Bagaimana Takhayul, Mitos, dan Kepercayaan Memengaruhi Kebijakan dan Pemerintahan?

0

Ilustrasi demonstran di Myanmar yang menggantungkan Longyi sebagai bentuk kepercayaan pada mitos dan takhayul. Foto: AP

Ada hal yang sangat menarik untuk diperhatikan dari aksi massa yang terjadi di Myanmar saat ini, tindakan represi yang dilakukan pihak militer terhadap demonstran ditanggapi dengan cukup unik oleh para demonstran dengan menggantungkan Longyi, pakaian tradisional semacam sarung khas Myanmar yang merupakan pakaian dalam wanita. Dalam kepercayaan Myanmar, ketika laki-laki bersentuhan dengan Longyi ataupun pakaian dalam wanita maka akan melemahkan kekuatan yang ia miliki. Bahkan pada beberapa kasus, ketika mendapatkan kunjungan utusan atau tamu asing mereka akan menempatkan Longyi di langit-langit kamar hotel mereka untuk melemahkan hpoun yang mereka miliki (Selth, 2009). Hpoun atau marwah merupakan sesuatu yang amat dijunjung tinggi dalam kepercayaan Myanmar sehingga hal-hal yang dianggap mampu mengurangi hpoun ini sebisa mungkin untuk dihindari. Kepercayaan ini kemudian digunakan oleh demonstran pro-demokrasi di Myanmar untuk menghalangi dan memperlambat laju pergerakan militer Myanmar, selain itu aktivis pro demokrasi Myanmar juga turut menggunakan kepercayaan ini sebagai tanda keberuntungan misalnya saja aksi 8888 yang melambungkan nama Aung San Suu Kyi sangat erat dengan kepercayaan bahwa angka 8888 membawa keberuntungan.

Myanmar memang mempunyai hubungan yang sangat erat dengan kepercayaan atau bahkan takhayul, banyak kebijakan strategis pemerintahan yang diambil berdasarkan kepercayaan yang dimiliki oleh pemimpin mereka, misalnya keputusan mereka untuk memindahkan lajur mengemudi di sisi kiri jalan menjadi ke sisi kanan pada tahun 1970 dilakukan karena astrolog yang dipercaya oleh pemerintah menganggap bahwa pemerintahan Myanmar sudah terlalu condong ke kiri (Selth, 2009). Hal ini termasuk juga dengan mengeluarkan uang pecahan 45 dan 90 Kyat di tahun 1987, dimana hal ini dilakukan untuk mengakomodasi obsesi pemimpin mereka saat itu Jenderal Ne Win terhadap angka 9. Bahkan pemindahan Ibukota dari Yangoon ke Naypyidaw juga disinyalir berkaitan dengan obsesi Jenderal Than Swe terhadap kepercayaan tersebut (Selth, 2009).

Sebagian besar penduduk Myanmar memang menganut agama Buddha aliran Theravada sebagai agama mayoritas mereka, namun dalam praktiknya mereka juga mengakomodasi kepercayaan mereka terhadap roh-roh yang mereka percayai yang bahkan yang tidak termuat dalam ajaran Buddha sendiri, hal ini tercermin dari kepercayaan mereka kepada penggunaan jimat, tattoo dan tempat-tempat yang dianggap dihuni oleh roh-roh (Walton, 2017).

Merentang Pengaruh Takhayul, Mitos, dan Kepercayaan di Dunia 

Sangat menarik melihat bagaimana Myanmar mengatur negaranya sangat erat dengan kepercayaan atau takhayul yang mereka percayai. Selain Myanmar, banyak juga kepercayaan atau takhayul yang dipercaya yang memengaruhi kebijakan strategis di dunia. Dalam praktiknya, takhayul, mitos, dan kepercayaan nyatanya melampaui batasan agama yang dianut. Bahkan negara-negara yang sudah dianggap maju pun tetap menjalankan apa yang mereka yakini.

Takhayul dan mitos merupakan hal yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat secara turun temurun dan biasanya disebarkan melalui mulut ke mulut. Frasa ini digunakan untuk mengungkapkan sebuah kepercayaan atau pengaruh yang dipercaya oleh masyarakat namun tidak dapat dijelaskan secara rasional (Ulya, Thahar , Asri, & Agustina, 2018). Selain itu, mitos, takhayul, dan kepercayaan juga muncul dari ketakutan seseorang kepada suatu hal atau keinginan seseorang untuk dinaungi keberuntungan ataupun keberkahan dari hal yang dipercayainya (Dissa, Adjouro, Traore, & Yorote, 2017). Hal ini dapat menjelaskan bagaimana seseorang memiliki jimat yang digunakan untuk menghindarkan mereka dari ketakutan ataupun menjadi “pegangan” agar mereka diikuti oleh keberuntungan dan melakukan aktivitas yang mampu menghindarkan mereka dari hal buruk ataupun untuk mendatangkan keberuntungan bagi mereka.          

Indonesia merupakan negara dengan penganut agama Islam terbesar di dunia, namun hal ini tidak menghalangi Indonesia untuk mempercayai hal berbau mistis seperti takhayul ataupun mitos. Bahkan, Mochtar Lubis dalam pidato kebudayaan yang dibacakan pada tahun 1977 menyatakan bahwa  salah satu ciri orang Indonesia adalah percaya pada takhayul ataupun mitos. Hal ini terbukti dengan banyak sekali mitos dan takhayul yang berkembang di masyarakat, salah satunya adalah bahwa pada suatu saat nanti akan muncul yang disebut dengan Ratu Adil yang akan membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Terminologi Ratu Adil terus diulang sepanjang sejarah Indonesia, bahkan kepercayaan ini digunakan oleh Westerling untuk menamai pasukannya Angkatan Perang Ratu Adil atau APRA. Jika ditilik, yang pertama kali mengeluarkan ramalan mengenai Ratu Adil adalah Raja Jayabaya yang merupakan raja dari kerajaan Kediri yang bercorak Hindu-Buddha. Namun sampai dengan saat ini, di setiap pemilihan presiden Indonesia selalu saja ada yang mencocok-cocokan ciri-ciri dari calon presiden dengan ciri-ciri yang Ratu Adil yang dirumuskan dalam ramalan tersebut walaupun Hindu dan Buddha sudah menjadi agama minoritas yang dianut. Contoh lainnya adalah bagaimana di setiap tahun pemilihan, kita sering melihat calon legislatif dan eksekutif mengunjungi atau nyekar ke makam orang-orang yang dianggap memiliki karomah, ataupun yang memilih untuk berkonsultasi dengan ahli-ahli spiritual dengan berbagai macam bentuk seperti dukun ataupun pemuka agama tertentu yang diyakini dapat memberikan nasehat spiritual berdasarkan agama yang dianut (Zulfiqar, 2016). 

Singapura sebagai salah satu negara yang dianggap paling maju di Asia Tenggara juga tidak bisa lepas dari hal yang berbau takhayul. Dikatakan bahwa pada suatu hari Perdana Menteri Lee Kuan Yew didatangi oleh seorang biarawan yang amat dihormati yang mengatakan bahwa ekonomi Singapura akan semakin gemilang jika semua penduduk memiliki dan membawa Bagua, benda berbentuk segi delapan yang merupakan simbol dari Feng shui (Independent, 2014). Lee menyatakan ketidakpercayaan terhadap saran ini, namun nyatanya ekonomi Singapura yang semakin maju sebagai negara kecil dan dapat bersaing dengan negara-negara maju lainnya sering dikaitkan dengan fakta koin 1 dolar Singapura memiliki bentuk persegi delapan yang menyerupai Bagua dan tetap dipertahankan hingga saat ini karena membawa keberuntungan.  

Salah satu episode Vox Border pernah membahas mengenai bagaimana tata kota Hong Kong dibangun berdasarkan kepercayaan mereka terhadap Feng shui. Bahkan pada titik yang paling ekstrem mereka percaya bahwa untuk memasang pintu harus dilakukan pada waktu tertentu yang sangat tepat (Guardian, 2018). Contoh lainnya adalah bagaimana ketika penduduk asli Hong Kong mendapatkan dana tambahan sebesar 10 juta dolar Hong Kong untuk konsultasi Feng Shui di tempat yang disediakan oleh pemerintah sebagai bentuk kepercayaannya (Guardian, 2018). Jika contoh diatas belum terlalu terlihat maka kita dapat melihat bagaimana gedung-gedung di Hong Kong memiliki bentuk yang nyeleneh seperti berlubang di tengah ataupun bentuk-bentuk persegi yang rumit, semuanya didasari pada kepercayaan mereka terhadap Feng shui, hal ini menunjukkan bagaimana kepercayaan mereka terhadap mitos dapat memengaruhi kebijakan publik mereka.

Jepang sebagai salah satu negara yang menjadi pemimpin dalam bidang teknologi juga tidak dapat melepaskan diri dari sistem kepercayaan. Hal ini dapat dilihat dari penggambaran mereka mengenai Kaisar yang berdasarkan kepercayaan yang berlaku merupakan keturunan dari Dewa Matahari atau Amaterasu (Rangdrol, 2018). Hal ini tentunya menjadi paradoks jika kita melihat Jepang secara luas sebagai negara modern yang diperkuat dengan basis teknologi dengan perilaku yang selalu didasari dengan kepercayaan mereka terhadap mitos. Misalnya adalah kepercayaan dan penghormatan kepada kuil yang dipercaya dapat membuat pemimpin Jepang seperti Kaisar ataupun Perdana Menteri dinaungi oleh roh-roh para pahlawan perang, namun disisi lain kepercayaan ini malah sering menimbulkan ketegangan dengan negara Asia seperti Tiongkok, Korea Selatan dan lainnya yang selama masa Perang Dunia Kedua menjadi korban keganasan dari mereka yang dianggap sebagai pahlawan oleh masyarakat Jepang (Rangdrol, 2018).   

Takhayul, Mitos, dan Kepercayaan yang Melampaui Tingkat Pendidikan, Ekonomi dan Sosial

Seperti contoh Singapura, Hong Kong dan Jepang yang diuraikan di atas, dapat dilihat bahwa kepercayaan, mitos, bahkan takhayul dapat melampaui batas-batas tingkat ekonomi, sosial, dan pendidikan. Sangat umum untuk menganggap bahwa orang yang percaya pada mitos dan takhayul dianggap berada di tingkatan sosial, ekonomi, dan pendidikan yang rendah. Padahal fakta yang terjadi bukan demikian, yaitu kepercayaan terhadap takhayul dan mitos ternyata tidak terkait dengan kecerdasan, pendidikan, sosial ekonomi, bahkan lokasi tempat tinggal seperti di pedesaan maupun perkotaan (Ulya, Thahar , Asri, & Agustina, 2018). Hal ini diperkuat dengan fakta mengenai orang-orang yang menghabiskan ribuan dolar untuk konsultasi paranormal atau mereka yang dapat menghabiskan lebih banyak uang untuk plat nomor kendaraan atau nomor telepon yang dianggap memberikan keberuntungan (Risen, 2015). Tentunya orang-orang yang berani untuk menghabiskan banyak uang untuk sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara secara rasional adalah mereka yang berkantong tebal. 

Bagaimana Takhayul dan Mitos Menjadi Pertimbangan dalam Pengambilan Keputusan   

Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa mitos dan takhayul lahir dari ketakutan seseorang kepada sesuatu hal atau keinginan seseorang untuk keinginan seseorang untuk dinaungi keberuntungan ataupun keberkahan dari hal yang dipercayainya. Dalam sebuah wawancara pada tahun yang dirilis oleh channel Sehat Berpikir (2020), Ryu Hasan, seorang dokter yang berfokus pada Neurosurgeon mengatakan bahwa sepanjang evolusi manusia, otak manusia selalu tidak rasional dan tidak menganggap penting mengenai apakah suatu hal benar atau salah dan lebih mengutamakan bagaimana cara bertahan hidup. Selain itu, selama ribuan tahun, takhayul dan mitos memberikan jawaban atas pertanyaan yang tidak mampu dijawab oleh manusia dan manusia pun puas akan jawaban tersebut. Otak manusia bekerja untuk mencari pola-pola tertentu untuk tetap bertahan hidup sehingga hal ini dapat menjelaskan bagaimana manusia mengambil keputusan berdasarkan pengalaman yang pernah dialaminya. 

Menjadi menarik ketika kita menghubungkan hal tersebut ke dalam situasi politik. Kombinasi dari keinginan untuk mempertahankan keberlangsungan hidup (dalam hal ini kekuasaan ataupun hegemoni), rasa tidak percaya diri manusia terhadap kemampuannya, dan kepercayaan mereka terhadap suatu perbuatan untuk mendatangkan keberuntungan dan menghindari kesialan pada akhirnya membuat takhayul dan mitos menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan.

Kesimpulan dan Penutup 

Sangat menarik untuk mengamati bagaimana kepercayaan, takhayul, dan mitos masih memiliki tempat di dunia yang semakin modern ini. Masih banyaknya orang yang memegang kepercayaan ini dapat menjadi petunjuk bahwa manusia sebenarnya masih belum dapat mengontrol semua hal dan masih memerlukan satu atau dua hal sebagai pegangan atau setidaknya sesuatu untuk disalahkan ketika ada hal yang berada di luar kemampuan nalar. Ketidaksempurnaan ini terkadang justru menjadi paradoks bagi negara-negara yang dianggap sudah maju namun masih mempercayai hal-hal yang belum dapat dijelaskan secara rasional. 

Pada tingkatan tertentu, kepercayaan terhadap hal ini dapat memengaruhi pengambilan kebijakan dan keputusan dalam negeri seperti pemindahan ibukota di Myanmar ataupun justru memperkeruh dan memanaskan hubungan luar negeri seperti yang terjadi di Jepang, atau contoh lainnya ketika penggunaan takhayul dan mitos digunakan oleh para demonstran untuk membantu perjuangan mereka. 

Apapun itu, sangat sulit untuk begitu saja memisahkan takhayul, mitos, dan kepercayaan dari sebuah masyarakat karena ketiganya telah hadir bahkan menjadi teman evolusi umat manusia sejak lama. Walaupun sering disalahpahami namun ketiganya menjadi pengikat yang kuat agar budaya terus bertahan dari generasi ke generasi.

Referensi:

Dissa, Y., Adjouro, T., Traore, A., & Yorote, A. (2017). A Case Study of the Effects of Superstitions and Beliefs on Mali. International Journal of African and Asian Studies, 71-80.

Guardian. (2018). Hong Kong: the city still shaped by feng shui. London: The Guardian. Retrieved March 20, 2021, from https://www.theguardian.com/cities/2018/jul/19/hong-kong-the-city-still-shaped-by-feng-shui#:~:text=%E2%80%9CThe%20reason%20we%20call%20it,principle%20of%20wind%20and%20water.

Independent. (2014). Superstition and politics. SIngapore: The Independent. Retrieved March 20, 2021, from https://theindependent.sg/superstition-and-politics/

Rangdrol, D. (2018). THE ENDURING AMBIGUITIES OF JAPAN’S POSTWAR SECULARISM. Ottawa: University of Ottawa.

Risen, J. L. (2015). Believing What We Do Not Believe: Acquiescence to Superstitious Beliefs. American Psychological Association.

Selth, A. (2009). Burma Superstitous Leader. Sydney: The Interpreter.

Sehat Berpikir. (2020,16 Okt). Melihat Superstition atau Takhyul dari sisi Neurosains bersama dengan @deyang dan dokdes @ryuhasan. Youtube. https://www.youtube.com/watch?v=dOSmOmHfXPU&t=53s

Ulya, R. H., Thahar , H. E., Asri, Y., & Agustina. (2018). Cultural manifestation in superstition of Minangkabau society. International Conferences on Education, Social Sciences and Technology, 422-429.

Walton, M. J. (2017). Buddhism, Politics and Political Thought in Myanmar. Cambridge: Cambridge University Press.

Zulfiqar, E. (2016). PRAKTIK PERDUKUNAN DALAM PENTAS POLITIK LOKAL. Padang Sidempuan: Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan.

Mohd Derial adalah alumni Manajemen Universitas Sumatera Utara. Dapat dihubungi melalui Twitter dan Instagram di @mderial

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *