Covid-19: Menuntut Janji Politik Industri 4.0 kepada Presiden Jokowi

1

Ilustrasi big data pada Covid-19. Foto: pixabay.com.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah memberikan janji politik pada kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 2019 tentang “lompatan-lompatan” peradaban dan teknologisalah satunya melalui janji besar dengan penerapan Industri 4.0.

Industri 4.0 merupakan term atau konsep tentang penggunaan teknologi yang lebih dalam di berbagai sektor kehidupan manusia, dari transportasi, bisnis,  administrasi pemerintahan, telekomunikasi, dan lain – lain.

Namun, tidak seperti janji-janji politik Presiden Jokowi pada periode sebelumnya, yang cenderung tidak terlaksana bahkan tidak tercapai dengan baik, janji politik Industri 4.0 ini justru sedikit terlaksana akibat paksaan dari adanya pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) di tanah air.

Bahkan, penerapan konsep Industri 4.0 ini diklaim oleh Presiden Jokowi dapat menghemat anggaran hingga 40 triliun dari alokasi perjalanan dinas yang ternyata dapat digantikan dengan virtual meeting atau video conference.

Meskipun begitu, nampaknya pemerintah masih jauh panggang dari api untuk menerapkan variabel dari Industri 4.,0 seperti big data dan artificial intelligent, dalam penanganan wabah pandemi Covid-19 di Indonesia.

Hanya Sebatas Janji Manis

Bila kita menilik lima tahun belakang, banyak janji Presiden Jokowi yang nampaknya tidak tercapai bahkan realisasinya menjadi lebih buruk baik dari bidang ekonomi, sosial, hingga politik dan demokrasi. Misalnya terkait pertumbuhan ekonomi, indeks demokrasi yang menurun, hingga program kemaritiman seperti tol laut yang dinilai gagal menurunkan disparitas harga logistik antara wilayah Indonesia bagian Barat dan Timur.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 2015 hingga 2019 mengalami stagnasi di angka 5 persen. Padahal Presiden Jokowi saat kampanye pilpres berjanji akan membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7 persen. Bahkan di tengah pandemi Covid-19 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan kontraksi hingga 0,3 persen.

Selain itu, salah satu program andalan Presiden Jokowi pada saat periode pertama adalah adanya program tol laut yang merupakan pengejawantahan dari visi “Indonesia sebagai negara poros maritim dunia”.

Program tol laut dinilai gagal karena tidak dapat mengurangi biaya logistik barang dari barat ke timur. Padahal, program ini telah menghabiskan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp1 triliun – jumlah ini belum termasuk biaya pembuatan kapal yang mencapai Rp50 triliun.

Sedangkan dari sisi politik, sosial, dan demokrasi, Presiden Jokowi juga gagal mempertahankan kesatuan dan persatuan masyarakat Indonesia yang saat ini masih terpolarisasi akibat kompetisi politik yang tidak sehat, selain itu adanya kriminalisasi dan tindakan represif pemerintah terhadap masyarakat yang mengkritik kinerja presiden dan jajarannya mengakibatkan indeks demokrasi Indonesia turun sejak tiga tahun terakhir. Sesuai riset dari perusahaan riset bisnis dan ekonomi yang berbasis di Inggris, yakni The Economist, menyebutkan bahwa indeks demokrasi Indonesia menurun sejak 2016 hingga 2019, dari peringkat ke-48 menjadi peringkat ke-64 secara global dari 167 negara.

Covid-19: Janji Politik Industri 4.0

Namun, berbeda dari janji politik Jokowi sebelumnya, kali ini ada secercah manfaat dari adanya pandemi Covid-19 di tanah air. Covid-19 ini justru memaksa presiden dan jajarannya untuk merealisasikan janji politik Industri 4.0 di Indonesia. Presiden terpaksa menghimbau masyarakat hingga perusahaan untuk melaksanakan himbauan  bekerja dari rumah, ibadah dari rumah, dan belajar dari rumah.

Himbauan tersebut memaksa masyarakat dan perusahaan menerapkan teknologi untuk menunjang kebutuhan mereka baik untuk bekerja, belajar, hingga beribadah. Bahkan, presiden menerapkan kebijakan untuk menerapkan virtual meeting untuk menggantikan pertemuan tatap langsung  di setiap kementerian, termasuk di Istana. Kebijakan ini dinilai presiden sangat menghemat anggaran hingga Rp40 triliun. 

Beberapa aplikasi video conference maupun layanan pesan antar makanan juga mengalami peningkatan keuntungan selama pandemi masih mewabah. Bahkan diketahui CEO sekaligus pendiri aplikasi video conference zoom—yang kini sedang populer, Erick Yuan, mendapatkan keuntungan sebesar Rp66 triliun dalam waktu 3 bulan sejak diberlakukannya pembatasan sosial  di berbagai negara, termasuk Indonesia.

Namun, ada hal lain yang perlu diperhatikan oleh presiden dan jajarannya terkait penggunaan teknologi dalam merealisasikan Industri 4.0 di tanah air, yaitu terkait keamanan dan privasi data masyarakat yang acapkali disalahgunakan oleh penyedia aplikasi tertentu, bahkan oleh pemerintah. Selain itu, pemerintah juga masih perlu meratakan inklusivitas dan aksesibilitas masyarakat terhadap penggunaan teknologi dan informasi di seluruh Indonesia.

Diketahui, menurut Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada 2019, terdapat sekitar 64,8% dari 264,16 juta penduduk Indonesia telah melek internet, dan sisanya sebesar 35,2%  belum melek internet. Angka ini masih kalah jauh dengan angka pengguna internet di Brunei Darussalam sebesar 94,6% disusul oleh Singapura 88,2% dan Malaysia 81,2%. Fakta ini menggambarkan puluhan juta orang masih perlu diperhatikan oleh pemerintah, untuk memastikan mereka dapat ikut berkontribusi dalam menyukseskan implementasi Industri 4.0 di Indonesia. 

Namun, nampaknya paradigma Industri 4.0 yang sarat dengan tuntutan digitalisasi, percepatan, dan transparansi informasi untuk membantu kebijakan pemerintah  secara efektif dan efisien juga belum melekat secara erat di dalam benak kepala pejabat negara terutama presiden dan jajarannya khususnya saat menghadapi wabah pandemi Covid-19 saat ini. 

Industry 4.0 Masih Jauh Panggang dari Api dalam Penanganan Covid -19

Perbedaan Data Covid-19 di Indonesia

Pemerintah akhir-akhir ini mendapatkan kritik dari berbagai elemen baik masyarakat, dokter, hingga media internasional terkait perbedaan data kasus Covid -19 di Indonesia. Seringkali data jumlah pasien Covid-19 di daerah dan pusat berbeda, hal ini menimbulkan kecurigaan masyarakat tentang adanya manipulasi data oleh pemerintah. Padahal, jika menggunakan teknologi yang terintegrasi antara pemerintah daerah dan pusat, seharusnya tidak ada perbedaan data karena data diupdate secara realtime.

Data Kependudukan yang Tidak Terintergasi

Selain itu, adanya Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) tidak membantu apapun dalam mitigasi ekonomi (jaring pengaman sosial) penanganan Covid-19. Padahal, E-KTP ini telah mendata ratusan juta data masyarakat Indonesia baik dari nama lengkap, usia, pekerjaan, dan lain-lain. Bahkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang tertera di E-KTP hampir digunakan di setiap administasi layanan publik. Misalnya aktivasi nomor kartu perdana, layanan perpajakan, layanan kesehatan, hingga layanan bantuan sosial (program keluarga harapan dll). Apabila data-data tersebut kita integrasikan dalam satu Big Data — tak terbayangkan kemudahan-kemudahan yang diterima pemerintah maupun masyarakat dalam penanganan mitigasi pandemic Covid-19  seperti sekarang ini.

Misal saja, kita bisa mencontoh bagaimana Singapura mempublikasikan situasi dan kondisi terkini tentang kasus Covid-19 di negaranya hanya dengan melalui blasting email—tidak perlu membuat konferensi pers yang monoton setiap sore tanpa ada additional value yang didapatkan oleh masyarakat.

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga dapat meniru skema penanganan pemberian stimulus terhadap masyarakat yang terdampak Covid-19 di Perancis. Di sana pemerintahnya telah menggunakan data yang terintegrasi, yang memuat setiap data penduduknya dari pendidikan, jenis pekerjaan, beban pekerjaan yang dapat dikerjakan di rumah, hingga termasuk data di mana mereka bekerja, telah terdokumentasi dengan baik. Skema ini membantu pemerintah untuk memetakan stimulus yang didapatkan oleh setiap warga negara secara terukur dan berkeadilan.

Pasalnya, akhir-akhir ini pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, terutama pedesaan masih melakukan pendataan secara manual untuk mendapatkan akses Bantuan Sosial (Bansos) dari pemerintah. Akibatnya, banyak manipulasi data hingga bantuan yang tidak tepat sasaran di tengah masyarakat. Hal ini justru merugikan mereka  yang paling berhak dan membutuhkan, ditambah tidak ada keterbukaan data yang disediakan pemerintah membuat masyarakat tidak dapat mengawasi dengan baik.

Misalnya saja, seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta justru masuk dalam daftar penerima Bansos dari pemerintah provinsi DKI Jakarta. Hal ini patut disayangkan, karena Bansos tersebut seharusnya diterima oleh kelompok warga miskin dan warga rentan miskin yang terdampak Covid-19. Ini baru satu kasus di Jakarta, belum di wilayah lain yang masih minim pengawasan terutama sorotan dari media. 

Padahal, jika pemerintah benar-benar berkomitmen merealisasikan janji politik Industri 4.0, seharusnya mereka telah memanfaatkan big data dalam proses keterbukaan informasi mengenai data kasus Covid-19 hingga urusan bantuan sosial. Hal ini dapat meminimalisasi terjadinya manipulasi serta korupsi dana bantuan sosial oleh pihak tertentu, karena di tengah krisis seperti ini potensi untuk melakukan kejahatan semakin besar.

Namun, agaknya harapan dan ambisi besar dari lompatan peradaban melalui Industri 4.0 hanya ada dalam “angan-angan” semata karena dibutuhkan kepemimpinan yang visioner dan mumpuni untuk mewujudkan mimpi besar tersebut. 

Zakie Andiko Ramadhani menduduki posisi Executive, Research, and Advisory di KRA Group. Dapat ditemui di Instagram: @zakie.ar.

Tentang Penulis

1 thought on “Covid-19: Menuntut Janji Politik Industri 4.0 kepada Presiden Jokowi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *