G20 dan Krisis Pangan: Urgensi Transisi Budaya Pangan dan Distribusi Pangan Merata

0

Ilustrasi pasokan pangan. Foto: Asian Times

Posisi keamanan pangan Indonesia pada peringkat 63 dari 113 negara di dunia sungguh memprihatinkan (GFSI, 2022). Sebagai negara yang memiliki kelimpahan akan sumber daya alam dan pangan, menjadi ironi jika keamanan pangan Indonesia relatif lemah. Paradoks ini diperparah dengan dua konteks global, yaitu new normal pasca COVID-19 dan perang Rusia-Ukraina. Pasca COVID-19, tantangan yang dihadapi oleh petani semakin besar sehingga rantai pasokan pangan mengalami gangguan serius. Pembatasan gerak menghambat distribusi pangan, logistik pangan, dan bahan baku pangan pada bidang jasa dan barang (Subejo dalam Winanti, 2022). Selain itu, permintaan terhadap komoditas pertanian cenderung menurun karena permintaan agregat yang juga menurun akibat perang Rusia-Ukraina. Sektor kuliner juga banyak yang tidak dapat melangsungkan bisnis dan akhirnya berdampak ke permintaan yang menurun secara drastis terhadap komoditas pertanian (Sucihatiningsih, n.d.). 

Selain dinamika global yang sedang terjadi, normalisasi budaya konsumerisme di Indonesia turut meningkat. Budaya yang mengarah pada peningkatan permintaan ini alhasil berdampak pada penurunan ketersediaan sumber daya alam yang dapat digunakan oleh masyarakat sipil untuk memproduksi makanannya sendiri. Budaya konsumerisme memaksa raksasa industri pangan untuk meningkatkan produksinya yang pada praktiknya merampas hak-hak akses tanah agrikultur masyarakat sipil. Maraknya budaya ini justru memberikan beban yang lebih berat lagi dalam menanggulangi permasalahan keamanan pangan. 

Lantas, apa yang menyebabkan Indonesia gagal dalam memperkokoh keamanan pangannya di tengah dua konteks global dan maraknya budaya konsumerisme tersebut? Menggunakan pendekatan strukturalis, penulis menyimpulkan bahwa rentannya keamanan pangan di Indonesia disebabkan dua faktor utama, yaitu meningkatnya harga pangan global dan rendahnya akses kepemilikan terhadap lahan agrikultur sebagai akibat rendahnya peran rezim internasional dalam mengupayakan keamanan pangan. Tulisan ini akan menyoroti pentingnya peran rezim internasional, terkhusus G20 dalam membasmi kelaparan.

Transisi Budaya Pangan Bukanlah Solusi Tunggal

Salah satu argumen penyebab lemahnya keamanan pangan masyarakat adalah mengenai transisi budaya pangan ke arah konsumerisme. Argumen ini menitikberatkan pada peran individu sebagai agen perubahan. Transisi budaya konsumsi masyarakat Indonesia menuju konsumerisme yang ditandai dengan maraknya restoran cepat saji merupakan salah satu penyebab lemahnya keamanan pangan. Hal ini diakibatkan rendahnya nutrisi yang terdapat pada makanan cepat saji yang berdampak buruk terhadap kesehatan fisik manusia, seperti obesitas, penyakit gigi dan mulut, darah tinggi, kolesterol, dan masih banyak lagi (Hossain & Islam, 2022). 

Konsumerisme tidak hanya berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, tapi juga maraknya perampasan akses pemenuhan kebutuhan hidup lainnya. Salah satu dampak konsumerisme yang dirasakan dalam lingkup masyarakat adalah mereka yang masih memiliki tanah seperti masyarakat Nagari Lingkuang Aua yang melandaskan kegiatan agrikultur dan perekonomian (Syafnil, 2022). Contoh dari perampasan tanah oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terjadi terhadap masyarakat Nagari ini memperlihatkan konsumerisme terhadap kebutuhan hidup manusia selain pada pangan. Akan tetapi, ternyata hal ini dapat berdampak pada ketersediaan sumber daya alam bagi masyarakat setempat untuk menopang perekonomian yang akhirnya membawa mereka kepada ketahanan pangan dalam masyarakat itu sendiri. 

Peningkatan permintaan kebutuhan kelapa sawit yang berlebihan dan memicu perampasan tanah masyarakat alhasil memengaruhi penurunan ketersediaan lahan sebagai sumber daya alam yang sebenarnya dapat dialokasikan oleh masyarakat setempat untuk memproduksi makanannya sendiri. Dampak  terhadap ekonomi juga terasa seperti kerugian terhadap UMKM di bidang makanan yang menjunjung budaya slow food. Akibat dari preferensi masyarakat yang lebih memilih makanan cepat saji, keberlanjutan dari UMKM dan agenda slow food menjadi terhambat. Gerakan slow food memang sudah ada di tengah-tengah masyarakat Indonesia; 1) Papua dengan papeda yang terbuat dari sagu, 2) Cimahi dengan beras singkong (Fadhilah, 2014) walaupun sifatnya yang mengakar sudah mulai tergantikan.

Akan tetapi, transisi budaya konsumerisme bukanlah satu-satunya solusi terhadap keamanan pangan. Memang, salah satu index yang dipakai untuk menilai keamanan pangan suatu negara adalah kualitas pangan makanan yang tersedia. Akan tetapi, faktor sistemik, seperti ketersediaan pangan, keberlanjutan dan daya adaptasi pasokan pangan, serta keterjangkauan pangan lebih dominan. Di sinilah peran rezim internasional menjadi krusial.

Kegagalan Rezim Internasional dalam Pemerataan Pangan dan Transisi Budaya Pangan

Keamanan pangan adalah kondisi yang mana semua orang secara fisik dan ekonomi terjamin untuk memperoleh pangan yang cukup, sehat, dan bergizi demi memenuhi kebutuhan dan preferensi pangannya. Tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan PBB, keamanan pangan adalah salah satu hak asasi manusia yang membuatnya wajib dipenuhi oleh pihak otoritas setempat manusia itu berasal. Dengan demikian, masalah keamanan pangan juga terjadi akibat kegagalan rezim internasional.

Melalui pendekatan strukturalis, tatanan negara di dunia saat ini dibagi menjadi negara maju, negara berkembang, dan negara terbelakang. Sistem internasional ini meniscayakan adanya ketimpangan antara negara satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, wajar jika kelaparan justru banyak terjadi di negara berkembang maupun negara terbelakang akibat perbedaan akses terhadap faktor produksi. Kelaparan terjadi bukan karena kurangnya produksi pangan, melainkan karena pasokan pangan berlebih di negara-negara maju atau berlebih di negara berkembang, tetapi justru tidak bergizi cukup (Balaam & Dillman, 2018).

Sistem ekonomi kapitalisme pun turut memperparah ketimpangan ekonomi yang terjadi. Budaya konsumerisme sebagai salah satu implikasinya membuat masyarakat menjadi tidak self-sufficient dalam memenuhi pangannya. Rezim internasional yang seharusnya meregulasi hal ini belum berhasil dalam mewujudkan pemerataan pangan bagi masyarakat dunia maupun menjembatani transisi budaya pangan berkelanjutan. Hal tersebut dibuktikan dengan minimnya regulasi terkait restoran cepat saji di negara-negara berkembang.

Berbagai upaya pembentukan rezim internasional keamanan pangan telah diinisiasi oleh organisasi regional, internasional, bahkan beberapa negara secara mandiri untuk menangani masalah keamanan pangan, termasuk di antaranya adalah the UN Global Crisis Response Group (GCRG), the G7 Global Alliance for Food Security (GAFS), the Global Agriculture and Food Security Program (GAFSP), International Finance Institutions Action Plan, dan Global Development Initiative. Meskipun demikian, upaya-upaya tersebut belum membuahkan hasil yang diharapkan dan kelaparan masih terus menjadi permasalahan laten.

Komitmen G20 dalam Menghadapi Krisis Pangan bagi Indonesia

Indonesia, pemegang presidensi G20 2022, mengelaborasikan urgensi keamanan pangan dalam working group agrikultur yang berada dalam Co-Sous-Sherpa G20 di bawah Kementerian Pertanian RI yang berdiskusi tentang “Balancing Production and Trade to Fulfil Food for All”. Pembahasan ini dimaksudkan untuk membangun solidaritas global dalam akses pangan. Kesuksesan Indonesia dalam menyatukan suara negara-negara terhadap konflik Rusia-Ukraina dan juga terciptanya komitmen internasional dalam pemulihan kembali dari COVID-19 turut memperkuat outcome dari G20 tersebut.

Dalam deklarasi pemimpin G20 yang telah diadakan pada tanggal 15-16 November 2022 yang lalu, gagasan tentang keamanan pangan merupakan isu yang kerap dibahas. Dengan segala tantangan yang dihadapi dunia dalam menjaga komoditas, harga, dan kestabilan pangan, beberapa tindakan diformulasikan oleh pemimpin dunia. Tindakan yang paling utama adalah mendukung stabilitas pasar terlebih dahulu. Stabilitas pasar menjadi krusial jika mengingat stabilitas harga pangan juga bergantung pada pasar. Saat ini di Indonesia sendiri, keterjangkauan pangan secara harga relatif baik, tetapi dalam skala global, terlihat bahwa keterjangkauan terhadap pangan menurun 4% (GFSI, 2022). Jika dianalisa lebih dalam, terhambatnya keterjangkauan atas pangan terjadi karena naiknya harga pangan yang disebabkan oleh pandemi dan konflik geopolitik antara Rusia dan Ukraina. Maka dari itu, dalam deklarasi tersebut juga pemimpin-pemimpin dunia sepakat untuk meredam harga agar tidak terlalu tinggi. 

Selain dari aksesibilitas, ketersediaan pangan itu sendiri memerankan peran yang besar. Bagaimana masyarakat Indonesia ataupun dunia bisa menjangkau makanan jika ketersediaannya sedikit? Hal ini serupa dengan yang dialami dunia saat ini yang mana konflik geopolitik mendisrupsi kelancaran distribusi sumber pangan dengan Ukraina sebagai salah satu pemasok utama gandum untuk dunia. Disrupsi ini mengakibatkan produksi gandum menjadi lambat, ketersediaan sedikit, dan aksesibilitas terhadap pangan minim. Tidak hanya ketersediaan yang penting, tetapi juga kualitas dari pangan itu sendiri. Dalam SDGs ke-2, disebutkan bahwa gizi yang baik adalah salah satu misi yang ingin digapai. Dengan kualitas pangan yang rendah, berbagai permasalahan yang berujung pada kesehatan dapat terjadi. Maka dari itu, kualitas pangan yang bermutu menjadi genting untuk diraih.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menjelaskan bahwa Presidensi G20 Indonesia telah mengadopsi suatu strategi untuk meningkatkan kemampuan produksi dalam rangka mengatur harga pangan, menurunkan inflasi, mengurangi impor, dan memperluas ekspor pangan (Kemenkeu, 2023). Strategi ini juga menginkorporasi diversifikasi makanan lokal yang sesuai dengan prinsip slow food dengan harapan mampu menciptakan transisi budaya pangan yang lebih sustainable (G20, 2022).

Kesimpulan

Berdasarkan tulisan yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah memanfaatkan forum G20 sebagai sarana untuk menciptakan rezim internasional yang lebih kokoh dari yang sebelumnya. Permasalahan seputar tingginya harga pangan, kelangkaan bahan baku, pemulihan struktur ekonomi internasional, dan transisi budaya pangan telah berhasil disepakati.

Budaya konsumerisme yang melemahkan keamanan pangan didasarkan pada potensinya dalam membatasi potensi sumber daya alam yang dapat dikelola guna tercapainya ketahanan pangan. Budaya pangan yang terus menguras manusia membawa perilaku-perilaku yang semakin jauh dengan budaya slow food yang terus terhambat. Pada dasarnya, ketahanan pangan tidak serta merta aksesibilitas masyarakat terhadap makanan, tetapi juga terjaminnya aksesibilitas jangka panjang yang menunjang keberlanjutan dari pasokan pangan.

Kesepakatan mengenai komitmen untuk mengatasi kerentanan pangan dilakukan dengan berbagai strategi. Beberapa usulan disampaikan oleh Indonesia dalam presidensi G20 yakni peningkatan produksi untuk mengatur harga pangan, menurunkan inflasi, mengurangi impor dan memperluas ekspor, serta memfokuskan pada pangan lokal dengan melakukan diversifikasi untuk menciptakan budaya pangan yang sustainable. Harapannya strategi ini dapat berjalan efektif dengan dukungan dari berbagai pihak terutama rezim internasional.

Referensi

Armanusat, F. (2019). Analisa Potensi Slow Food Tourism di Kabupaten Solo. Universitas Andalas. http://scholar.unand.ac.id/id/eprint/43563 

Baudrillard, J. (1998). The Consumer Society: Myths and Structures (1st ed.). Sage. https://uk.sagepub.com/en-gb/eur/the-consumer-society/book252392 

Debs, P. (2013). Analysis of the Slow Food Movement Impact on the Farmers and Rural Areas’ Sustainable Development. https://core.ac.uk/download/pdf/17332798.pdf 

Dwiartama, A., dkk. (2020). Membangun Ketahanan Pangan Melalui Gerakan Pangan Lokal: Studi Kasus di Kota Bandung. Jurnal Sosioteknologi, 19(1), 92–111. https://doi.org/10.5614/sostek.itbj.2020.19.1.7 

Fadhilah, A. (2014). Budaya Pangan Anak Singkong dalam Himpitan Modernisasi Pangan: Eksistensi Tradisi Kuliner Rasi (Beras Singkong) Komunitas Kampung Adat Cireundeu Leuwi Gajah Cimahi Selatan Jawa Barat. Buletin Al-Turas, 20(1), 13–30. https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/al-turats/article/view/3742/2739 

GFSI. (2022). Global Food Security Index (GFSI). https://impact.economist.com/sustainability/project/food-security-index/explore-countries/indonesia 

Hossain, M. M., & Islam, M. Z. (2022). Fast Food Consumption and its Impact on Health. https://www.researchgate.net/publication/346220090 

Kemenkeu. (2022). G20 JFAMM, Kolaborasi Atasi Kerawanan Pangan. https://mediakeuangan.kemenkeu.go.id/article/show/g20-jfamm-kolaborasi-atasi-kerawanan-pangan 

Kemenkeu. (2023). Risiko Kerawanan Pangan Jadi Perhatian Forum G20. https://www.kemenkeu.go.id/informasi-publik/publikasi/berita-utama/%28JFAMM%29-yang-pertama-di-Washington-D-C

Kemenperin. (2021). Pandemi Ubah Pola Konsumsi, Industri Makanan Perlu Berinovasi. https://kemenperin.go.id/artikel/22227/Pandemi-Ubah-Pola-Konsumsi 

Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.

Pietrykowski, B. (2004). You Are What You Eat: The Social Economy of the Slow Food Movement. Review of Social Economy, 62(3), 307–321. https://doi.org/10.1080/0034676042000253927 

Sucihatiningsih. (n.d.). Membangun Ketahanan Pangan di Era Pandemi. Unnes.ac.id. https://unnes.ac.id/gagasan/membangun-ketahanan-pangan-di-era-pandemi 

Syafnil. (2022). Petani Versus Penguasa: Perampasan Tanah dan Perlawanan Petani. Sapientia Humana Jurnal Sosio Humaniora, 2(2). https://doi.org/10.26593/jsh 

Ward, K. Y. (2017). Perlawanan yang Menguntungkan: Restoran Organik dalam Gerakan Slow Food di Yogyakarta. Etd.repository.ugm.ac.id. http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/130487

Falah Mar’ie A, Lamtiar N. S. M. Nababan, dan Rahma Anggit K merupakan mahasiswa/i di Universitas Gadjah Mada. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @flh.ma @tiar_nababan dan @rahmaanggitkh

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *