Covid-19, Human Security, dan Kepercayaan Publik

0

Ilustrasi. Sumber: pixabay.com

Sampai saat ini, Indonesia terus bergulat dengan Covid-19. Masih teringat jelas di awal tahun 2020, bagaimana pemerintah dengan bangganya menyatakan bahwa Indonesia terbebas virus corona dan menganggap berbagai informasi peringatan yang menyatakan bahwa “Covid-19 sudah masuk ke Indonesia” sebagai sebuah penghinaan bagi negara. Di samping itu, masih banyak pernyataan yang bernada serupa untuk menunjukkan “kesombongan” lainnya. Akibatnya, pemerintah seakan terlalu meremehkan dan menganggap enteng masalah ini.

Imbasnya, ketika kasus positif Covid-19 yang pertama kali terkonfirmasi pada 2 Maret 2020, pemerintah kita langsung dibuat ketar-ketir dan panik, bingung apa yang terlebih dahulu perlu dilakukan. Sejak momentum itulah, terlihat bahwa pemerintah telah lalai dengan segala sikap pandang entengnya. Ditambah lagi, kasus Covid-19 yang masih terus bertambah hingga saat ini, walaupun jumlah pasien sembuh lebih banyak dari pada yang meninggal. Hal ini bukan menjadi indikator suatu keberhasilan, melainkan fenomena tersebut semakin menunjukkan bahwa pemerintah masih belum dapat mengendalikan kasus Covid-19 di dalam negeri.

Berikutnya, salah satu tolok ukur publik dalam menilai kesungguhan pemerintah untuk mengendalikan Covid-19, ialah pada sejauh mana konsistensi kebijakan yang dikeluarkan negara guna memerangi virus ini. Dalam kajian analisis mitigasi kebencanaan, peran sentral pemerintah dalam pembuatan kebijakan (policy maker) dan pengambilan keputusan seharusnya dapat mempersiapkan skenario kebijakan yang adaptif untuk menghadapi situasi pandemi. Akan tetapi, alih-alih mempersiapkan strategi yang tepat sebelum masuknya Covid-19 di Indonesia, pemerintah malah mengeluarkan berbagai statement yang memicu timbulnya polemik di masyarakat.

Melihat realitas sampai saat ini, korban meninggal akibat Covid-19 masih terus bertambah. Maka, boleh dikatakan produk kebijakan yang dihasilkan pun belum sepenuhnya menjawab atas persoalan yang terjadi di tengah-tengah publik. Entah, apakah pemerintah sekarang sudah lelah untuk menghasilkan kebijakan, yang nyatanya juga tidak dipatuhi oleh rakyatnya sendiri, atau malah pemerintah hanya ingin berfokus pada hal-hal lain yang lebih memberikan keuntungan dan semakin menguatkan posisi mereka di pemerintahan dengan memanfaatkan kondisi ini. Kita tidak tahu. Tetapi yang pasti, kebijakan dikatakan berhasil apabila mampu mengatur dan mengendalikan jalannya sistem di seluruh lapisan masyarakat.

Hari ini, seperti kata pepatah “nasi sudah menjadi bubur,” Covid-19 sudah terlanjur masuk ke Indonesia dan bahkan kasus yang terkonfirmasi telah melebihi asal tempat pertama kali virus ini berada dan merebak, yaitu di Wuhan, Cina. Sampai hari ini juga, belum ada satupun yang dapat memecahkan teka-teki secara pasti, kapan pandemi ini akan berakhir tuntas.

Pareto Principle menyatakan bahwa sekitar 80% efek yang dihasilkan itu berasal dari 20% hasil bentuk kebijakan. Oleh sebab itu, pemerintah harus sadar bahwa skenario kebijakan publik yang diterapkan pada masa pandemi ini bukanlah meramal apa yang akan terjadi, melainkan memberi beberapa alternatif kebijakan substansial, pada waktu-waktu yang mungkin bisa saja terjadi. Urusan ini menjadi penting guna membantu dalam pengambilan keputusan (decision making) yang baik agar dapat menyiapkan strategi yang tepat dan lebih matang.

Artinya, secara mendasar kebijakan publik dapat dipahami sebagai faktor esensial yang akan mempengaruhi dan menentukan jalannya suatu negara dalam merespon berbagai situasi dan kondisi yang tengah dihadapinya, termasuk pandemi ini. Maka, ketika pemerintah lalai dalam merespon kondisi tanpa mempersiapkan opsi kebijakan untuk situasi saat ini dan yang akan datang, Indonesia akan mengalami deklinasi kebijakan.

Andaikata pemerintah cepat merespon dengan kebijakan, hal yang perlu diperhatikan selanjutnya adalah kepentingan publik. Sebab dalam kasus tertentu, sering kali dalam proses formulasi kebijakan, terjadi orientasi yang berbeda antara pemerintah dan publik (rakyat). Kondisi ini dikhawatirkan dapat memicu ketidakharmonisan pada tahap pengimplementasian kebijakan, yang berakibat pada tujuan yang hendak dicapai tidak akan terealisasi secara maksimal dan efektif.

Perlu menjadi perhatian bersama, bahwa kebijakan publik merupakan hal yang inheren dengan sistem politik, sebab dampaknya akan bermuara langsung ke publik. Terlebih lagi dengan sistem politik demokrasi yang dianut bangsa Indonesia, sehingga menjadi semakin penting bagi pemerintah untuk mampu menghasilkan kebijakan yang benar-benar dapat mengakomodasi kepentingan publik.

Kebijakan Pemerintah dan Kebingungan Publik

Kurang lebih sudah enam bulan kita bergulat dengan pandemi, yang telah menyerang di seluruh provinsi Indonesia. Pemerintah juga sudah mengeluarkan sederet kebijakan terkait penanganan Covid-19. Namun, beberapa kebijakan yang dihasilkan dinilai kontroversial dan bersifat dilematis tanpa adanya suatu terobosan yang terbilang efektif.

Pertama, pemerintah membolehkan masyarakat yang berusia kurang dari 45 tahun untuk dapat beraktivitas kembali. Kebijakan ini dirasa ngawur, walaupun faktor ekonomi yang menjadi pertimbangannya, namun di saat yang bersamaan kebijakan ini tidak memberikan pengaruh yang efektif baik dari segi ekonomi apalagi kesehatan. Sebab, di saat yang bersamaan pemerintah maupun perusahaan tidak memberikan jaminan apa-apa berupa keselamatan-kesehatan dari para pekerja, apalagi bagi mereka yang bekerja dalam sektor informal. Hal ini membuat sebagian besar pekerja dilema dan ada yang enggan untuk kembali bekerja di luar. Pada akhirnya, usaha untuk menjalankan roda perekonomian pun tidak akan maksimal. Umur bukan menjadi suatu acuan kekebalan tubuh seseorang, kebijakan ini juga dikhawatirkan bagi pekerja di bawah 45 tahun dapat menyebarkan virus yang lebih luas dan massif, mengingat karakter Covid-19 yang tidak memandang umur.

Kedua, ojek online dilarang membawa penumpang. Pada 10 April 2020 dampak diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ialah dengan adanya larangan kepada ojek untuk mengangkut penumpang. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 18 ayat 6 Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 33 Tahun 2020. Dalam pasal itu, angkutan roda dua berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang. Tetapi, pada 14 April 2020, pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengizinkan ojek online untuk kembali mengangkut penumpang di wilayah yang menerapkan PSBB. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 18 Tahun 2020 tentang pengendalian transportasi dalam rangka pencegahan penyebaran Covid-19. Di sisi lain, Permenhub ini dinilai saling bertentangan dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020, terkait membolehkan membawa penumpang. Permenhub Nomor 18 Tahun 2020 jelas melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020. Tentunya, berbagai kebijakan ini menimbulkan kebingungan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. 

Dua contoh kebijakan tersebut merupakan segelintir fenomena atas kebijakan yang simpang siur dan saling tumpang tindih yang dihasilkan oleh pemerintah. Dari sini dapat diketahui bahwa setiap pejabat publik, baik itu Presiden, Menteri, Kepala BNPB, hingga Kepala Daerah menyampaikan informasi dan kebijakan yang berbeda-beda serta tidak selaras, sehingga membuat masyarakat kebingungan. Artinya, kita tidak dapat sepenuhnya menyalahkan masyarakat yang berdesak-desakan di pasar dan di tempat umum. Sebab, ini bisa saja disebabkan adanya akar masalah, seperti kebijakan yang berubah-ubah, tidak konsisten, dan juga komunikasi politiknya yang tidak tegas dan tidak transparan. Akibatnya, kebijakan yang dibuat tidak mencapai sasaran dan belum mengubah apa-apa.

Padahal, regulasi yang dihasilkan harus dapat berfokus pada sasaran kebijakan seutuhnya yang didukung dengan adanya bantuan teknis, serta terbangunnya instrumen lain guna membantu negara menghadapi pandemi ini.

Pendekatan Human Security dalam Kebijakan Publik

Dalam kondisi infectious disease yang dihadapi saat ini, dibutuhkan kebijakan alternatif berupa pendekatan Human Security (keamanan umat manusia) dalam penanganan Covid-19, yang disaat bersamaan turut pula memperhatikan berbagai aspek penting lainnya. Singkatnya, konsep ini merupakan usaha dalam memenuhi dan melindungi elemen-elemen dasar individu manusia untuk menciptakan sistem politik, sosial, serta ekonomi yang selaras dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Langkah ini sebagai bentuk untuk meningkatkan kewaspadaan melalui penguatan pencegahan (to prevent), mendeteksi (to detect), dan bertindak (to respond). 

Konsep ini dirasa sebagai alternatif lain yang dapat menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan publik guna mempercepat pemutusan kebijakan, dalam merespon penanganan isu kesehatan yang tengah terjadi, bahkan ketika mendapat tekanan publik sekalipun. Artinya, pada tingkatan pembuat kebijakan sendiri harus memiliki prioritas manajemen kebijakan publik. Ada tiga aspek dari human security yang berhubungan dengan situasi pandemi saat ini.

Pertama, saat tahap penyebaran virus, semua prioritas harus berfokus pada kebijakan health security sebagai langkah paling awal dan dasar. Kebijakan ini dapat berupa kesiapan pemerintah dalam pemenuhan fasilitas kesehatan di seluruh wilayah Indonesia. Menjamin alat-alat pelindung diri bagi masyarakat sipil untuk tetap tersedia dan aksesibel. Memberikan kemudahan warga negara untuk mendapatkan layanan kesehatan dan proteksi dari penyakit secara gratis, serta memperhatikan kebutuhan tenaga kesehatan sebagai aktor yang berperan menjadi ujung tombak penanganan Covid-19.

Urgensi dilakukannya kebijakan ini agar penyebaran dapat dikendalikan dan percepatan penanganan dapat terfokus. Sehingga sektor pembangunan lain dapat kembali bekerja dengan optimal, sebab jantung masalah penanganan Covid-19 sesungguhnya pada aspek kesehatan.

Berikutnya food security dan economic security, pemerintah dapat menjamin pemenuhan kebutuhan dasar dengan memberikan kemudahan akses terhadap kebutuhan pangan dan mencegah naiknya angka kemiskinan. Pandemi ini membuat beban ekonomi di seluruh lapisan masyarakat akan meningkat. Bagaimana tidak, berbagai sektor industri dan perusahaan terpaksa ditutup, yang berdampak pada terdorongnya arus pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran. Jika hal ini tidak dipenuhi, bukan hanya mengganggu sektor ekonomi, melainkan sosial dan politik pun ikut terganggu. Seperti instabilitas ekonomi, pengangguran, dan keresahan publik yang dapat memunculkan problem baru seperti tindakan kriminalitas di tengah pandemi.

Pada tahap penerapan human security, turut pula mempertimbangkan beberapa hal penting. Pertama, evidence based approach, dalam setiap kebijakan yang dihasilkan harus berbasis dan didukung pada bukti yang ilmiah-saintifik dengan metode yang jelas. Kedua, collaboration methods, pandemi ini bukan hanya urusan pemerintah, melainkan masalah seluruh bangsa. Sinergitas dan kolaborasi bersama pada lintas stakeholder baik kerja sama dari dalam maupun luar negeri yang memungkinkan semua elemen, termasuk juga pelibatan aktif masyarakat sipil untuk dapat berpartisipasi dalam perumusan kebijakan mulai dari tingkat pusat hingga daerah sangat dibutuhkan. Melalui metode ini pula diharapkan dapat memangkas birokrasi yang berbelit-belit sebagai bentuk pengawasan, transparansi, dan keterbukaan. Secara khusus, hal ini bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan dalam mencapai sasaran tujuan yang selaras dan harmoni. Agar strategi percepatan penanganan dapat berkelanjutan. Ketiga, pemerintah harus mampu untuk mengurangi risiko yang dapat menghambat pengimplementasian kebijakan sampai ke akar rumput dengan efektif dan efisien.

Resolusi dan Jalan Keluar

Dari analisis tersebut, dalam menjalankan kebijakan human security pemerintah harus memiliki kesamaan pemahaman persepsi antar lembaga negara agar tidak terjadi dilematis, tumpang tindih, dan grogi saat implementasi kebijakan. Sehingga blunder atas kebijakan yang telah dirumuskan tidak terjadi, apalagi mengingat agregat biaya yang dikeluarkan pasti terbilang besar.

Sejatinya, yang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini ialah bagaimana kebutuhan akan kesehatan, ekonomi, dan sosial mereka dapat terjamin. Dengan memberlakukan kebijakan yang konkret dan pasti, membuat dampaknya lebih dirasakan oleh masyarakat. Publik akan meningkatkan kepercayaannya kepada pemerintah yang bukan hanya menjamin kebutuhan dasar mereka, melainkan adanya usaha untuk mengendalikan serta menghentikan penyebaran virus ini. Dibandingkan membuat kebijakan-kebijakan yang bertumpuk, dilematis, kurang substantif, dan saling tumpang tindih, yang justru berakibat timbulnya kebingungan publik. Akhirnya, kebijakan yang dibuat pun tidak bisa tepat sasaran untuk mengontrol dan membentuk sistem masyarakat yang adaptif di tengah pandemi seperti ini. Sehingga kasus penambahan Covid-19 masih saja terus bertambah.Oleh sebab itu, negara membutuhkan pemimpin yang measurable initiative dan smart decisive dengan memiliki rasionalitas akal, logika, etika, dan tanggung jawab. Koordinasi kepada seluruh pimpinan lembaga yang terkait juga dibutuhkan untuk menciptakan kebijakan yang selaras dan pengimplementasian yang harmonis. Sebab, kepemimpinan yang ambigu akan menjebak masyarakat dalam ketidakpastian serta ketidakpercayaan.

Muhammad Aqshadigrama adalah mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Peneliti di Kajian Ruang Publik Politik.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *