Duri dalam Kebijakan Pro-Imigran Kanada

0

Ilustrasi migrasi di Kanada. Foto: Getty Images

Selama setidaknya setengah dekade terakhir, Kanada telah menjadi negara Barat dengan reputasi pro-imigran dan multikulturalisme yang kuat. Reputasi ini tak datang dari klaim semata. Data dan angka telah membuktikan bahwa jumlah imigran dan keturunannya mencapai 1/4 penduduk Kanada selama 150 tahun terakhir. Bahkan, dalam suatu riset yang dilakukan pada September 2022, sebesar 58% warga negara Kanada menyatakan bahwa negara mereka butuh lebih banyak imigran. 

Persepsi positif Kanada dan warga negaranya mengenai imigran ini sekiranya dapat disebabkan oleh beberapa hal. Di antaranya, imigran dapat membantu Kanada dalam menyeimbangkan demografi antara populasi produktif dengan populasi lansia yang makin meningkat dan yang paling penting dapat pula menguatkan pertumbuhan ekonomi. 

Melihat adanya dampak positif tersebut, pada tahun 2017, pemerintahan Trudeau pun mengesahkan rencana ambisiusnya untuk menaikkan level imigrasi ke Kanada. Kebijakan ini dengan cepat mengeskalasi jumlah kedatangan imigran pertahunnya menjadi 40%. Pada tahun 2021 jumlah kedatangan imigran bahkan tercatat mencapai 405,330 jiwa, hampir dua kali lipat dari tahun 2017 yang hanya mencakup 286,480 orang. 

Angka ini mungkin terhitung besar bagi negara mana pun di dunia. Akan tetapi, Ottawa nampaknya masih kurang puas. Sebab, Trudeau menyatakan bahwa pada tahun 2025, Kanada dipersiapkan untuk menerima hingga 500.000 pendatang baru dalam satu tahun. Sementara itu dalam kurun waktu tiga tahun ke depan, pemerintahnya berencana mendatangkan cukup banyak orang Kanada baru  untuk menyamai seluruh populasi Manitoba (1,45 juta jiwa).

Namun di lapangan, Kanada sejatinya menghadapi masalah serius terkait dengan para imigran yang terus datang. Masalah ini di antaranya terkait dengan keterjangkauan rumah atau akses mendapatkan rumah dan keterbatasan pelayanan kesehatan.

Keterbatasan di Tanah Impian: Rumah dan Pelayanan Kesehatan

Di antara negara-negara G7, isu kerawanan perumahan di Kanada nyatanya menjadi yang paling parah. Fenomena yang sering disebut sebagai Canadian property buble ini menaikkan secara signifikan harga-harga rumah di Kanada hingga melejit jauh dari kemampuan warga untuk membelinya. Keadaan ini makin memburuk pada tahun 2021 di mana Kanada berada di urutan terakhir dalam peringkat harga rumah OECD dibandingkan dengan pendapatan rata-rata domestik. 

Dalam beberapa tahun seperti di antara tahun 2003-2018, kenaikan harga ini tak masuk akal–bahkan mencapai lebih dari 300% di beberapa kota. Hal ini tentu menimbulkan kecemasan para generasi muda Kanada serta kalangan menengah ke bawah yang selama ini rentan secara ekonomi. 

Selain keterbatasan perumahan, kekurangan infrastruktur dan pelayanan kesehatan juga membayangi Kanada. Dr. Alika Lafontaine, presiden Canadian Medical Association (CMA), menyatakan bahwa kini pelayanan kesehatan berada dalam kesulitan yang mengkhawatirkan karena adanya keterbatasan signifikan terkait perawatan berkualitas di beberapa bagian negara. Ia menambahkan, bahwa di beberapa tempat, kolaps bahkan telah terjadi dengan banyaknya pasien yang secara rutin meninggal di instalasi gawat darurat di Kanada. 

Menurut Lafontaine, masalah utama dari keterbatasan pelayanan kesehatan ini terletak pada ketidaktersediaan dokter dan perawat yang cukup di setiap fasilitas kesehatan yang ada. Sistem ketenagakerjaan yang ada saat ini di mana setiap provinsi memiliki regulasi perizinan prakteknya sendiri untuk tenaga medis pun menjadi penghalang.

Melihat kedua isu ini, para imigran tentu tidak dapat disalahkan akan kemunculannya. Masalahnya, hingga saat ini, pemerintah Kanada belum menunjukkan adanya rencana untuk menurunkan harga dan meningkatkan jumlah perumahan maupun memperbaiki sistem pelayanan kesehatannya. Oleh karena itu, target untuk mencapai penambahan warga Kanada sebanyak 500.000 jiwa, tanpa adanya perbaikan perumahan dan infrastruktur, tentu tidak menjadi suatu pilihan yang realistis.

Perjanjian AS-Kanada: Jalan Keluar Dilema?

Dihadapkan dengan dilema antara reputasinya yang pro-imigran dan masalah-masalah domestiknya yang kurang mendukung program peningkatan imigrasinya, Trudeau akhirnya mengambil langkah pada Jumat (24/03). Ia menyepakati perjanjian terkait migrasi dan pencari suaka baru dengan Presiden Joe Biden, dalam kunjungan Presiden Amerika Serikat itu ke Kanada minggu lalu. 

Perjanjian ini akan akan memberi kedua negara wewenang untuk menolak imigran dan pencari suaka yang menyeberang melalui titik penyeberangan tidak resmi di perbatasan bersama mereka. Imigran dan pencari suaka ilegal ini kemudian akan dikembalikan ke tempat asal penyeberangan mereka (jika ia menyeberang dari sisi AS akan dikembalikan ke AS dan sebaliknya). 

Kebijakan ini setelah 39.000 pencari suaka ditemukan menyeberang ke Quebec melewati jalur ilegal dari AS. Mayoritas dari para pencari suaka ini memanfaatkan jalur Roxham Road, jalan kecil di utara New York yang berakhir di perbatasan AS-Kanada.

Meskipun dalam perjanjian ini Kanada setuju untuk memberikan akses legal kepada 15.000 imigran dari Amerika Latin dan Tengah per tahunnya, namun para advokat imigran merasa bahwa perjanjian ini telah mempersempit mobilitas imigran dan pencari suaka di kawasan. 

Olah karena itu, perjanjian ini mungkin belum dapat menjadi jalan keluar dari dilema antara penambahan imigran dan masalah domestik yang kini dihadapi Kanada. Ke depannya, penting bagi Kanada untuk menentukan strategi jalan keluar yang tepat jika masih ingin mempertahankan reputasi baiknya sebagai negara pro-imigran, mengingat sebelumnya, Kanada juga pernah ditemukan telah mendeportasi atau menyuap orang untuk mendeportasi dirinya hingga 35 orang tercatat kembali ke tanah airnya per hari dari tahun 2006-2014.

Sekarini Wukirasih merupakan mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada dan salah satu anggota dalam tim penulis Kontekstual. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @skrsekar

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *