Ilustrasi Presiden Jokowi. Foto: FPCI UI.

“We are facing a global health crisis unlike any in the 75-year history of the United Nations — one that is killing people, spreading human suffering, and upending people’s lives. But this is much more than a health crisis. It is a human crisis.” – United Nations.

Ketidakpastian dan ketakutan selalu menjadi bagian yang melekat dari sebuah pandemi. Sejarah mencatat bahwa berbagai pandemi penyakit menular dengan jutaan kematian telah melanda umat manusia dalam kurun beberapa abad terakhir. Hampir semua negara di dunia umumnya tidak siap karena pandemi terjadi ketika suatu penyakit menyebar dengan tak terduga dan secara masif pada waktu tertentu sehingga mengakibatkan jumlah kematian yang tinggi. Berbagai reportase historis menunjukkan bahwa efek pandemi seringkali tidak hanya berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat, namun turut mempengaruhi aspek sosial, ekonomi, dan budaya. 

Pandemi COVID-19 memicu terjadinya krisis global terburuk sejak Perang Dunia Kedua dengan pemberlakuan pembatasan yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti physical distancing, pembatasan kegiatan ekonomi, serta deklarasi darurat nasional di sebagian besar negara di dunia saat ini. Kebutuhan akan perawatan kesehatan yang mendesak dan meningkatnya angka kematian secara bersamaan membuat sistem kesehatan nasional sedang berada di ujung tanduk.  Selain itu, ketakutan akan penyebaran virus secara eksponensial dan meningkatnya ketidakpastian akan efektivitas penanggulangan telah mengguncang rantai pasokan global, perdagangan internasional, dan pasar tenaga kerja yang kemudian membuat keadaan semakin terpuruk. Perekonomian dunia sedang menuju ke jurang resesi sebagai dampak dari COVID-19, mengingat kondisi pandemi saat ini telah mampu melemahkan sektor jasa, terutama industri yang melibatkan interaksi fisik seperti perdagangan ritel, rekreasi dan perhotelan, dan layanan transportasi yang secara kolektif menyumbang lebih dari seperempat ekonomi global. Dengan demikian, jutaan pekerja di seluruh dunia menghadapi ancaman kehilangan pekerjaan.

Efek domino menjadi bagian terburuk sebagai hasil dari sebuah pandemi. Tidak hanya menimbulkan resesi global, namun pandemi ini juga dapat berdampak buruk bagi pembangunan berkelanjutan dalam jangka panjang, terutama dalam pengentasan kemiskinan. Saat ini manusia seolah-olah hanya diberi dua pilihan yaitu rendahnya penghasilan atau pengangguran, di mana kemudian dapat memunculkan masalah baru seperti ketimpangan sosial. Mereka yang berada di hierarki distribusi pendapatan terbawah berada dalam kondisi paling terpuruk karena sebagian besar dari mereka bekerja di industri yang paling terperosok akibat pandemi, seperti penjualan ritel dan industri jasa. Pada akhirnya, kesejahteraan sosial adalah harga yang harus dibayar. 

Artikel ini memberikan selayang pandang tentang respons pemerintahan Joko Widodo dalam memandang COVID-19 di Indonesia dan evaluasi terkait untuk menekan transmisi dan mengendalikan pandemi. Secara keseluruhan, penulis akan mengulasnya ke dalam lima bagian: (i) respons awal pemerintah Indonesia, (ii) kebijakan yang tanggung, (iii) perspektif publik, dan (iv) rekomendasi kebijakan. Artikel ini juga mengusulkan serangkaian rekomendasi langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk mengentaskan wabah ini. Melalui artikel ini, penulis memandang bahwa banyak keraguan langkah pemerintah Indonesia dalam menetapkan regulasi nasional. 

RESPONS AWAL PEMERINTAH INDONESIA 

Indonesia sebagai negara terpadat keempat di dunia, dengan populasi sekitar 260 juta penduduk, akan menghadapi tantangan yang jauh lebih berat dibandingkan dengan negara yang berpenduduk lebih sedikit. Pada awal kemunculan COVID-19 yang melanda Tiongkok selama bulan Desember 2019 hingga Februari 2020, Indonesia menyatakan tidak ada kasus infeksi sama sekali. Hal ini menimbulkan kecurigaan dari berbagai pihak, termasuk World Health Organization (WHO). 

Di samping itu, guyonan “Indonesia kebal corona” kerap kali terlontar dari beberapa pejabat tinggi negara sehingga terkesan meremehkan wabah COVID-19. Pada 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua kasus pertama COVID-19 di Indonesia. Dengan munculnya kasus COVID-19 di Indonesia, beberapa peraturan nasional telah dibuat pemerintah, baik oleh BNPB, POLRI, Menteri, hingga Presiden Indonesia selama periode Februari – Maret 2020 untuk menekan angka penyebaran COVID-19 yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:

Daftar Regulasi Pemerintah Pusat Periode Februari – Maret 2020

sumber: Progress in Disaster Science, “ Journal Vol.6, April 2020. 

Pada 31 Maret 2020, akhirnya pemerintah pusat menyatakan satu keputusan yaitu peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Setidaknya terdapat tiga peraturan dasar yang menjadi acuan dalam penanganan wabah COVID-19 secara nasional meliputi: 

  • Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan COVID-19;
  • Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Deklarasi Kedaruratan Kesehatan Masyarakat;
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Dengan demikian, melalui perturan-peraturan tersebut pemerintah pusat menjawab asumsi publik setelah sebelumnya opsi Karantina Wilayah (lockdown) gencar disuarakan. Presiden Joko Widodo memaparkan bahwa keputusan PSBB sudah melalui proses pertimbangan dari segala aspek sesuai dengan kondisi dan karakteristik masyarakat Indonesia, sejalan dengan Pasal 11 UU No. 6 Tahun 2018. 

Dalam paradigma hukum Indonesia, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) merupakan salah satu respons terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang merujuk pada Pasal 15 ayat (2) UU Nomor 6 Tahun 2018. Keputusan pemerintah yang enggan melakukan Karantina Wilayah telah menimbulkan sikap pro-kontra di masyarakat Indonesia. Kebijakan PSBB dinilai memberikan ketidakpastian yang lebih lama terhadap ekonomi dan efektivitasnya dalam menekan penyebaran wabah juga dianggap kurang efektif dibanding lockdown total. Meskipun begitu, di satu sisi lockdown akan meruntuhkan sistem perekonomian Indonesia karena pemerintah wajib memenuhi segala kebutuhan dasar, bahkan pakan hewan ternak warganya. Dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini yang mencapai 260 juta jiwa, memang sangat tidak mungkin untuk menerapkan Karantina Wilayah secara nasional. Kemudian perlu diperhatikan juga bahwa struktur ketenagakerjaan Indonesia yang rapuh akibat ketergantungan terhadap industri jasa dan sektor informal hanya akan menambah daftar kekacauan domestik apabila kebijakan lockdown benar-benar diterapkan. 

KEBIJAKAN YANG TANGGUNG

Lambannya proses awal penanganan COVID-19 membuat pembentukan Gugus Tugas COVID-19 juga terlambat setelah virus itu menyebar selama dua bulan di Indonesia. Selain itu, terdapat juga beberapa regulasi yang bermasalah antara lain:

  1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020

Mekanisme penetapan PSBB di suatu daerah memerlukan beberapa syarat yang disinggung dalam PP No. 21 Tahun 2020 dan dipertegas dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 9 Tahun 2020. Penerapan PSBB di daerah memerlukan persetujuan pemerintah pusat melalui izin Menteri Kesehatan. Untuk mendapatkan persetujuan penerapan PSBB, setiap pemerintah daerah harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Adanya prosedur tersebut menyebabkan alur birokrasi daerah bertambah panjang dalam menanggulangi COVID-19.

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2020 

Terdapat satu klausul yang membingungkan, yakni dalam Pasal 4 ayat (1) terkait penggunaan diksi “peliburan” bagi sekolah dan tempat kerja. Kenyataannya, sekolah maupun tempat kerja tidak diliburkan, melainkan pembelajaran jarak jauh untuk sekolah dan sebagian tempat kerja memberlakukan work from home (WFH). Maka dari itu, ketentuan tersebut tidak tepat. Meskipun dalam ayat (2) terdapat keterangan lebih lanjut terkait Pasal 4 ayat (1), namun dalam ketentuan ayat (2) dan ayat (3) tidak mengandung mekanisme pelaksanaan Pasal 4 ayat (1) secara praktis. Regulasi ini merupakan bentuk aturan yang diamanatkan oleh Pasal 10 ayat (4) UU Nomor 6 Tahun 2020 sehingga sifatnya adalah peraturan pelaksanaan terkait kebijakan PSBB. Sayangnya, aturan ini terlalu sederhana dan minimalis untuk sebuah peraturan pelaksana sebab hanya menjelaskan mekanisme saja, tidak mencakup ketentuan operasional PSBB. 

  1. Perpu Nomor 1 Tahun 2020

Peraturan ini memiliki substansi yang mengundang perdebatan, yaitu Pasal 27 mengisyaratkan adanya imunitas pejabat karena tidak dapat dituntut jika negara mengalami kerugian akibat kasus ini sepanjang melaksanakan tugas dengan itikad baik dan sesuai dengan ketentuan. Pasal ini sangat rawan adanya korupsi. 

Selain dari segi regulasi, peninjauan lebih lanjut adalah mengenai kendala dalam implementasi di daerah yang sedikit banyak akibat regulasi dari pemerintah pusat. Pertama, lambannya koordinasi antara pemerintah pusat ke daerah dalam mengambil kebijakan negara mengakibatkan terjadinya koordinasi yang buruk antara pusat dan daerah. Dalam keadaan darurat, koordinasi sangatlah penting. Sebelum pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan tentang PSBB, pemerintah daerah (pemda) telah bergerak terlebih dahulu dalam menangani kasus COVID-19 di wilayah masing-masing. Hal ini disebabkan karena pemerintah pusat terlalu lama dalam merumuskan kebijakan nasional.

Kedua, rumitnya alur birokrasi penerapan PSBB di daerah. Kemampuan respons yang cepat dan tepat sangat menentukan keberhasilan Indonesia dalam melawan wabah ini. Keterlambatan keputusan yang diambil pemerintah dapat berakibat fatal karena memberikan kesempatan untuk virus menyebar semakin besar. Oleh karena itu waktu adalah segalanya dalam kondisi darurat kesehatan. 

Ketiga, kusutnya prosedur Pembatasan Sosial Berskala Besar menimbulkan ketidakpastian dalam penanganan wabah. Sebenarnya, hal ini bermula sejak penetapan UU Nomor 6 Tahun 2018 yang dibiarkan hampir dua tahun menggantung tanpa adanya peraturan pelaksana hingga akhirnya diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 pada 31 Maret lalu. Tentu saja ini meninggalkan kesan bahwa harus terjadi keadaan darurat terlebih dahulu baru pemerintah mau bergerak. Akhirnya, respons awal pandemi sangatlah kacau ditambah dengan sikap meremehkan dari sebagian pejabat tinggi negara. 

Akibat lebih lanjut yaitu adanya regulasi yang saling berbenturan. Misalnya, terjadi pertentangan antara Peraturan Menteri Perhubungan (Pemenhub) Nomor 18 Tahun 2020 dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 yang menjadi dasar penerapan PSBB di DKI Jakarta. Permasalahan yang muncul yaitu mengenai polemik ojek online (ojol) untuk mengangkut penumpang. Dalam Pasal 18 ayat (6) Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 menyebutkan “Angkutan roda berbasis aplikasi dibatasi penggunaannya hanya untuk pengangkutan barang”. Tidak ada pasal lain yang mengatur pengecualian pasal itu. Peraturan ini mengacu kepada Permenkes bahwa ojol termasuk kendaraan roda dua sehingga tidak diperkenankan membawa penumpang. Sedangkan Permenhub dalam Pasal 11 ayat (1) huruf d memperbolehkan ojol untuk mengangkut penumpang. Jadi, peraturan manakah yang harus diikuti?

PERSPEKTIF PUBLIK

Berbagai masalah yang telah dipaparkan sebelumnya akhirnya berimplikasi terhadap ketidakpatuhan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah. Sikap lamban dan buruknya koordinasi dalam lembaga pemerintahan membuat kondisi domestik berlarut-larut dalam ketidakpastian. Belum lagi, kebijakan yang setengah-setengah mengakibatkan kepercayaan publik kepada pemerintah kian menipis. Publik lebih memilih mencari sumber lain dalam memahami pandemi yang justru menambah kesimpangsiuran karena merebaknya informasi yang tidak kredibel. Implikasinya yaitu masih terdapat banyak sekali kasus pelanggaran PSBB, seperti kerumunan massa saat penutupan McDonald’s Sarinah dan banyaknya orang dari zona merah yang ingin mudik dengan surat kesehatan palsu di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta yang sangat berpotensi menimbulkan klaster baru dari penyebaran COVID-19. Ketidakpatuhan masyarakat dan inkonsistensi pemerintah dalam penanganan wabah menyebabkan pelaksanaan PSBB belum berjalan sesuai yang diharapkan sehingga sangat diperlukan evaluasi terhadap aturan PSBB.

REKOMENDASI KEBIJAKAN

Seperti apa yang telah dipaparkan, Indonesia masih memiliki banyak permaslahan dalam menangani pandemi COVID-19. Oleh karena itu, penting melakukan evaluasi, baik dari segi kebijakan domestik maupun kebijakan luar negerinya. Berikut penulis jabarkan beberapa poin yang perlu diperhatikan untuk memastikan keberhasilan kebijakan pemerintah dalam menangani COVID-19:

Kebijakan Dalam Negeri

  1. Pemerintah Indonesia memerlukan data dan riset yang jauh lebih dalam untuk benar-benar memahami dan mendapatkan gambaran besar dari distribusi COVID-19 nasional saat ini. Informasi ini penting agar kebijakan yang diambil merupakan kebijakan yang terintegrasi dan satu kesatuan. 
  2. Diperlukan pembenahan koordinasi dari internal pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun daerah, agar memiliki satu visi dan misi dalam penanganan COVID-19. Koordinasi menjadi penting untuk dilakukan agar dapat menghasilkan kebijakan yang sinkron, tegas, dan inovatif serta menghindari adanya regulasi tumpang tindih yang menimbulkan kebingungan publik. 
  3. Meningkatkan perluasan fasilitas kesehatan pasokan medis yang memadai dengan cara menambah daftar rumah sakit rujukan, terutama di daerah-daerah yang penyebarannya belum signifikan untuk kesiapan dalam menghadapi kemungkinan terburuk
  4. Pemerintah harus tegas dalam menindak setiap pelanggar PSBB agar pelaku memiliki rasa jera, misalnya memberlakukan denda dan/atau sanksi pidana bagi pelanggar PSBB sebagai upaya represif. 
  5. Melibatkan pemimpin di tingkat akar rumput (komunitas dan RT/RW) yang akan berperan melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah agar berjalan sebagaimana mestinya dalam lingkup yang lebih kecil. 
  6. Berkaitan dengan kultur masyarakat Indonsesia, Pemerintah membutuhkan peran pemuka agama dalam mempengaruhi masyarakat untuk menaati PSBB. Pemerintah dapat mengandalkan organisasi-organisasi agama untuk menggunakan sumber daya mereka seperti sekolah, fasilitas kesehatan, sukarelawan dan ulama.

Kebijakan Luar Negeri 

  1. Akses universal ke vaksin dan perawatan harus dijamin dengan penghormatan penuh atas hak asasi manusia, kesetaraan gender dan tanpa stigma serta diskriminasi.
  2. Distribusi peralatan medis yang penting seperti produk desinfektan dan sanitasi, masker, dan ventilator perlu dikoordinasikan dan dipromosikan secara internasional, melampaui kerja sama pada vaksin dan terapi.
  3. Meningkatkan kerja sama internsional baik dalam lingkup regional seperti ASEAN dan juga lingkup global karena COVID-19 adalah masalah global.
  4. Meningkatkan hubungan bilateral agar dapat saling bertukar pikiran untuk menanggulangi COVID-19.

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL

UN Monthly Briefing on the World Economic Situation and Prospects, “COVID-19: Disrupting Lives, Economies, and Societies”, No.136, 1 April 2020. 

UNICEF, “COVID-19 and Children in Indonesia: An Agenda for Action to Address Socio-Economic Challenges” 

United Nations. “SHARED RESPONSIBILITY, GLOBAL SOLIDARITY: Responding to the socio-economic impacts of COVID-19”

ILO Monitor: COVID-19 and the world of work. Third edition (April 2020)

Progress in Disaster Science, “Review and Analysis of Current Responses to COVID-19 in Indonesia: Period of January to March 2020” Journal Vol.6, April 2020.

LAMAN INTERNET

Ananda, Putra. “Ada Pertentangan Norma dalam Permenkes dan Permenhub soal Ojol”. Media Indonesia. 12 April 2020.  https://mediaindonesia.com/read/detail/303323-ada-pertentangan-norma-dalam-permenkes-dan-permenhub-soal-ojol (diakses pada tanggal 20 Mei 2020)

Aulia, Salsabiila Tiara. “Diskursus Penanganan Covid-19 oleh Pemerintah Pusat dan Daerah: Efektifkah Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Diterapkan?”. Fakultas Hukum Universitas Padjajaran. 12 April 2020 http://fh.unpad.ac.id/diskursus-penanganan-covid-19-oleh-pemerintah-pusat-dan-daerah-efektifkah-kebijakan-pembatasan-sosial-berskala-besar-psbb-diterapkan/ (diakses pada tanggal 20 Mei 2020)

Chsna Farisa, Fitria.“Pasal soal Imunitas Pejabat di Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Dipersoalkan di MK”. Kompas.  28 April 2020. https://nasional.kompas.com/read/2020/04/28/16301121/pasal-soal-imunitas-pejabat-di-perppu-nomor-1-tahun-2020-dipersoalkan-di-mk (diakses pada tanggal 20 Mei 2020)

Firdaus, Febriana. “Indonesian Screening May Be Missing Virus Carriers”. Foreign Policy. 19 Februari 2020. https://foreignpolicy.com/2020/02/19/indonesia-coronavirus-screening-may-miss-virus-carriers/ (diakses pada tanggal 20 Mei 2020)

Mantong, Andrew. “Public Health and Indonesia’s Foreign Policy in time of Coronavirus”. The Jakarta Post. 7 April 2020. https://www.thejakartapost.com/academia/2020/04/07/public-health-and-indonesias-foreign-policy-in-time-of-coronavirus.html (diakses pada tanggal 20 Mei 2020)

Redaksi Tempo. “Kerumitan Birokrasi Memperlambat Penanganan Wabah”. Koran Tempo. 3 April 2020. https://koran.tempo.co/read/laporan-utama/451535/kerumitan-birokrasi-memperlambat-penanganan-wabah? (diakses pada tanggal 20 Mei 2020)

Redaksi Warta Ekonomi. “Indonesia Bebas Corona, Menkes Terawan: Semua Berkat Doa-doa”. Warta Ekonomi. 15 Februari 2020. https://www.wartaekonomi.co.id/read272085/indonesia-bebas-corona-menkes-terawan-semua-berkat-doa-doa. (diakses pada tanggal 20 Mei 2020)

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *