Budaya Migrasi Tanpa Garansi: Pengalaman Migran NTT di Malaysia

0

Aksi Persada Indonesia mengecam kekerasan terhadap TKI di depan Kedubes Malaysia tahun 2018. Foto: Arie Basuki/Merdeka.com

Di awal tahun ini, Indonesia kembali digemparkan dengan kasus-kasus pemulangan jenazah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang berasal dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Setidaknya, terdapat satu hingga dua peti jenazah yang berhasil dipulangkan dari Malaysia setiap minggunya (BBC Indonesia, 2023). 

Kejadian ini berkaitan erat dengan fenomena migrasi sendiri yang dalam ilmu Hubungan Internasional (HI) merupakan fenomena yang sering terjadi dan telah menjadi bagian dari dinamika setiap negara. Gillian Brock (2010) menyatakan bahwa migrasi merupakan salah satu sarana untuk menaikan taraf kehidupan masyarakat untuk menjadi lebih baik. Sedangkan seorang migran adalah orang yang meninggalkan negaranya dan yang diterima oleh negara penerima. 

Pada kenyataannya, kasus pemulangan jenazah asal NTT menjadi bukti bahwa migrasi tidak senantiasa menjadi sarana meningkatkan taraf hidup yang lebih baik.  Sejalan dengan kasus yang terjadi di NTT, Bourbeau (2011) berpendapat bahwa beberapa migrasi juga memiliki keterkaitan tersendiri dengan aspek keamanan, khususnya keamanan nasional dan manusia. Dengan kata lain, migrasi tidak selalu dapat dinilai sebagai fenomena positif. 

NTT merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang sejak dulu dikenal sebagai daerah asal para migran, termasuk menggunakan perahu karena kondisi geografisnya yang terdiri dari wilayah kepulauan. Dengan jangka waktu yang lama, maka migrasi yang sering dilakukan oleh masyarakat NTT dikenal sebagai Migrasi Tradisional NTT yang merupakan bagian dari budaya migrasi, tepatnya terjadi sejak Indonesia sebelum merdeka. Migrasi yang kemudian menjadi budaya tersendiri bagi masyarakat NTT yang mayoritas menuju ke Malaysia. Terdapat porsi signifikan masyarakat NTT yang sudah pernah atau sedang bekerja di Malaysia (BBC Indonesia, 2023). 

Adanya budaya migrasi masyarakat NTT ke Malaysia pada dasarnya menjanjikan kehidupan yang lebih baik daripada sekedar menjadi nelayan, yang merupakan profesi umum di NTT. Migrasi juga didorong oleh  tingginya faktor ketimpangan yang terjadi di Indonesia karena konsentrasi kekayaan terjadi di kota-kota besar, khususnya di Jawa. NTT merupakan wilayah Indonesia Timur dengan tingkat kemiskinan yang cukup tinggi dan taraf pendidikan yang sangat rendah, yaitu rata-rata hanya lulusan sekolah dasar (Putri, et al, 2022). Adanya kondisi geografis yang terdiri dari kepulauan juga mendorong kemiskinan semakin sulit diatasi dan pendidikan rendah semakin berkelanjutan. Selain itu, kondisi teritorial yang tidak mendukung juga membatasi ruang gerak masyarakat NTT  (Almu, et al., 2018). Seiring berjalannya waktu, masyarakat NTT menemukan cara baru untuk meningkatkan kebutuhan hidupnya, yaitu dengan bermigrasi ke Malaysia yang kemudian disebut sebagai Malay World karena tingginya keterkaitan historis dengan  Indonesia (Tirtosudarmono, 2018).

Meskipun migrasi dianggap sebagai sarana meningkatkan taraf hidup masyarakat NTT, tetapi TKI NTT yang melakukan migrasi kultural ke Malaysia mayoritas banyak menjadi buruh migran undocumented atau ilegal (Zana, 2016). Migran ilegal adalah migran yang memasuki negara bagian lain tanpa adanya izin dan sering kali tetap berada di negara tuan rumah tanpa visa yang memungkinkan mereka untuk tinggal atau bekerja di sana. Di Malaysia, buruh migran undocumented disebut sebagai pendatang haram tanpa izin (PATI) (Zana, 2016). Dengan tidak adanya izin bekerja yang sah dari pemerintah, maka keselamatan TKI akan lebih rentan dan membahayakan. Meskipun ilegal, namun migrasi tersebut tetap dilakukan TKI NTT hingga saat ini dengan berbagai resiko yang telah ditimbulkan. TKI Adelina adalah salah satu contoh migran ilegal yang digolongkan sebagai perdagangan manusia atau human trafficking dengan kedok pekerjaan (Wahyudi, 2019). Penyaluran migran ilegal tergolong sebagai human trafficking karena bersifat represif dengan tujuan eksploitasi manusia secara langsung (Daniel, et al., 2017).

Para mafia TKI atau penyalur pekerja migran umumnya menggunakan tipuan agama, yaitu dengan menyatakan bahwa pergi ke Malaysia adalah perintah Roh Kudus untuk menghidupi anak-anaknya (BBC Indonesia, 2023). Faktor tradisi keturunan juga mendorong masyarakat NTT untuk terus melaksanakan migrasi ke Malaysia yang umumnya dilakukan melalui  jalur  ilegal. Calon migran asal NTT memilih jalur ilegal karena mafia TKI memiliki jaringan berlapis sehingga lebih mudah mempersuasi dan memberikan jalur yang dianggap paling sederhana dan murah (Robot, et al., 2023).

Adanya jalur ilegal tersebut menciptakan berbagai permasalahan yang mengancam keamanan migran NTT. Selama tahun 2020, tercatat lebih dari 87 migran asal NTT meninggal di luar negeri (Binus University, 2021).  Selain itu, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) juga mencatat lebih dari 150 kasus pengaduan dalam waktu empat tahun terakhir (Robot, et al., 2023). Dari jumlah pengaduan kasus yang ada, 90% diantaranya berasal dari migran ilegal yang dikirim ke Malaysia. Lebih dari itu, pada tahun 2023 tercatat bahwa rata-rata setiap minggu terdapat satu hingga dua peti jenazah dikirim dari malaysia ke NTT. 

Migrasi Sebagai Pemicu Konflik Keamanan Nasional dan Internasional

Banyaknya migrasi ilegal yang dilakukan secara terus-menerus dari generasi ke generasi tentunya dapat memicu persoalan keamanan nasional dan internasional. Dari sudut pandang keamanan nasional, migrasi dari suatu penduduk atas alasan ekonomi menimbulkan sejumlah ketimpangan. Brock (2010) memaparkan bahwa terdapat gap di antara remitansi yang masuk dari adanya upah dengan kondisi sebenarnya yang dihadapi oleh pekerja migran. Umumnya, upah yang diterima oleh pekerja migran relatif rendah dan tidak sebanding dengan beban kerja yang mereka ampu, terutama bagi pekerja atau buruh kasar.

Pernyataan Brock tersebut terjadi pada kasus migran NTT yang mayoritas hanya menjadi pekerja kasar dengan upah yang tidak seimbang dengan tuntutan kerja yang tinggi ditambah mengalami kekerasan. Terlebih, Bourbeau (2011) juga memaparkan bahwa tidak semua masyarakat di negara tujuan dapat menerima migran yang datang. Hal tersebut justru dapat menimbulkan permasalahan seperti sentimen rasisme, diskriminasi, dan bentuk xenophobia lainnya.

Dengan tingginya fenomena migran ilegal dari NTT di Malaysia yang sangat rentan, maka hal tersebut menjadi alasan kuat bahwa migrasi dapat menjadi salah satu kajian dalam studi Keamanan Kontemporer yang perlu dikaji secara mendalam. Datangnya imigran ke negara lain tidak hanya bisa menjadi suatu ancaman tersendiri bagi human security negara asal, namun juga dapat menjadi sumber ancaman untuk negara tujuan (Bourbeau, 2011).  Sehubungan dengan hal tersebut,  maka setiap negara dituntut untuk memiliki kebijakan luar negeri mengenai migran, meskipun realisasinya berbeda-beda. Massey et. al (1993)  juga menekankan bahwa setiap negara penting untuk memiliki regulasi migrasi, khususnya terkait ketenagakerjaan. 

Untuk menanggapi permasalahan-permasalahan ini, pemerintah pusat dan daerah saat ini masih berupaya meningkatkan performa dalam melayani migrasi yang ada. Meskipun berbagai permasalahan migrasi masih berlangsung secara masif, namun pemerintah pada dasarnya sudah menerapkan berbagai aturan sebagai upaya preventif dan represif. BP2MI telah memiliki pegawai khusus yang bertugas memberi perlindungan migran Indonesia yang akan bekerja di luar negeri  (Putri, et al., 2022). Hal tersebut diwujudkan dalam berbagai penyuluhan secara langsung dan tidak langsung, serta melaksanakan dialog dengan warga NTT. Pemerintah juga mengeluarkan beberapa undang-undang terkait perlindungan migran seperti Pasal 22 ayat (1) Konvensi Internasional yang secara spesifik membahas mengenai Perlindungan Hak Pekerja Migran. Lebih dari itu, beberapa lembaga swasta dan tokoh gereja juga telah banyak membantu menyuarakan hak-hak pekerja migran NTT dengan agen perekrut tenaga kerja dan majikan di Malaysia (Tirtosudarmono, 2018).

Hambatan Penanganan Migrasi 

Meskipun telah terdapat berbagai regulasi dalam menangani migrasi internasional, namun sistem global yang anarki menjadi salah satu faktor penghambat bagi negara sehingga bisa bertindak secara tidak humanis terhadap masalah migrasi internasional yang seringkali muncul karena masalah domestik. Sistem internasional yang anarki memungkinkan tidak adanya suatu organisasi yang mempunyai hak dalam mengatur kebijakan negara secara spesifik dalam menangani masalah imigran yang bersifat lintas batas (Graham dan Poku, 2000). Selain itu, tidak efektifnya birokrasi organisasi internasional serta banyaknya negara yang skeptis terhadap aturan yang dibentuk oleh elit politik di negara maju membuat masalah migrasi tidak cepat terselesaikan. Minimnya kerja sama di antara negara-negara dalam usaha menyelesaikan masalah ini juga menyebabkan banyak negara yang tidak begitu serius dalam membahas isu ini (Friedman et al., 2004).

Secara spesifik, pemerintah Indonesia sampai saat ini masih mengalami hambatan dalam mengatasi kasus imigran ilegal dari NTT. Menurut Agathangelou (2004), migrasi ilegal dikatakan “tidak terlihat secara statistik” sehingga pemerintah sulit untuk melakukan pendataan dengan tepat. Dengan sulitnya pendataan terkait kondisi migran, maka pemerintah juga akan sulit melakukan tindakan bantuan pemberian jaminan pada migran NTT. Kerja sama antara pemerintah Indonesia dan Malaysia juga secara tegas telah dilakukan untuk menangani kasus migran NTT serta kasus serupa (BBC Indonesia, 2023). Selain itu, ternyata kondisi geografis dan kentalnya nilai budaya di NTT mempersulit pemerintah dalam menjangkau masyarakat (Daniel, et al., 2017). Pemerintah masih dinilai sebagai pihak luar yang tidak paham dengan kondisi masyarakat NTT sehingga sulit dipercaya dan diikuti peraturannya oleh masyarakat. Di sisi lain, jaringan mafia dinilai lebih dekat dengan masyarakat dan dapat memberi jalan keluar lebih mudah. 

Dengan demikian, budaya migrasi ke Malaysia sampai saat ini masih terus dilakukan oleh masyarakat NTT. Faktor-faktor seperti kemiskinan, kondisi geografis yang sulit dijangkau pemerataan, minimnya pendidikan, dan masifnya doktrin dari para mafia TKI masih mendorong dan memfasilitasi budaya migrasi tersebut. Permasalahan menjadi besar ketika pengiriman migran dilakukan secara ilegal sehingga keselamatan pekerja menjadi tidak terjamin. Lebih tepatnya, proses migrasi yang dilakukan oleh masyarakat NTT ke Malaysia bisa disebut sebagai “budaya migrasi tanpa garansi” karena rentannya keselamatan migran. Meskipun demikian, keselamatan TKI NTT ilegal di Malaysia sudah diupayakan pemerintah Indonesia untuk mendapat perlindungan. Akan tetapi, upaya tersebut masih belum mencapai hasil yang signifikan karena data terakhir, yaitu pada Maret 2023 yang masih menunjukkan tingginya tingkat kekerasan yang dialami para pekerja, bahkan menjadi penyebab kematian.

Referensi

Almu, F., et al. (2018).  Lingkungan Tempat Tinggal dan Pendapatan Keluarga Tehadap Tingkat Pendidikan Anak: Studi Tentang Anak Nelayan Migran Sulawesi Selatan Di Kelurahan Oesapa Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). The Journal of Society & Media, 2(2), 154-166.

BBC Indonesia. (2023, Maret 1). Pekerja migran Indonesia yang selamat dari ‘neraka’ di Malaysia: ‘Mengapa kamu siksa saya?’. https://www.bbc.com/indonesia/dunia-64250702 

BBC Indonesia. (2023, Maret 2). Mafia perdagangan pekerja migran NTT: Mengungkap modus ‘rayuan surgawi’ hingga jalur ‘kejahatan mengerikan’. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-64363357 

BBC Indonesia. (2023, Maret 7). Migrasi tradisional NTT ke ‘rumah kedua’ Malaysia, sejarah ‘tangis dan tawa’ selama puluhan tahun. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-61057506 

Binus University. (2021, Februari 5). Migran Ilegal NTT Meningkat. https://binus.ac.id/character-building/2021/02/migran-ilegal-ntt-meningkat/ 

Bourbeau, P. (2011). The Securitization of Migration: A Study of Movement and Order. United Kingdom: Routledge.

Brock, G. (2010). Immigration and Global Justice: What kinds of policies should a Cosmopolitan support?, Etica & Politica / Ethics & Politics, 12(1): 362−376.

Daniel, et al. (2017). Human Trafficking di Nusa Tenggara Timur. Social Work Journal, 7(1), 21-32.

Friedman, J., & Randeria, S. (2004). Worlds on the Move: Globalization, Migration and Cultural Security. United Kingdom: I.B Tauris.

Graham, D. T. & Poku, N. (2000). Migration, Globalization, and Human Security. London: Routledge.

Massey, D. S., et. al. (1993). Theories of International Migration: A Review and Appraisal, Population and Development Review, 19(3), 431-466.

Putri, N., et al., (2022). Upaya Badan Pelindungan Pekerja Migran (BP2MI) dalam Menangani Kasus Kejahatan Human trafficking di Nusa Tenggara Timur Periode 2016 – 2019. Balcony, 6(1), 23–32. 

Robot, M., et al., (2023). Buruh Migran Timor: Sebab, Jejaring dan Risiko(Studi Kasus Desa Silu, Kabupaten Kupang, NTT). Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, 6(1), 358-367.

Tirtosudarmono, R. (2018). The Politics of Migration in Indonesia. Indonesia: LIPI.

Wahyudi, G. (2019). Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Indonesia Ditinjau dari Perspektif Hukum Internasional (Studi Kasus Penganiayaan Adelina TKW Asal NTT di Malaysia). e-Journal Komunitas YustisiaUniversitas Pendidikan Ganesha Jurusan Ilmu Hukum, 2(1), 55-65.

Migran Care. (2016). Migrasi Kultural Buruh Migran Indonesia Asal Nusa Tenggara Timur ke Malaysia. https://migrantcare.net/wp-content/uploads/2016/11/migrasi-kultural_nor-zana.pdf

Nabilah Az-zahro’ merupakan Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Airlangga. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @nabilahzahro_

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *