Facebook, Propaganda Politik, dan Pengaruhnya terhadap Reliabilitas Diplomasi Digital

0

Ilustrasi Mark Zuckerberg. Foto: Getty Images

Later Belakang

Di era globalisasi yang ditandai dengan pertukaran informasi yang semakin cepat, kebijakan luar negeri suatu negara tidak hanya berperan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan internasional, namun juga berperan sebagai instrumen untuk mempertahankan legitimasi kebijakan dalam negeri. Dinamika perpolitikan dalam negeri suatu negara banyak dipengaruhi oleh institusi serta tata kelola global yang meliputi negara- negara lain. Sehingga, salah satu kompetensi yang diperlukan bagi pemimpin suatu negara yaitu kemampuan diplomasi. Revolusi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah mengubah tata kelola global, salah satunya dalam aspek diplomasi. Adesina (2017) menyatakan bahwa revolusi TIK ini mempermudah aktor-aktor negara maupun non negara dalam berpartisipasi dalam diplomasi digital. Menurut Manor & Segev (2015) dalam Adesina (2017), diplomasi digital merupakan penggunaan media sosial oleh aktor negara untuk mencapai tujuan kebijakan luar negerinya serta untuk mempertahankan reputasi dan kredibilitasnya di luar negeri. Lewis (2014) dalam Adesina (2017) mendefinisikan diplomasi digital sebagai penggunaan alat komunikasi digital oleh para diplomat untuk berkomunikasi dengan satu sama lain serta publik. Definisi Menurut Manor & Segev (2015) dan Lewis (2014) menekankan pada pendekatan aktor negara (state-centric) dalam kaitannya dengan diplomasi digital. Di sisi lain, Sotiriu (2015) dalam Adesina (2017) menyatakan bahwa diplomasi digital menyebabkan banyak aktor non negara dalam proses diplomasi digital, sehingga menciptakan dimensi hubungan dua arah antar aktor, antara lain masyarakat dengan media; masyarakat dengan pemerintah; pemerintah dengan media; pemerintah dengan aktor non-negara; penasihat pelayanan sipil dengan menteri; dan hubungan antar negara yang tergabung dalam suatu organisasi internasional.

Sebagai instrumen, media sosial berperan penting dalam penyebaran informasi, salah satunya terhadap penyebaran berita di mana masyarakat cenderung untuk mengakses berita melalui media sosial, alih-alih melalui media outlet seperti televisi, radio, majalah, dan surat kabar secara langsung. Hal ini dipengaruhi oleh trend, fleksibilitas, gengsi, serta kemudahan atas akses informasi tanpa harus membayar atau subscribe untuk membaca berita. Kemudahan akses atas informasi serta kebebasan untuk tidak hanya mengonsumsinya, namun juga menyebarkannya, membuat media sosial menjadi medium dengan pengguna terbanyak di era revolusi teknologi. Namun, inklusivitas media sosial juga membawa eksternalitas negatif. Perusahaan teknologi besar, salah satunya

Facebook, sekarang berganti nama menjadi Meta, merupakan salah satu platform dengan pengguna terbanyak di dunia, hingga 2.9 miliar pengguna per Oktober 2021 (Schechner & Horwitz, 2021). Dalam beberapa tahun terakhir hingga sekarang, Facebook telah terjerat skandal yang berkaitan erat dengan masalah privasi, keamanan data, disinformasi, hingga ekstremisme (Meisenzahl & Canales, 2021). Contohnya, Facebook gagal dalam memberantas disinformasi yang berkaitan dengan pemilihan presiden Amerika Serikat pada tahun 2016. Kemudian, terbongkar skandal lain pada tahun 2018 yang membuktikan bahwa Facebook bertanggungjawab atas penjualan data pribadi penggunanya kepada perusahaan data analytics bernama Cambridge Analytica untuk menargetkan iklan pada masa pilpres AS tahun 2016 dengan tujuan untuk memenangkan Presiden AS Donald Trump. Selain itu, Facebook juga bertanggungjawab atas penghasutan genosida pada etnis Muslim Rohingya yang dilakukan oleh junta militer Myanmar. Dalam disinformasi, Facebook sempat menolak tuntutan pertanggungjawaban atas fact- checking setiap konten yang dibagikan oleh politisi; serta menolak untuk menghapus konten yang dibagikan oleh Presiden AS Donald Trump yang mengandung penghasutan, dengan alasan bahwa Facebook memiliki ketentuan untuk membebaskan figur publik yang penting dari peraturan konten siber. Pada tahun 2020, mantan pegawai Facebook yang menjadi whistleblower, Sophie Zhang, menyatakan bahwa Facebook gagal dalam memberantas manipulasi politik yang dilakukan oleh pemerintah luar negeri (Meisenzahl & Canales, 2021).

Pembahasan

Buruknya kebijakan serta tata kelola perusahaan Facebook serta dampaknya terhadap dinamika politik dalam dan luar negeri membuktikan bahwa perusahaan teknologi merupakan satu dari banyak aktor non negara yang mempengaruhi kualitas dan reliabilitas diplomasi digital. Khususnya dalam propaganda politik, platform dengan pengguna terbanyak di dunia ini mampu mempengaruhi persepsi penggunanya terhadap suatu kebijakan politik atau luar negeri suatu negara. Di era globalisasi ini, diplomasi digital tidak hanya melibatkan aktor-aktor negara saja, namun juga masyarakat global secara keseluruhan. Ketegangan politik antar negara yang melibatkan perwakilan tiap negara untuk berdiskusi dalam penyelesaian suatu masalah lebih mudah untuk diatasi, khususnya ketika suatu permasalahan politik luar negeri hanya melibatkan dua atau lebih perwakilan negara, untuk bertemu, duduk bersama, serta bernegosiasi untuk mencapai jalan temu. Namun, suatu isu atau permasalahan yang melibatkan perhatian media serta publik secara keseluruhan dipengaruhi oleh persepsi atau opini publik terhadap suatu isu, yang kemudian agregat dari persepsi publik akan mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara terhadap negara lain.

Informasi sebagai Barang Publik dan Kaitannya dengan Disinformasi

Berangkat dari ini, determinan yang paling signifikan dari persepsi publik itu sendiri yaitu karakteristik isu atau permasalahan yang mereka coba untuk pahami, sehingga akurasi serta konsistensi informasi mengenai suatu isu menjadi hal yang sangat krusial dalam mempengaruhi persepsi publik. Ketika akurasi informasi menjadi variabel independen yang mempengaruhi persepsi publik terhadap suatu isu politik atau luar negeri, maka pada dasarnya individu atau kelompok yang menyebarkan informasi tersebut merupakan pihak yang bertanggungjawab atas akurasi informasinya. Namun, media sosial seperti Facebook tidak membatasi penggunanya untuk memiliki lebih dari satu akun, dan persyaratan untuk membuat akun Facebook sama sekali tidak mewajibkan penggunanya untuk membuktikan identitas aslinya melalui Kartu Tanda Penduduk atau Surat Izin Mengemudi, sehingga budaya anonimitas inilah yang menyebabkan banyak akun-akun palsu yang seringkali tidak dapat dipertanggungjawabkan atas konten- kontennya. Sehingga, terdapat hubungan dua arah dalam aspek akurasi informasi dalam media sosial, khususnya Facebook. Pertama, akurasi informasi berkaitan dengan pelaku yang mengunggah informasi tersebut. Ketidakbenaran informasi dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu misinformasi dan disinformasi. Misinformasi merupakan informasi yang tidak benar yang tersebar luas, namun penyebar informasi tidak berniat untuk mengelabui para pengguna lain. Artinya, penyebar informasi dapat dikatakan tidak mengetahui bahwa informasi tersebut tidak benar. Hal ini berkaitan erat dengan penerusan hoaks, di mana penyebar informasi merupakan korban dari pelaku yang menyebarkan disinformasi. Di sisi lain, disinformasi merupakan informasi yang tidak benar, yang disebarkan secara luas, dengan tujuan untuk mengelabui para pembaca. Hal ini berkaitan erat dengan propaganda.

Kedua, akurasi informasi serta disinformasi berkaitan erat dengan pengguna media sosial yang mengkonsumsi informasi tersebut. Pengguna media sosial sendiri dapat terdiri dari banyak kalangan, dari pejabat pemerintah dan akademia hingga para pembuat kebijakan dan masyarakat madani secara umum. Dalam kasus propaganda politik, disinformasi yang tersebar di media sosial memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap partisipasi politik masyarakat serta persepsi mereka terhadap suatu isu politik atau luar negeri, khususnya para akademia dan para kelompok kepentingan dan/atau advokasi yang melobi pemerintah dalam kaitannya dengan proses formulasi kebijakan luar negeri. Namun, terdapat hal yang sangat disayangkan dalam kasus propaganda politik, khususnya di media sosial. Pertama, Hillman (2009) menyatakan bahwa masyarakat memiliki

kecenderungan untuk menjadi free-rider ketika berhadapan dengan barang publik (public goods). Berangkat dari sini, informasi berupa berita juga dapat dikategorikan sebagai public goods di mana masyarakat cenderung untuk bergantung kepada satu atau beberapa sumber informasi untuk mengetahui suatu isu atau permasalahan, tanpa mencari tahu melalui research dan/atau fact-checking sendiri. Dengan begitu, masyarakat cenderung untuk terjebak dalam fenomena seperti apa yang dikatakan oleh Gladwell (2019) sebagai “default to truth” dengan mengasumsikan bahwa setiap informasi atau sumber yang mereka baca adalah jujur dan benar. Fenomena free-rider ini juga dapat diperburuk ketika terjadi informasi asimetri di mana masyarakat tidak memiliki informasi yang cukup untuk memahami suatu isu politik. Dalam hal ini, pemerintah seringkali berusaha untuk bersikap netral dan tidak memberikan keterangan atau klarifikasi; sehingga informasi asimetri ini menyebabkan masyarakat untuk mengkonstruksikan permasalahan tersebut berdasarkan asumsi-asumsi yang beredar di sosial media.

Inklusivitas, Transparansi, dan Akuntabilitas

Inklusivitas merupakan salah satu eksternalitas positif dari globalisasi itu sendiri. Dalam diplomasi digital, inklusivitas ini ditandai oleh banyaknya aktor yang terlibat dalam proses diplomasi. Dalam konteks demokrasi, hal ini merupakan tujuan dan akhir; yaitu tujuan untuk menciptakan output yaitu suatu kebijakan yang well-informed dan berdasarkan kepentingan negara dan publik; dan sebagai akhir daripada prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri, salah satunya kebebasan berbicara dan berekspresi. Namun, semakin banyak aktor yang terlibat juga dapat menyebabkan goal displacement jika hak atas akses informasi tidak diimbangi oleh kewajiban dan tanggung jawab hukum atas informasi tersebut. Tanggung jawab disini berkaitan dengan transparansi dan akuntabilitas, di mana hak atas penyebaran informasi perlu diimbangi oleh kewajiban untuk bertanggung jawab atas akurasi informasi tersebut. Namun, media sosial seperti Facebook tidak dapat menjamin transparansi dan akuntabilitas para penggunanya. Kemudahan setiap individu untuk membuat akun Facebook tanpa melewati proses verifikasi diri dengan Kartu Tanda Penduduk atau Surat Izin Mengemudi membuat platform tersebut tidak asing dengan budaya anonimitas. Anonimitas inilah yang menjadi hambatan bagi akuntabilitas, di mana semakin sulit untuk melacak pelaku penyebar disinformasi untuk dimintai pertanggungjawabannya.

Penghasutan dan Diaspora

Disinformasi berupa penghasutan, baik terhadap kelompok sosial, ras, etnis, atau agama tertentu, dapat menimbulkan diskriminasi interseksional. Hal ini, khususnya, mempengaruhi tingkat diskriminasi terhadap suatu kelompok diaspora, khususnya kelompok ras, etnis, dan agama tertentu. Di India, Facebook gagal dalam memberantas konspirasi teori yang berkaitan dengan sentimen Islamophobia bernama Love Jihad, yang menyatakan bahwa kaum lelaki Muslim mencoba untuk memulai perang agama dengan menikahi wanita Hindu dan menarik mereka untuk masuk agama Islam (Perrigo, 2021). Dalam hal ini, tentunya diskriminasi terhadap orang Muslim di India dapat mempengaruhi hubungan diplomatik antara India dengan Pakistan, khususnya pada Konflik Kashmir. Dalam dokumen internal perusahaan yang bocor, diketahui bahwa kegagalan Facebook dalam memberantas konspirasi teori tersebut disebabkan oleh partisan politik, di mana Facebook enggan untuk memblokir kelompok nasionalis Hindu karena mereka dekat atau terafiliasi dengan partai yang menguasai India, yaitu Bharatiya Janata Party (BJP). India sendiri merupakan pasar terbesar bagi Facebook, di mana pengguna Facebook di negara tersebut mencapai lebih dari 300 juta (Perrigo, 2021)

Kesimpulan

Diplomasi digital sebagai salah satu instrumen suatu negara dalam mencapai tujuan kebijakan luar negerinya memang telah menggeser pendekatan state-centric menjadi society-centric dalam diplomasi antar negara. Namun, kemudahan akses atas informasi serta kebebasan untuk menyebarkannya yang tidak diikuti dengan akurasi informasi mampu menghambat tercapainya kepentingan nasional maupun tujuan kebijakan luar negeri suatu negara. Hak prerogatif perusahaan teknologi yang mengatasnamakan kebebasan berpendapat dan berekspresi dalam konteks demokrasi tidak seharusnya menjadikan mereka bebas dari tanggung jawab hukum maupun moral atas implikasi yang ditimbulkannya. Sehingga, intervensi pemerintah- dalam salah satu kegagalan yang disebabkan oleh demokrasi- sangat diperlukan untuk menyeimbangi inklusivitas di era globalisasi dengan transparansi dan akuntabilitas.

Rekomendasi Kebijakan

Sama seperti kegagalan pasar yang disebabkan oleh mekanisme pasar bebas di mana intervensi pemerintah diperlukan untuk mencegah monopoli dan eksternalitas negatif; maka intervensi yang sama juga diperlukan untuk menanamkan tanggung jawab hukum kepada perusahaan teknologi yang telah menjadi medium yang paling signifikan dalam proses politik dan diplomasi digital. Dalam hal ini, Facebook perlu melakukan restrukturisasi perusahaannya, khususnya dalam tata kelola praktek bisnisnya. Merujuk kepada piramida Corporate Social Responsibility-nya Carroll, di mana suatu

perusahaan perlu memiliki keempat aspek tanggung jawab, antara lain tanggung jawab ekonomi yang diartikan sebagai tata kelola perusahaan yang berorientasi terhadap kepentingan para pemegang saham dan berorientasi terhadap keuntungan bisnis; tanggung jawab hukum yang diartikan sebagai kewajiban perusahaan untuk menaati peraturan perundang-undangan di mana perusahaan tersebut beroperasi; tanggung jawab etika yang berkaitan erat konformitas dengan nilai, norma, atau ekspektasi moral lingkungan sekitarnya; dan tanggung jawab filantropi atau yang dapat diartikan sebagai corporate citizenship. Dengan ini, ada dua rekomendasi kebijakan yang dapat diformulasikan antara lain:

1.    Membuat lembaga pengawasan independen untuk perusahaan Big Tech

Untuk memastikan bahwa kebijakan perusahaan patuh terhadap peraturan perundang-undangan di setiap yurisdiksi di mana Facebook beroperasi, perlu didirikan lembaga pengawasan khusus untuk Facebook dan perusahaan Big Tech lainnya. Hal ini khususnya berkaitan erat dengan kebijakan mengenai data pribadi pengguna. Sebagai salah satu sumber keuntungan terbesar bagi perusahaan, penjualan data pribadi pengguna Facebook perlu dilarang. Namun, hal ini hanya akan tercapai jika setiap negara di mana Facebook beroperasi memiliki peraturan perundang- undangan yang mengatur perlindungan data pribadi. Sehingga, setiap negara perlu memiliki undang-undangnya sendiri terkait dengan perlindungan data pribadi. Sedangkan untuk implementasi serta pengawasan praktek perusahaan di setiap negara, diperlukan delegasi kewenangan kepada lembaga independen dengan prinsip manajemen fleksibel serta regulasi yang spesifik.

2.    Menjadikan media outlet tertentu sebagai satu-satunya sumber berita untuk peristiwa tertentu

Untuk menghindari disinformasi mengenai peristiwa-peristiwa tertentu dengan implikasi sosial politik yang tinggi, seperti pemilihan presiden dan perang sipil; diperlukan konsistensi informasi dengan menjadikan media outlet tertentu sebagai satu-satunya sumber berita, seperti surat kabar, majalah, radio, dan televisi dengan editor dan produser yang memiliki tanggungjawab yang jelas. Hal ini dikarenakan platform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter, tidak mewajibkan penggunanya untuk memiliki akun sesuai dengan identitas asli, yang membuat rentannya terhadap penyebaran disinformasi. Namun, eksklusivitas terhadap beberapa media outlet ini perlu didukung oleh komitmen media-media tersebut untuk memberikan informasi tertentu secara gratis, tanpa mewajibkan pembacanya untuk subscribe.

Referensi:

Adesina, O. S. (2017). Foreign policy in an era of digital diplomacy. Cogent Social Sciences, 3(1). https://doi.org/10.1080/23311886.2017.1297175

Hillman, A. L. (2009). Public finance and public policy: Responsibilities and limitations of government (2nd ed.). New York: Cambridge University Press.

Meisenzahl, M., & Canales, K. (2021, November 3). The 16 biggest scandals Mark Zuckerberg faced over the last decade as he became one of the world’s most powerful people.  Business Insider. https://www.businessinsider.com/mark-zuckerberg-scandals-last-decade-while-running-facebook-2019-12?amp

Perrigo, B. (2021, November 1). Facebook let an Islamophobic conspiracy theory flourish in India despite employees’ warnings. Time. https://time.com/6112549/facebook-india-islamophobia-love-jihad/

Schechner, S., & Horwitz, J. (2021, Oktober 21). How many users does Facebook have? The company struggles to figure it out. The Wall Street Journal. https://www.wsj.com/amp/articles/how-many-users-does-facebook-have-the-company-struggles-to-figure-it-out-11634846701

Aulia Shifa is an Administrative Science student at Universitas Indonesia. She can be found on LinkedIn through linkedin.com/in/ashifahamida

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *