Perubahan Hagia Sophia Menjadi Masjid Sebagai Pencarian Jati Diri Rakyat Turki

0

Hagia Sophia. Sumber: Pixabay.com

Hantaman komentar bertubi-tubi yang diterima Turki dari berbagai negara mencuat di berbagai media internasional. Hal ini disebabkan oleh keputusan dari Pengadilan Turki yang diumumkan Presiden Recep Tayyip Erdogan bahwa Hagia Sophia mulai Jumat 10 Juli 2020 resmi diubah dari museum ke Masjid. Hal ini mengundang berbagai respon internasional karena bangunan tersebut merupakan salah satu bangunan paling bersejarah, bangunan yang telah mengalami banyak peristiwa, dan mengarungi berbagai zaman peradaban. Meskipun kedigdayaan bangunan tersebut berada di wilayah kedaulatan Turki, namun sangat berharga bagi seluruh umat manusia. Ketika diumumkan pengalihan fungsi menjadi masjid kembali, kecaman demi kecaman terus menyudutkan pemerintah Turki. Akan tetapi, Erdogan tak gentar. 

Setelah berakhirnya Perang Dunia I pada 1918, Kesultanan Utsmani/Ottoman mengalami kekalahan dan wilayahnya dipecah-pecah oleh negara-negara Sekutu sebagai pihak pemenang. Di sisi lain, kekuatan nasionalis bangkit dan menciptakan Turki modern. Pendiri Turki modern dan presiden pertama Republik bercorak Sekuler, Mustafa Kemal Ataturk, memerintahkan agar Hagia Sophia diubah menjadi museum. Dialah orang yang merubah tatanan negara Turki seperti sekarang termasuk yang mengubah Hagia Sophia dari masjid ke museum. 

Meski kerap dipuja masyarakat Turki nasionalis sebagai bapak bangsa berkat jasanya menyelamatkan Turki dari kehancuran, namun kebijakannya yang kontroversial sangat ditentang oleh sebagian masyarakat Turki terlebih kalangan Islamis. Pasca Perang Dunia I Kesultanan Utsmani memang sudah terlihat lemah karena pemerintahan diduduki oleh Inggris dan masalah dari eksternal yang terus menekan. Sehingga di tangan Mustafa Kemal, Turki menggelar Kongres Dewan Nasional. 

Mustafa yang mendapat pendidikan ala barat kemudian melakukan perubahan besar-besaran untuk mengubah Turki menjadi berlandaskan ideologi Sekularisme, yakni kepentingan kenegaraan dipisahkan dari Agama. Karena kebijakan tersebut pula Mustafa Kemal menerapkan gaya Barat di banyak sektor seperti mengubah sistem negara dari Kesultanan menjadi Republik. Perubahan sistem kenegaraan ala barat yang digagas Mustafa Kemal sangat condong kepada Barat tanpa melakukan asimilasi dengan sistem Utsmani yang sudah ada sejak 600-an tahun sebelumnya. Kebijakan kontroversial di antaranya mengubah tatanan Islam dengan gaya baru (nasionalis) seperti tidak memperbolehkan menggunakan jilbab di ranah publik, mengubah tulisan resmi kesultanan Utsmani dari Arab ke Latin dan membuat bahasa sendiri yakni bahasa Turki. Setelah bahasa Turki terbentuk dan menyebar luas, Mustafa Kemal kemudian mengubah adzan, lantunan, dan teks-teks Islam dari bahasa Arab ke bahasa Turki.

Setelah Mustafa Kemal Attaturk menjadi Presiden Turki, untuk pertama kalinya ia menutup Hagia Sophia di tahun 1931. Setelah direnovasi dan menjalani status hukum oleh Pengadilan Tinggi Turki, Hagia Sophia dinyatakan untuk diubah menjadi museum pada 1934 dan dibuka untuk umum pada tahun 1935. Sejak dibuka untuk umum, tempat ini menjadi salah satu tempat wisata paling banyak dikunjungi di Turki. Usut punya usut, ternyata perubahan menjadi museum merupakan permintaan dari pendiri Institut Bizantium Amerika, Thomas Whittemore, yang bersahabat dekat dengan Mustafa Kemal. 

Sejak difungsikan menjadi museum, siapapun dilarang beribadah di seluruh gedung Hagia Sophia. Namun pada tahun 2006, Pemerintah Turki mengalokasikan ruangan khusus di kawasan museum untuk kebutuhan sholat staf museum. 

Kemudian, awal Juli ini, di pemerintahan Erdogan, Pengadilan menyatakan pengalihfungsian Hagia Sophia sebagai Museum sebagai tindakan yang ilegal. Pada saat 10 Juli 2020 Pengadilan Tinggi memutuskan konversi bangunan menjadi museum oleh negarawan pendiri Turki Modern adalah Ilegal. Pengadilan menyatakan Hagia Sophia merupakan properti milik Sultan Mehmed II dan digunakan sebagai masjid tanpa membayar, dan bukan merupakan wewenang parlemen maupun Dewan Kementerian era Mustafa Kemal untuk mengubah statusnya menjadi apapun termasuk museum.

Proses pengembalian Hagia Sophia menjadi masjid kemudian menuai kecaman, seolah-olah Islam tidak boleh ditegakkan. Satu jam setelah putusan, Erdogan langsung menandatangani dekrit dan mengumumkannya disertai bahwa untuk pengelolaan Masjid Hagia Sophia diserahkan kepada Direktorat Urusan Agama dan membukanya untuk ibadah kaum muslim.

Dibalik perjuangan masyarakat Turki untuk mengubah Hagia Sophia menjadi masjid seperti yang didiskusikan pada Podcast Kontekstual.com, pada dasarnya bukan sebatas masalah bangunan saja secara fisik namun lebih kepada nilai kebebasan rakyat Turki terhadap sekularisasi.  Momentum ini bagaikan simbol dari masyarakat Turki  sendiri yang sedang mencari identitas diri mereka setelah sempat mengalami gap sangat ekstrim. 

Semenjak Utsmani runtuh dan digantikan dengan Republik Turki sejak tahun 1924 paham sekularisme menjangkiti negara menjadikan masyarakat terbelah menjadi dua kubu yakni masyarakat Nasionalis yang berpaham sekularisme demokratis dan masyarakat Islamis yang berpaham konservatif. Akan tetapi, pengaruh sekularisasi lebih kuat. Maka dari itu karena sekularisasi sudah menghegemoni masyarakat Turki, mereka berpikir bagaimana agar ideologi sekuler dan islam dapat hidup berdampingan sebagai satu kesatuan dari jati diri Turki yang baru dan lebih baik.

Presiden Erdogan sangat getol mengembalikan ruh-ruh Islam di Turki. Ambisi Erdogan dalam mengembalikan nilai-nilai Islam di Turki yang sempat terpasung puluhan tahun mendapat banyak dukungan dari rakyatnya. Hal ini karena ada rasa ketidaknyamanan dalam diri masyarakat Turki terlebih masyarakat Islamis yang sejak lama resah dengan kebijakan-kebijakan sekularisme. Wajar saja jika masyarakat dihantui rasa ketidaknyamanan karena Kesultanan Utsmani yang sudah berdiri selama 6 abad lamanya harus digantikan dengan sistem sekularisme yang dipaksakan oleh Mustafa Kemal. Nilai ala Barat yang diimplementasikan di berbagai sektor, membuat masyarakat Islamis tak bisa berbuat banyak. Dengan kekuatan pengikutnya yang banyak, militer yang kuat, serta dukungan dari negara barat Mustafa Kemal yang berlatar belakang militer menggunakan gaya pemaksaan ke seluruh masyarakat Turki untuk meninggalkan nilai-nilai lama dan mengganti nilai-nilai baru yang diadopsi dari Barat dengan dalih agar Turki bisa bangkit dan maju setara dengan negara-negara Eropa. 

Komentar buruk sampai pengecaman dilakukan oleh tokoh tokoh dunia Barat dengan alasan merusak nilai universal peradaban beragama sehingga bangunan tersebut dilarang untuk ibadah umat Islam. Kini dunia semakin berubah, mereka seolah lupa bahwa kini semua masyarakat dunia menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan nilai-nilai toleransi sebagai umat manusia yang beradab. 

Mukti Bagus Panuntun merupakan mahasiswa program studi Hukum Keluarga Islam, UIN Walisongo, Semarang.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *