NAFTA: Dual Bilateralisme Penghambat Regionalisme

0

Penandatanganan NAFTA pada Oktober 1992 di San Antonio, Texas. Foto: George Bush Presidential Library

Sebagaimana kawasan lainnya, Amerika Utara memiliki ciri khas dari wilayahnya sendiri yang membentuk dinamika regionalnya. Dalam hal ini, Amerika Utara adalah kawasan dengan regionalisasi tersukses yang ditopang oleh perjanjian perdagangan bebasnya, yakni NAFTA. NAFTA telah berhasil meningkatkan arus perdagangan dan integrasi ekonomi di Amerika Utara secara signifikan. 

Meski begitu, setelah puluhan tahun berjalan, tidak ditemukan proses regionalisme yang berarti, yang menjadikan kasus Amerika Utara berbeda dengan lainnya. Hal inilah yang menjadikan kasus Amerika Utara menjadi menarik. Terlebih lagi, kawasan tersebut yang hanya terdiri dari tiga negara yang memiliki banyak kemiripan secara sosial dan politik. Terdapat dugaan bahwa kandasnya regionalisme ini berkaitan dengan posisi Amerika Serikat sebagai hegemon, yang akan dieksplorasi lebih jauh dalam tulisan ini. 

NAFTA dan Regionalisasi

North American Free Trade Area (NAFTA) merupakan salah satu perjanjian perdagangan bebas terbesar di dunia. Secara total, total PDB negara NAFTA mencapai 21% dari total PDB dunia pada tahun 2012 (IMF, 2013). Sejak ratifikasinya pada 1993, memang telah terjadi peningkatan arus perdagangan secara drastis yang kemudian menopang terwujudnya regionalisasi Amerika Utara.

Sebelumnya, patut diketahui perbedaan antara regionalisasi dengan regionalisme. Regionalisasi adalah proses integrasi ekonomi yang didorong oleh sektor privat dengan adanya liberalisasi perdagangan dan investasi. Sementara itu, regionalisme adalah keseluruhan integrasi (politik, ekonomi, keamanan, dan lain sebagainya) regional menuju pengambilan keputusan bersama yang lebih mengikat dan terinstitusionalisasi (Hurrell, 1995).

Teori mengenai regionalisme ini dijelaskan secara lebih lengkap dalam teori regionalisme konvensional dari Bela Balassa. Menurutnya, sebuah regionalisme memang biasanya dimulai dengan perjanjian perdagangan bebas. Dinamika kawasan kemudian akan terus berproses dalam regionalisme menjadi sebah political union layaknya Uni Eropa. Secara singkat, teori regionalisme konvensional dapat dirangkum dalam tabel berikut:

Tabel 1.1 Tahapan Regionalisme Konvensional (Sumber: Balassa, The Theory of Economic Integration, 1961)

Dalam hal ini, NAFTA memiliki perbedaan dengan perjanjian perdagangan bebas lainnya. Menyusul terpilihnya Ronald Reagan sebagai presiden AS ke-40, dunia, termasuk Amerika Utara, seakan tersapu dalam gelombang baru neoliberalisme yang didalamnya termasuk pula agenda perdagangan bebas. Hal ini pertama kali ditandai dengan terpilihnya Brian Mulroney sebagai Perdana Menteri (PM) Kanada. Kemenangan Mulroney sebelumnya dilihat memiliki faktor besar dari pendahulunya, Pierre Trudeau dari Partai Liberal, yang sangat nasionalis dan proteksionistik. Hal tersebut kemudian menjadi topik debat yang panas, dan berhasil mengantarkan Mulroney dari Partai Progresif Konservatif berkuasa.

Mulroney, meski ketika menjadi oposisi pernah berujar tidak akan mengambil ide free trade atau perdagangan bebas, berubah pikiran pada 1985. Pada 1 Oktober 1985, Mulroney kemudian mengirimkan permintaan untuk memulai pembicaraan perjanjian perdagangan bebas. Akhirnya, disepakatilah Canada-US Free Trade Agreement (CUSFTA) pada 2 Januari 1988 yang ditandatangani oleh Mulroney dan Reagan. Tidak lama kemudian, Meksiko juga mengikuti langkah Kanada. Presiden Meksiko Carlos Salinas de Gortari, yang sebelumnya menyatakan bahwa free trade tidak sesuai dengan kepentingan Meksiko pada 1988, memulai pembicaraan perjanjian perdagangan bebas dengan AS pada 10 Agustus 1990 (Capling dan Nossal, 2009).

Regionalisme, Trilateralisme, atau Dual-Bilateralisme

NAFTA kemudian menunjukkan bahwa regionalisme Amerika Utara mulai dengan titik yang sama, yakni perjanjian perdagangan bebas antara negara, tetapi segera mengambil belokan yang berbeda. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh jumlah negara anggotanya yang terbilang sedikit. Jika di perjanjian perdagangan lain seperti di Uni Eropa atau ASEAN memiliki sepuluh atau lebih negara anggota, NAFTA hanya terdiri dari tiga negara saja.

Dinamika akibat jumlah tiga negara tersebut kemudian terlihat seiring dengan pembicaraan perdagangan AS-Meksiko. Kanada kemudian mengusulkan pembicaraan perdagangan AS-Meksiko tersebut di-trilateralisasi. AS dan Meksiko setuju, maka disertakanlah Kanada dalam pembicaraan tersebut. Pembicaraan trilateral inilah yang kemudian menghasilkan NAFTA pada 1994 (Capling dan Nossal, 2009).

Meski kemudian tampak sebagai regionalisme bercorak trilateral, tetapi juga menonjolkan karakteristik lain. Kanada dan Meksiko sama-sama memiliki ketergantungan dagang yang tinggi dengan AS. Pada tahun 1980-an saja, 72% impor dan 75.8% ekspor Kanada adalah dengan AS (Granatstein and Bothwell, 1991). Pada 1994, 78% ekspor dan 68% impor Meksiko adalah dengan AS (Cooper, 1999). Sementara itu, tidak terjadi peningkatan dagang yang signifikan antara Meksiko dengan Kanada. Penerapan NAFTA kemudian hanya mengakselerasi tren ini. Akhirnya terlihatlah pola regionalisme yang diciptakan NAFTA yang tampak tidak umum. Bukan seperti Uni Eropa yang terjadi peningkatan dagang antara seluruh anggotanya, tetapi peningkatan dagang dengan AS sebagai porosnya. Inilah mengapa NAFTA kemudian lebih baik dipahami tidak sebagai regionalisme atau trilateralisme, tetapi dual-bilateralisme.

Hegemoni AS dan Kemustahilan Regionalisme

Kondisi dual-bilateralisme yang terjadi dalam NAFTA tersebut mencerminkan suatu permasalahan yang lebih besar, yang hingga kini tidak memungkinkan terwujudnya suatu regionalisme Amerika Utara. Pertama, NAFTA adalah perjanjian perdagangan bebas yang diinisiasi oleh dua ekonomi kecil dengan sebuah ekonomi raksasa. Motivasi baik Kanada atau Meksiko hampir secara eksklusif adalah ekonomi, sehingga tidak ada kehendak untuk melakukan regionalisme yang lebih dalam. Terlebih lagi, NAFTA adalah perjanjian perdagangan bebas yang benar-benar terpaku kepada elit pemerintahan dan tidak melibatkan masyarakat. Tidak ada faktor pendorong regionalisme di Asia dan Eropa yang ditemukan di Amerika Utara (Capling dan Nossal, 2009).

Kedua, faktor hegemoni AS yang memainkan peran besar dalam mencegah regionalisme di Amerika Utara. AS, yang bukan hanya hegemon di Amerika Utara, tetapi di dunia, memiliki ketimpangan power yang jauh lebih tinggi dibanding Kanada dan Meksiko. Dengan status hegemon-nya tersebut, AS tidak merasa terdapat urgensi untuk mendorong regionalisme yang akan menggerus kedaulatannya. AS merasa cukup dan kuat hanya dengan dirinya sendiri. Sementara itu, dari kelompok-kelompok buruh dan kiri juga terdapat penentangan terhadap NAFTA, apalagi regionalisme (Capling dan Nossal, 2009).

Dengan prospek regionalisme yang rendah tersebut, justru kemudian terjadi fenomena-fenomena yang seakan mematikan kemungkinan tersebut. Peristiwa 9/11 misalnya, telah menyebabkan AS memperketat perbatasannya dan menjadi semakin inward-looking. Akibatnya, terjadi rebordering dan usaha untuk menarik industri yang berada di Kanada dan Meksiko kembali ke dalam perbatasan AS. 9/11 telah membuat regionalisme mundur bertahap (Capling dan Nossal, 2009).

Sementara itu, paling baru NAFTA telah digantikan oleh US-Mexico-Canada Agreement (USMCA) di masa Presiden Trump. Trump sejak awal telah mengampanyekan akan merenegosiasi NAFTA untuk mendapatkan ketentuan yang lebih menguntungkan bagi AS. Akhirnya, setelah beberapa perseteruan terkait dagang dengan Kanada dan Meksiko, ketiga negara tersebut menyepakati USMCA yang lebih menguntungkan AS. Terdapat beberapa poin perubahan di dalamnya, tetapi salah satu contoh poin yang menguntungkan AS adalah semakin terbukanya pasar produk olahan susu Kanada bagi para peternak AS dan juga komposisi suku cadang mobil dari Amerika Utara yang dinaikkan menjadi 75% dari 62,5% (Vox, 2018). Penerapan USMCA ini kembali menunjukkan bahwa yang dominan dalam dinamika Amerika Utara bukanlah regionalisme, melainkan hanya regionalisasi yang diiringi hegemoni AS.

REFERENSI:

Balassa, Bela. 1961. The Theory of Economic Integration. Illinois: Richard Irwin.

Capling, Ann and Kim Richard Nossal. 2009. “The contradictions of regionalism in North America.” Review of International Studies, Vol.35, p.147–153 doi:10.1017/S0260210509008468.

Cooper, Andrew F. 1999. “NAFTA and the Politics of Regional Trade”, in Trade Politics: International Domestic and Regional Perspectives, ed. Brian Hocking and Steven McGuire. New York: Routledge. p.235.

Granatstein and Robert Bothwell. 1991. Pirouette: Pierre Trudeau and Canadian Foreign Policy. Toronto: University of Toronto Press.

Hurrell, Andrew. 1995. “Explaining the Resurgence of Regionalism in World Politics”, Review of International Studies, 21(3), p. 331–358.

IMF. 2013. “IMF – World Economic Outlook Databases”, accessed 20 March 2021 https://www.imf.org/external/pubs/ft/weo/2013/02/weodata/weorept.aspx.

Vox. 2018. “USMCA, Trump’s new NAFTA deal, explained in 600 words”, accessed 20 March 2021 https://www.vox.com/2018/10/3/17930092/usmca-mexico-nafta-trump-trade-deal-explained.

Ikhlas Tawazun adalah mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia dan Editor-in-Chief Kontekstual. Dapat ditemui di sosial media dengan nama pengguna @tawazunikhlas

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *