Diplomasi Olahraga India-Pakistan: Saksi Jatuh Bangunnya Hubungan Dua Negara

0

Ilustrasi pertandingan kriket India lawan Pakistan. Foto: ICC Cricket

Pendahuluan

Beberapa bulan yang lalu, tim kriket Pakistan berhasil menghajar sang rival—India—di pentas kriket dunia, T20 World Cup 2021. Pertandingan tersebut telah mengukir sejarah dengan mencatat 167 juta penonton dan menjadikannya sebagai “the most viewed” sepanjang perhelatan T20 (DNA India, 2021). Kemenangan Pakistan ini juga mengakhiri dahaga kemenangan mereka atas India di ajang yang sama (Al Jazeera, 2021). Pertandingan antara India-Pakistan ini merupakan pertandingan yang sarat akan rivalitas, terlebih kedua negara ini memiliki hubungan yang sangat panjang dan penuh akan konflik. Akan tetapi, kehadiran olahraga kriket ini dapat menjadi sebuah alat baru dalam melakukan upaya diplomasi antara India-Pakistan. Terlebih dengan pertemuan kedua negara di lapangan menjadi turut mencairkan ketegangan yang selama ini menyelimuti hubungan mereka. Dalam menyusun tulisan ini, penulis akan membaginya ke dalam tiga bagian, dimulai dengan penjelasan mengenai diplomasi kriket, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan diplomasi kriket antara India-Pakistan, serta penutup di akhir artikel.   

Kerangka Analisis: Diplomasi Olahraga

Olahraga merupakan bahasa universal yang dapat menyatukan berbagai perbedaan dalam satu waktu. Peranan olahraga pun semakin kompleks, dimana yang tadinya hanya ditujukkan sebagai sarana hiburan dan rivalitas di lapangan semata, kini olahraga telah dijadikan alat untuk meraih kepentingan politik. Di antaranya, menjadikan olahraga sebagai bagian dari instrumen diplomasi.   

Diplomasi olahraga sebenarnya telah lama digunakan oleh beberapa negara guna mencapai kepentingan luar negerinya. Lewat olahraga ini juga, negara-negara dapat menjalin interaksi yang lebih “luwes” dalam membuka dialog di luar meja perundingan yang sifatnya formal. Di samping, peranan aktor negara, diplomasi olahraga juga mewadahi kepentingan aktor di luar negara, seperti organisasi internasional hingga aktor individu. Maka dari itu, diplomasi olahraga ini mempunyai dua variasi, ada diplomasi olahraga tradisional dan juga sports diplomacy version 2.0 (Murray, 2016). 

Diplomasi olahraga tradisional dicirikan dengan dominasi power aktor negara. Dimana negara menggunakan diplomasi olahraga ini tak lain dan tak bukan untuk mencapai tujuan serta kepentingan luar negerinya. Contohnya dalam rangka national building, negara menjalin serta memperkuat hubungannya dengan negara lain, hingga menjadikan diplomasi olahraga sebagai sarana dalam membangun nation branding negara tersebut (Levermore, 2004). Di samping itu, diplomasi olahraga juga ditujukan sebagai alat untuk membuka keran-keran dialog serta digunakan sebagai wadah dalam melakukan rekonsiliasi, integrasi, dan promosi nilai-nilai tertentu kepada masyarakat dunia (Nygård & Gates, 2013). Maka dari itu, diplomasi olahraga sendiri merupakan bagian integral dari diplomasi publik. 

Selain dapat menjalin hubungan antarnegara, diplomasi olahraga juga dapat memperburuk hubungan antarnegara, bahkan dapat menggiring mereka ke dalam konflik. Contohnya lewat aksi boycott—yakni tindakan untuk tidak berpartisipasi dalam suatu penyelenggaraan olahraga karena alasan politis—dan tindakan sport isolation, yakni hal-hal yang meliputi pelarangan untuk berlaga dan ikut serta dalam sebuah kompetisi olahraga (Kobierecki, 2017). Kondisi tersebut juga menandakan bahwa diplomasi olahraga dapat dijadikan sebagai senjata politik untuk membalas bahkan menyerang negara lainnya.   

Seiring dengan berkembangnya aktor-aktor dalam hubungan internasional, hal ini membuat peranan aktor non-negara semakin berkembang. Begitu juga dalam dunia diplomasi, aktor-aktor seperti IGOs, MNCs, hingga aktor individu (dalam hal ini atlet) sekalipun kini memiliki peranan penting (Murray, 2016). Dalam diplomasi olahraga ini, peranan aktor non-negara tadi dapat memengaruhi persepsi masyarakat luar bahkan mempengaruhi arah kebijakan luar negeri suatu negara baik secara langsung maupun tidak langsung (Kobierecki, 2020). Berangkat dari sinilah, sports diplomacy version 2.0 lahir dan telah menjadi wajah baru dalam diplomasi olahraga. 

Diplomasi Kriket dalam Hubungan India-Pakistan 

Hubungan India dan Pakistan memang selalu diwarnai dengan berbagai konflik yang mengiringinya. Sejak adanya Partisi 1947, kedua negara pun tak lepas menghadirkan berbagai pertikaian—dimulai dari permasalahan terkait perbatasan, isu tentang keamanan dan terorisme, hingga dihadapkan pada isu kelangkaan air—yang telah menjadi bagian dari catatan kelam antara India dan Pakistan (Hussain, 2019). Meskipun kedua belah pihak telah melakukan berbagai usaha untuk menyelesaikan konflik, akan tetapi resolusi yang dibangun masih belum mencapai “long-lasting peace” (Ahmed, 2014). Namun, di tengah ketegangan yang dihadirkan oleh dua negara ini, olahraga hadir memberikan ruang bagi kedua negara untuk bertemu, lewat pertandingan kriket. 

Olahraga kriket sendiri pertama kali diperkenalkan dan disebarluaskan oleh Inggris ke negara-negara jajahannya. Hingga sekarang, olahraga ini masih tetap eksis di beberapa negara bekas jajahannya, seperti India dan Pakistan (Wagg, 2018). Bahkan olahraga ini merupakan olahraga paling populer di India dan juga Pakistan (Javed, 2016). Di samping menjadi sebuah permainan, olahraga kriket juga merupakan simbol perlawanan orang-orang di kawasan Asia Selatan—khususnya India, Pakistan, Bangladesh—terhadap kolonialisme (Guha, 2002). Seiring berjalannya waktu dan lahirnya partisi di tahun 1947—yang membagi subkontinen India menjadi dua negara berdaulat, yaitu India dan Pakistan—telah muncul banyak kesempatan yang memberikan ruang kepada kriket untuk membantu proses penyelesaian konflik antara kedua negara ini. Salah satu peran dari olahraga kriket adalah berhasil mencairkan ketegangan kedua negara serta memberikan angin segar bagi proses normalisasi hubungan India-Pakistan (Ahmed, 2014). Pertandingan kriket dapat membuka kesempatan baik bagi para pemimpin kedua negara ataupun para pendukung masing-masing negara untuk bertemu dan membangun komunikasi di antara mereka. Hal tersebut tentu dapat mendorong hubungan kedua negara lebih baik lagi (Moolakkattu, 2021). 

Pertandingan kriket India dan Pakistan pertama kali digelar pada tahun 1954. Pertandingan tersebut juga bukan hanya memperlihatkan rivalitas kedua negara di lapangan, tetapi juga menandakan kembalinya normalisasi hubungan kedua negara. Kondisi tersebut ditandai dengan diberlakukannya visa bagi masing-masing warga negara India dan Pakistan agar bisa menonton pertandingan kriket—baik di India maupun Pakistan. Namun, kondisi tersebut hanya bertahan beberapa tahun saja hingga meletus perang pada tahun 1965 dan 1971. Hingga pada tahun 1978, pertandingan kriket India-Pakistan kembali digelar (Moolakkattu, 2021). 

Peranan diplomasi kriket ini semakin kentara, ketika Presiden Pakistan, Jenderal Zia-ul-Haq menyambangi India untuk menonton pertandingan kriket negaranya melawan India pada tahun 1987. Saat itu, Presiden Zia mulai memperkenalkan kriket sebagai bagian dari inisiatif perdamaian kedua negara (Jha, 2017). Maka dari itu, Zia melakukan pertemuan dengan Rajiv Gandhi—Perdana Menteri India saat itu—untuk membahas kondisi ketegangan yang sedang terjadi di wilayah perbatasan. Kunjungan Zia ini juga menandai lahirnya istilah “diplomasi kriket” yang selama ini kita kenal (Moolakkattu, 2021). 

Pada tahun 1989, terjadi Kashmiri Uprising yang membuat hubungan India dan Pakistan kembali renggang. Hubungan kedua negara pun semakin memburuk ketika orang-orang ekstrimis Hindu menghancurkan Masjid Babri di Ayodhya pada tahun 1992 (Guha, 2002). Setelahnya, kedua negara melakukan berbagai upaya untuk menurunkan tensi lewat berbagai pertemuan, seperti dalam pertemuan SAARC di Sri Lanka dan the Lahore Summit (1999) yang kembali menandai normalisasi hubungan kedua negara. Masih di tahun yang sama, Perdana Menteri Pakistan  Nawaz Sharif melakukan kunjungan ke India sekaligus menghidupkan kembali cricket relation antara India-Pakistan melalui tur pertandingan kriket. Dalam tur tersebut juga, tim Pakistan mendapatkan sambutan hangat dari warga India. Begitu pun ketika tim India melakukan serangkaian tur pertandingan ke Pakistan (Jha, 2017). Namun, hubungan mesra tersebut kembali digagalkan oleh Perang Kargil serta adanya peristiwa pembajakan pesawat India oleh militan Islam Pakistan di tahun 1999. Dua tahun setelahnya, hubungan kedua negara semakin memanas pasca terjadinya penyerangan terhadap parlemen India di Lok Sabha. Semakin renggangnya relasi kedua negara berimplikasi juga terhadap hubungan kriket kedua negara yang terlihat dari bagaimana pemerintah India menolak keras untuk bertemu dengan Pakistan dalam pertandingan olahraga apapun (Shahid & Perveen, 2015). 

Hingga pada tahun 2004, India dan Pakistan dipertemukan dalam pertandingan kriket dalam ajang ODI. Pertandingan ini juga turut menciptakan pertemuan informal antara pemimpin India dan Pakistan di Delhi. Bahkan setelah pertemuan tersebut, India dan Pakistan kembali membuka kantor Komisi Tinggi mereka dan menyetujui beberapa kesepakatan tentang keamanan, perbatasan, hingga penanggulangan terorisme. Selain itu, Vaajpayee—PM India kala itu—menghadiri pertemuan SAARC di Pakistan dan sukses memperbaiki hubungan kedua negara setelah sekian lama terputus. Bahkan kedua New Delhi dan Lahore memberikan visa kepada warganya agar dapat menikmati pertandingan kedua tim secara langsung (Jha, 2017). Kondisi tersebut juga menandakan kerekatan kedua negara setelah sekian lama dihantam konflik. 

Namun, lagi-lagi hubungan mereka kembali terguncang pasca terjadinya serangan Mumbai tahun 2008 dan memaksa pemerintah India untuk melarang segala bentuk pertandingan kriket dengan tim nasional Pakistan selama enam tahun. Bahkan, New Delhi pun melarang para pemain Pakistan untuk melakukan debut mereka di ajang Indian Premier League (IPL) (Moolakkattu, 2021). Hingga kedua negara kembali dipersatukan lewat pertandingan kriket yang tentu saja menghadirkan para pemimpin kedua negara untuk berdialog. Tepatnya saat perhelatan Piala Dunia Kriket 2011, PM India Mahmohan Singh dan PM Pakistan Yousuf Raza Gilani bertemu satu sama lain dan membahas tentang upaya perdamaian India dan Pakistan. Pertemuan antara dua para petinggi negara ini juga terus berlanjut. Pada tahun 2015 yang lalu, PM Modi mengundang PM Pakistan Nawaz Sharif sebelum pertandingan kriket India-Pakistan di ajang Piala Dunia Kriket 2015 (Jha, 2017). Dalam pertandingan tersebut India berhasil menggulung Pakistan dan semakin mengukuhkan kemenangan mereka atas Pakistan di ajang yang sama. 

Sayang, hubungan bilateral antara India dan Pakistan harus kembali memanas setelah terjadinya penyerangan yang terjadi di wilayah Kashmir. Meskipun begitu, hubungan kriket kedua negara terus berjalan dan kembali dipertemukan dalam sebuah laga yang dihelat di Manchester, Inggris. Dalam pertandingan tersebut, lagi-lagi Pakistan harus memakan pil pahit atas kekalahan mereka atas India. Namun, kondisi tersebut berbalik di tahun 2021, ketika Pakistan berhasil menghajar sang rival, India di pentas kejuaraan kriket dunia (Al Jazeera, 2021). Pertandingan tersebut juga menjadi ajang bagi kedua negara dalam mempererat hubungan mereka di tengah tensi kedua negara yang tidak tetap. 

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, peranan olahraga dalam mewadahi rekonsiliasi hubungan India dan Pakistan sangat besar. Di samping menjadikan olahraga sebagai bagian dari rivalitas serta refleksi nasionalisme kedua negara, olahraga juga telah menjadi alat untuk menjembatani komunikasi serta dialog perdamaian India dan Pakistan. Hal ini terbukti atas peranan pertandingan kriket yang menjadi magnet dalam mempertemukan para petinggi kedua negara ke dalam satu meja perundingan. Selain itu, para atlet yang berlaga juga telah menjadi perpanjangan tangan kedua negara (goodwill ambassadors) dalam menghadirkan upaya perdamaian sebagai bagian dari diplomasi publik. Peranan atlet ini juga dapat mempengaruhi persepsi publik di India maupun Pakistan. 

Meskipun olahraga kriket ini mampu mempertemukan kepentingan India-Pakistan, akan tetapi olahraga kriket ini juga dapat menjadi suatu bumerang bagi hubungan kedua negara. Seperti yang terjadi pada tahun 1978, ketika saat itu masyarakat india tidak rela atas kekalahan tim nasionalnya atas Pakistan. Kondisi ini menyulut konflik domestik India dan semakin meruncingkan hubungan antara kelompok Hindu dan Muslim di sana (Javed, 2016). Fenomena serupa juga terjadi, ketika tim nasional Pakistan berhasil menekuk perlawanan India di ajang T20 tahun 2021. Sontak, setelah kemenangan tersebut komunitas Muslim India sering disalahpahami bahkan mendapatkan berbagai serangan baik melalui sosial media maupun serangan fisik atau secara langsung—salah satunya adalah Mohammed Shami, pemain Muslim kriket India (Kazmin, 2021). 

Terlepas dari itu semua, peranan diplomasi olahraga India dan Pakistan lewat pertandingan kriket ini memiliki harapan besar terhadap terciptanya perdamaian antara kedua negara di tengah kondisi hubungan yang sangat dinamis dan kompleks ini. 

Referensi:

Ahmed, N. (2014). Peace-Building in South Asia: A Need for Third Party. Journal of South Asia and Middle Eastern Studies Vol. XXXVII, 56-72.

Al Jazeera. (2021, October 25). How Pakistan finally ended its World Cup drought against India. Retrieved from Al Jazeera: https://www.aljazeera.com/sports/2021/10/25/how-pakistan-finally-ended-its-world-cup-draught-against-india

DNA India. (2021, November 8). India vs Pakistan match in T20 World Cup 2021 creates history, here’s how. Retrieved from DNA India: https://www.dnaindia.com/cricket/report-india-pakistan-game-in-t20-world-cup-2021-creates-history-here-s-how-2918859

Esherick, G., Baker, R. E., Jackson, S., & Sam, M. (2017). Case Study in Sport Diplomacy. Morgantown: FiT Publishing.

Guha, R. (2002). A Corner of A Foreign Field: The Indian History of A British Sport. London: Picador.

Hussain, E. (2019). India-Pakistan Relations: Challenges and Opportunities. Journal of Asian Security and International Affairs 6 (1), 82-95.

Javed, B. (2016, March 18). Cricket rivalry could boost India-Pakistan ties. Retrieved from Deutsche Welle: https://www.dw.com/en/cricket-rivalry-could-boost-india-pakistan-ties/a-19126425

Jha, M. (2017, March 15). India and Pakistan’s Cricket Diplomacy: Cricket matches are used as ice breakers and political signalling in the complex India-Pakistan relationship. Retrieved from The Diplomat: https://thediplomat.com/2017/03/india-and-pakistans-cricket-diplomacy/

Kazmin, A. (2021, November 7). Humiliating cricket defeat exposes India’s Hindu-Muslim divide. Retrieved from Financial Times: https://www.ft.com/content/0d342971-ccd6-4ab9-90cc-3618e36935d6

Kobierecki, M. M. (2017). Sports Diplomacy of Norway. Interdisciplinary Political and Cultural Journal Vol. 20 No.1, 131-146.

Kobierecki, M. M. (2020). Sports Diplomacy: Sports in the Diplomatic Activities of States and Non-State Actors. London: Lexington Books.

Levermore, R. (2004). Sport’s role in construction the ‘inter-state’ worldview. In R. Levermore, & A. Budd, Sport and International Relations (pp. 16-30). London: Routledge.

Moolakkattu, M. J. (2021). Cricket Diplomacy and The India-Pakistan Peace Process. A Journal of Social Justice, 426-433.

Murray, S. (2016). Sports Diplomacy. In C. M. Constantinou, P. Kerr, & P. Sharp, The SAGE Handbook of Diplomacy (pp. 617-627). London: SAGE Publications Inc.

Nygård, H. M., & Gates, S. (2013). Soft power at home and abroad: Sport diplomacy, politics and peace-building. International Area Studies Review SAGE, 235-243.

Shahid, S. A., & Perveen, K. (2015). Cricket for Politics and Peace: from 1987 to 2007 Cricket World Cup between India and Pakistan. International Journal of Science Culture and Sport, 59-66.

Wagg, S. (2018). Cricket: A Political History of the Global Game, 1945-2017. New York: Routledge.

Ana Maulana adalah mahasiswa Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran. Dapat ditemukan di @anamaul08

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *