Kanal Kra: Sebuah Gagasan ‘Pembunuh’ Jalur Selat Malaka

0

Ilustrasi Kanal Kra. Foto: shutterstock.com.

Saya sama sekali tidak tahu dan belum pernah mendengar kabar ini sebelum membaca tulisan Hafizh yang berjudul Menganalisis Sesat Pikir Mardigu dalam Tiga Level Kajian Hubungan Internasional. Setelah membaca tulisannya, pikiran saya langsung mengingat-ingat mengenai impian abadi Thailand untuk menguasai jalur perdagangan di Asia Tenggara melalui pembuatan kanal di Tanah Genting Kra, sebuah titik terpendek yang memisahkan Laut Andaman, Teluk Thailand, dan Laut Tiongkok Selatan (atau Laut Natuna Utara versi kita) dengan panjang minimum hanya 44 km. Sebuah proyek yang jika dieksekusi akan mengubah wajah perdagangan Selat Malaka, yang biasanya dikuasai oleh Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Setelah selesai, proyek ini akan menjadi kuasa monopoli Thailand. Terlebih, proyek ini sangat didukung oleh negara negara Asia Timur seperti Tiongkok dan Jepang karena dapat memperpendek pelayaran sejauh 1.200 km atau 3-4 hari waktu tempuh.

Selayang Pandang Kanal Kra

Seperti yang saya tuliskan di atas, Tanah Genting Kra merupakan titik daratan terpendek yang memisahkan Laut Andaman dengan Teluk Thailand dan Laut Tiongkok Selatan. Proyek Terusan Kra ini merupakan mimpi abadi bangsa Thailand selama 343 tahun. Ide ini digaungkan oleh Raja Narai yang mengajak insinyur Prancis bernama de Lamar pada tahun 1677 untuk melakukan survei mengenai kemungkinan dibuat sebuah daerah yang dapat menyatukan daerah kekuasaannya di sisi Laut Andaman dengan daerah lainnya di sisi Teluk Thailand.

Selama beberapa dinasti ide tersebut selalu digaungkan, terlebih setelah melihat kesuksesan Terusan Suez dan Panama. Namun, proses pengerjaannya tidak kunjung terlaksana akibat mempertimbangkan efek yang terjadi dari pembangunan ini, yakni mengganggu hubungan diplomatik Thailand dengan negara-negara yang berada di Selat Malaka seperti Singapura, Malaysia, dan Indonesia. 

Di Thailand, proyek ini telah menyatukan pemerintah yang berkuasa dengan oposisi yang selama ini terus bersilang pendapat. Proposal oleh Mayor Jendral Songklod Thiprat dari Thai Nation Power party ini kemudian mendapat dukungan dari berbagai partai di dalam lingkaran pemerintah maupun oposisi, dengan alasan bahwa proyek ini dapat meningkatkan bargaining position dan kemakmuran masyarakat. Beberapa yang menolak mengungkapkan bahwa proyek ini memungkinkan semakin meruncingnya ketimpangan daerah sebelah utara kanal dengan wilayah selatan kanal yang sering bergolak seperti Pattani dan Yala. Namun, dengan mayoritas parlemen menyetujui ide ini, Parlemen Thailand memberikan lampu hijau untuk melakukan studi pendalaman selama 120 hari, untuk mempelajari lebih dalam kemungkinan pengerjaan dari proyek ini.

Thailand sebagai tuan rumah dari proyek ini nampaknya tidak terlalu pusing dalam pendanaan proyek tersebut, sebab bagi negara – negara Asia Timur, proyek ini sangat menggiurkan. Tercatat Pemerintah Tiongkok, dengan program Jalur Sutra modernnya, menawarkan investasi sebesar 28 Milyar Dolar dan memungkinkan penyerapan tenaga kerja sebanyak hampir 30.000 orang selama sepuluh tahun masa pembangunan. Investasi menggiurkan ini dilakukan mengingat saat ini, seluruh pelayaran dari Eropa, Timur Tengah, dan Afrika, terutama pengangkutan Minyak Mentah menuju Asia Timur, selama ini harus melalui selat Malaka. Bagi negara – negara Asia Timur, adanya pemotongan jalur pelayaran ini akan memotong biaya pelayaran yang selama ini membebani, terlebih menurut perhitungan beberapa ahli, pemotongan jalur ini memungkinkan penurunan harga minyak mentah sebesar 0.09 Dollar/barel.  

Apakah Ini Akan Menjadi Ancaman atau Peluang Bagi Indonesia?

Kita tidak akan pernah bisa memisahkan Selat Malaka dari Indonesia, Malaysia dan Singapura. Tercatat dalam sejarah kita kerajaan-kerajaan besar seperti Sriwijaya dan Malaka sangat bergantung dengan keberadaan Selat Malaka. Kemasyhuran kerajaan-kerajaan ini hinggap sampai di telinga negeri-negeri asing, tidak lain dan tidak bukan diakibatkan oleh strategisnya posisi wilayah ini di mata mereka. Penguasaan jalur ini memungkinkan terciptanya hubungan yang lebih luas dengan negeri-negeri asing, tak terkecuali di masa modern ini.

Hal ini dapat dilihat dengan berdirinya banyak pelabuhan di sepanjang Selat Malaka seperti Kuala Tanjung, Batam Belawan, Port Klang, Port Dickson, Johor, dan tentu saja yang paling terkenal, Singapura.

Singapura sendiri sejak lama memang sangat ingin agar proyek Terusan Kra mati sebelum berkembang. Hal ini seperti dilaporkan oleh The Diplomat, yang memuat artikel 7 tahun 1946 Anglo-Thai Treaty, yang berisi pelarangan kerajaan Thailand untuk membangun kanal penguhubung Laut Andaman dengan Teluk Siam tanpa berdiskusi terlebih dahulu dengan pemerintah Inggris. Dieksekusinya proyek Kanal Kra membuat Pelabuhan Singapura tidak akan disinggahi lagi.

Ide mengenai Terusan Kra semakin menghangat karena Selat Malaka semakin terkenal akan keganasan perompaknya. Berdasarkan data dari Perjanjian Kerjasama Regional untuk Memerangi Pembajakan dan Perampokan Bersenjata (ReCAAP ISC), hingga akhir Desember 2019 telah tercatat sebanyak 31 aksi perompakan, meningkat tajam dari hanya 8 kasus pada tahun 2018. Hal ini menunjukan masih belum amannya Selat Malaka. Pihak berwenang di sekitar Selat Malaka pun tampaknya belum mampu memberikan rasa aman dari ancaman perompakan, yang kemudian menarik perhatian bagi dunia pelayaran untuk mencari jalur alternatif selain Selat Malaka.

Bagi Singapura, tentunya Terusan Kra akan menjadi pukulan telak, mengingat sebagian besar kegiatan ekonomi mereka bergantung pada posisi mereka yang strategis. Singapura memang sering mendapat guncangan keras yang diakibatkan oleh kebijakan negara-negara tetangganya, seperti Negosiasi Air dengan Malaysia. Kita juga tidak boleh lupa dengan kebijakan amnesti pajak yang membuat pemerintah Singapura ketar-ketir, karena sektor jasa dan industri Singapura memiliki porsi sebesar 76.2 dan 23.8 persen.

Namun nampaknya Pemerintah Singapura masih bisa bernafas lega, karena diperlukan waktu yang cukup panjang bagi Kanal Kra untuk menyamai fasilitas yang sudah ada seperti di Singapura, yang didorong pula dengan kestabilan politiknya.

Bagi Malaysia Kanal Kra akan mengancam pelabuhan utama mereka seperti Port Klang, Port Dickson dan Johor. Sedangkan bagi Indonesia sendiri, beberapa teori mengungkapkan bahwa proyek Kanal Kra akan menjadi peluang bagi Indonesia, dengan pelabuhan yang terletak di wilayah yang tidak terlalu jauh dengan bibir Kanal Kra seperti Sabang dan Pulau Weh dapat menjadi tempat persinggahan sebelum kapal-kapal tersebut melalui kanal tersebut.

Namun di sisi lain, hal ini menjadi tantangan bagi Pemerintah Indonesia untuk membuat pelabuhan di wilayah Aceh semakin “seksi” untuk disinggahi, yakni dengan pembangunan fasilitas yang mumpuni. Namun, andai kata ide untuk menarik “upeti” sebesar USD 1/ ton barang bawaan ini benar terjadi, nampaknya kita tidak akan dapat  apa-apa selain citra sebagai perompak yang dilegalkan. Semoga ini tidak pernah terjadi.

Mohd Derial adalah alumni Manajemen Universitas Sumatera Utara. Dapat dihubungi melalui Twitter dan Instagram di @mderial

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *