teoris perdamaian demokratik. Hari ini, meminjam pernyataan Steven Pinker, “kita mungkin hidup pada zaman paling damai sepanjang riwayat spesies kita.” Kedamaian yang kita rasakan hari ini bukanlah sebuah kondisi yang terberi, melainkan berkat demokrasi dengan segala nilainya.

Demokrasi dengan berbagai bentuknya memang selalu memberi tempat pada kerapuhan. Tetapi, banyak yang percaya bahwa demokrasi, serapuh apapun sistem itu, ia pasti memiliki caranya sendiri untuk bertahan. Bahkan, demokrasi juga sudah dianggap luas sebagai the only game in town.

Di tengah masa paling damai ini, duo profesor asal Harvard University, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, menjelaskan ancaman yang menghantui kita hari ini, yaitu matinya demokrasi dari dalam.

Buku yang ditulis oleh Levitsky dan Ziblatt berangkat dari kekhawatiran terhadap krisis demokrasi di Amerika Serikat. Keduanya adalah profesor yang paham betul mengenai kegagalan demokrasi di Amerika Latin dan negara berkembang. Namun, dalam buku ini mereka menyelami krisis demokrasi Amerika Serikat, negara yang paling getol menantang otoritarianisme dan mendorong demokratisasi.

Dalam buku ini, kedua penulis mengingatkan pembaca bahwa demokrasi di Amerika tidak sehebat yang kita kira. Meskipun Amerika Serikat dilahirkan dalam kredo individualisme dan egalitarianisme, serta menjadikan demokrasi sebagai kepentingan strategis luar negerinya, Amerika Serikat baru merasakan demokrasi penuh pasca 1965.

Di masa Perang Dingin, demokrasi mati oleh moncong senjata, kudeta dan paksaan. Kudeta atas Presiden Salvador Allende di Chile, Muhammad Mursi di Mesir, dan Yingluck Shinawatra di Thailand menggambarkan bahwa kematian demokrasi tampak jelas melalui “Kediktatoran Mencolok” — fasisme, komunisme atau junta militer.

Proses demokratisasi tidaklah statis. Selalu ada pihak-pihak yang menantang demokrasi, ada yang berhasil dan gagal. Namun, menurut Levitsky dan Ziblatt, pembajakan demokrasi hari ini dilakukan secara “legal”. Cara ini tidak dipimpin oleh orang-orang bersenjata, melainkan oleh autokrat terpilih atau pemimpin yang terpilih secara demokratis, yang seharusnya berkomitmen terhadap nilai-nilai demokrasi.

Menurut kedua penulis, pembajakan demokrasi secara “legal” berarti upaya yang sedemikian rupa dicitrakan baik dan perlu untuk memperbaiki demokrasi atau kepentingan bangsa, bahkan disetujui oleh badan legislatif atau yudikatif.

Argumen utama dalam buku ini adalah demokrasi bisa mati di suatu negara ketika dipimpin oleh pemimpin yang berkecenderungan otoriter. Levitsky dan Ziblatt menggunakan istilah elected autocrat atau autokrat terpilih untuk para pemimpin dari hasil pemilu secara teratur, yang cenderung otoriter.

Dalam buku ini, Donald Trump diambil sebagai perwujudan dari elected autocrat yang berhasil menggembosi demokrasi di Amerika. Menurut mereka, Trump sudah dan akan terus melemahkan demokrasi. Levitsky dan Ziblatt melihat bahwa kemunculan Donald Trump dan politisi Amerika hari ini yang mendemonisasi lawan politik, mengambinghitamkan pihak-pihak asing, mendelegitimasi hasil pemilihan umum, melemahkan lembaga-lembaga pelindung demokrasi hingga membredel atau membeli pers, merupakan gambaran bagaimana demokrasi mengalami kemunduran.

Pembajakan demokrasi dengan cara ini berlangsung senyap. Tidak ada kudeta, pembunuhan pejabat publik prodemokrasi, dan pemberlakuan hukum militer membuat masyarakat sipil merasa bahwa mereka masih hidup dalam iklim demokrasi.

Mengenali Autokrat

Untuk mengenali watak otoritarianisme dari para politisi, Levitsky dan Ziblatt mengembangkan sebuah “tes litmus”. Tes litmus ini memberikan empat indikator perilaku otoriter, yaitu (1) menolak aturan main demokrasi, dengan kata-kata atau perbuatan, (2) menyangkal legitimasi lawan, (3) menoleransi atau menyerukan kekerasan, atau (4) menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.

1. Penolakan (atau komitmen lemah) atas aturan main demokratis

Apakah mereka menolak konstitusi atau menunjukkan kesediaan melanggarnya?Apakah mereka mengusulkan cara-cara anti-demokrasi, seperti membatalkan pemilu, melanggar atau membatalkan Konstitusi, melarang organisasi tertentu, atau membatasi hak asasi sipil danpolitik?Apakah mereka berusaha (atau menyetujui) menggunakan cara di luar konstitusi untuk mengubah pemerintah, seperti kudeta militer, perlawanan dengan kekerasan, atau unjuk rasa besar untuk memaksakan perubahan di pemerintahan?Apa mereka berusaha merusak legitimasi pemilu, contohnya dengan menolak menerima hasil pemilu yang kredibel?

2. Menyangkal legitimasi lawan politik

Apakah mereka menyebut lawan sebagai pelaku makar, atau menentang tatanan konstitusional yang ada?Apakah mereka menyatakan bahwa lawan adalah ancaman eksistensial, baik bagi keamanan nasional maupun cara hidup yang umum?Apakah mereka menuduh tanpa dasar lawan partisan sebagai criminal yang dianggap melanggar hukum (atau berpotensi begitu) dan tak memenuhi syarat ikut serta dalam arena politik?Apakah mereka berkata tanpa dasar bahwa lawan adalah antek asing, bekerja sama diam-diam dengan (atau dipekerjakan) pemerintah asing — biasanya yang bermusuhan?

3. Toleransi atau anjuran kekerasan

Apakah mereka punya hubungan dengan geng bersenjata, pasukan paramiliter, milisi, gerilyawan, atau organisasi lain yang terlibat kekerasan tidak sah?Apakah mereka atau sekutu partisan mereka mendukung atau mendorong serangan massa terhadap lawan?Apakah mereka secara tak langsung menyetujui kekerasan yang dilakukan pendukung mereka dengan menolak mencela dan menghukumnya?Apakah mereka pernah memuji (atau menolak mencela) tindakan kekerasan politik, pada masa lalu atau di tempat lain?

4. Kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media

Apakah mereka mendukung hukum atau kebijakan yang membatasi kebebasan sipil, seperti perluasan hukum pencemaran nama baik atau penistaan, atau hukum yang membatasi protes, kritik terhadap pemerintah, atau organisasi sipil atau politik tertentu?Apakah mereka pernah mengancam melakukan tindakan hukum atau lainnya terhadap pengkritik di partai lawan, masyarakat sipil, atau media?Apakah mereka memuji tindakan represif yang dilakukan pemerintah lain, pada masa lalu atau di tempat lain?

Menurut Levitsky dan Ziblatt, politisi yang memenuhi satu saja indikator diatas sudah mengkhawatirkan dan tidak layak mendapatkan kekuasaan. Menariknya, mereka juga menuliskan bahwa tokoh populis cenderung mendapat hasil yang positif dalam tes litmus ini.

Namun, keduanya tidak menjelaskan secara tuntas politik populisme dan bagaimana para populis diasosiasikan dengan perilaku otoriter. Keduanya hanya menulis bahwa, “Populis adalah politisi anti-kemapanan — tokoh-tokoh yang mengaku mewakili suara “rakyat” lalu mengobarkan perang terhadap apa yang mereka gambarkan sebagai elite korup yang bersekongkol”. Mengasosiasikan Alberto Fujimori, Hugo Chavez, Evo Morales, hingga Donald Trump dalam satu kategori: populisme, terlihat bahwa Levitsky dan Ziblatt terlalu menyederhanakan politik populisme itu sendiri.

Kegagalan Partai Politik

Kedua penulis mengimajinasikan partai politik sebagai “penjaga pintu gerbang demokrasi”. Oleh karenanya, kemunculan para autokrat terpilih di alamatkan kepada kegagalan partai politik. Menurut mereka, ada beberapa kegagalan partai politik di Amerika Serikat yang bisa dijadikan pelajaran.

Pertama, gagalnya partai politik meletakkan norma saling toleransi dan menahan diri sebagai fatsun politiknya. Hal itu terlihat dari munculnya suara-suara dari pendukung partai Demokrat agar partai tersebut melakukan cara-cara kotor seperti halnya partai Republik. Kedua, semakin kuatnya lobi-lobi kelompok luar berdana besar seperti Koch Brothers yang mampu mendikte arah kebijakan partai. Lobi-lobi kelompok ini juga dianggap menjadi penyebab partai Republik semakin ekstrem. Ketiga, kegagalan partai politik untuk menjadi front demokratis yang mencegah dan mengisolasi calon-calon autokrat merah kekuasaan.

Buku ini sangat relevan bagi para pemimpin partai politik, akademisi, pemangku kebijakan, dan masyarakat sipil. Buku ini mengidentifikasi ancaman otoritarianisme baru yang dimulai dari kotak suara. Dari buku ini, kita belajar tentang fungsi partai politik sebagai penjaga utama demokrasi dan kewajibannya untuk mengisolasi calon-calon autokrat. “Tes litmus” otoritarianisme juga mampu memudahkan masyarakat sipil untuk memilih mana kandidat yang prodemokrasi dan sebaliknya.

Candra Septian merupakan mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pasundan, Bandung.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *