Timnas Israel U-20 Tidak Jadi Datang, Memang Ada Yang Berubah?

0

Ilustrasi trofi piala dunia. Foto: aseanfootball.org

Ajang perhelatan Piala Dunia U-20 di Indonesia seharusnya merupakan kebanggaan bukan hanya bagi masyarakat Indonesia tapi juga bagi imej dan citra diplomatis Indonesia di mata dunia. Setelah berhasil menyelenggarakan Asian Games 2018 dan menjadi host untuk G20 2022 di Bali, Indonesia kembali memiliki kesempatan untuk menjadi host ajang olahraga internasional besar lainnya.

Namun, rasa bangga ini harus tertutupi dengan munculnya penolakan dari berbagai kalangan di Indonesia terhadap kedatangan salah satu tim. Tim U-20 Israel merupakan salah satu tim yang lolos kualifikasi melalui kualifikasi Piala Dunia U-20 wilayah Eropa. Rencana kedatangan Timnas U-20 Israel ke Indonesia menimbulkan banyak pertentangan berbagai pihak di Indonesia. 

Pada tanggal 20 Maret 2023, berlangsung protes yang didukung oleh kelompok Islam konservatif menolak kedatangan Timnas U-20 Israel. Protes ini didukung oleh ormas-ormas Islam seperti Persaudaraan 212 dan FPI. Selain dari Ormas Islam, penolakan kedatangan Timnas Israel juga didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketua MUI Sudarnoto Abdul Hakim menyatakan pada tanggal 18 Maret 2023 bahwa berdasarkan pertemuan dengan ormas-ormas Islam, mereka secara tegas menolak kedatangan Timnas Israel.

Akan tetapi, kelompok Islam konservatif ini tidak sendiri, penolakan juga datang dari tokoh politik Indonesia yang notabene berasal dari tradisi yang lebih nasionalis. Politisi PDI-P yang juga Gubernur Bali, yakni I Wayan Koster dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menolak kedatangan Timnas Israel ke kedua wilayah mereka. Hal ini menjadi signifikan karena Bali dan Jawa Tengah juga merupakan wilayah yang akan menjadi tempat perhelatan kejuaraan Piala Dunia U-20. Gubernur I Wayan Koster berargumen melalui suratnya bahwa penolakan kedatangan Timnas Israel berdasarkan kebijakan politik Israel terhadap Palestina dan ketiadaan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Israel.

Perlu dicatat bahwa terdapat tokoh-tokoh Indonesia yang tidak mempermasalahkan kedatangan Timnas Israel. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf pada tanggal 24 Maret 2023 tidak mempermasalahkan kedatangan Timnas Israel karena belum tentu memiliki efek negatif ke Palestina. Yahya juga menyatakan bahwa upaya membela Palestina hendaknya tidak hanya dilakukan dengan meneriakkan protes, tetapi juga memikirkan langkah tindak lanjut dan solusi atas persoalan yang terjadi di Palestina.

Penolakan ini akhirnya berujung kepada dicabutnya Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 oleh FIFA pada tanggal 29 Maret 2023. Disadur dari halaman resmi FIFA, FIFA mencabut hak tuan rumah Indonesia dua bulan sebelum pertandingan dimulai. Secara resmi, FIFA mengutip tragedi Kanjuruhan di bulan Oktober 2022 sebagai alasan utamanya. Akan tetapi, rasanya tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya penolakan di kalangan masyarakat Indonesia menjadi faktor yang menentukan. Tidak pernah ada di sejarah FIFA, tuan rumah Piala Dunia bergeser hanya dalam dua bulan sebelum pertandingan dimulai, menjadi noda hitam tambahan yang memalukan bagi Indonesia terutama setelah tragedi Kanjuruhan.

Israel Tidak Datang? Tidak Ada Yang Berubah

Lantas, keberhasilan kelompok yang menolak kedatangan Timnas Israel, apa yang sebenarnya berhasil dicapai bagi rakyat Palestina? Perlu diketahui bahwa Dubes Palestina untuk Indonesia, Zuhair Al-Shun sudah menyatakan bahwa mereka tidak memiliki masalah dengan kedatangan Timnas Israel. 

Duta Besar Zuhair menyatakan bahwa, “Timnas Israel melalui cara yang sah dan sesuai aturan sehingga berhak penuh untuk berlaga.” Dubes Zuhair juga telah menyatakan bahwa Indonesia secara historis telah gigih memperjuangkan hak-hak rakyat Palestina sehingga tidak masalah menjadi tuan rumah untuk Timnas Israel. Dengan Dubes Palestina untuk Indonesia tidak mempermasalahkan, harusnya tidak ada masalah bagi Indonesia untuk menerima Timnas Israel bukan? Ternyata tidak dan masih banyak orang yang merasa lebih paham dari Dubes Palestina mengenai kondisi di Palestina.

Melalui pernyataan dari FIFA, nasi telah menjadi bubur dan Timnas Israel memang tidak akan datang ke Indonesia. Walaupun Presiden Jokowi menyatakan garansi untuk penyelenggaraan acara dan keamanan tim Israel, faktanya adalah acara ini sudah batal. Kelompok yang menolak pun mungkin dapat dikatakan berhasil mencapai tujuan mereka.

Untuk mencapai hal ini, tidak banyak yang dikorbankan untuk menolak kedatangan Timnas Israel. Yang dikorbankan tidak hanya cita-cita dan mimpi Timnas U-20 Indonesia, tetapi juga publik Indonesia yang berupaya untuk bergerak maju dari Tragedi Kanjuruhan. Begitu pula dengan dana dan persiapan infrastruktur yang telah dilakukan oleh panitia penyelenggara yang sudah mencapai ratusan miliar, jika bukan triliunan rupiah. Pekerjaan dan persiapan yang telah mereka lakukan selama ini terbuang sia-sia. Begitu pula dengan potensi pendapatan ekonomi bagi masyarakat Indonesia bukan hanya di wilayah host, tetapi juga seluruh wilayah Indonesia, hilang sekejap mata.

Berkaca dari hal diatas, apa pembelajaran yang bisa kita dapatkan? Memang mudah untuk menolak Israel entah karena alasan prinsip, alasan keagamaan atau hal yang lain. Berkaca dari salah satu opini yang menyebut Jokowi tidak seberani Soekarno, apakah Ia masih akan menyebut hal yang sama? Idealisme memang mudah dan manis, terutama ketika melihat ke masa lampau. Namun, masa lampau tidak seharusnya mendikte masa kini.

Dari sedikitnya hal yang dikorbankan, apa perubahan yang berhasil dicapai oleh kelompok-kelompok ini? Sekedar Timnas Israel tidak jadi datang ke Indonesia, tetapi mereka masih akan bermain di Piala Dunia U-20 di negara lain yang akan menggantikan Indonesia.

Sementara itu, Timnas U-20 Indonesia yang hanya mampu bermain karena Indonesia merupakan tuan rumah harus menelan pil pahit dan hanya bisa menonton dari rumah masing-masing. Pendudukan Israel di Palestina juga tidak berubah, masih dengan status quo yang sama, bahkan memburuk dibawah pemerintahan Israel yang paling sayap kanan dalam sejarah. 

Satu-satunya perubahan signifikan yang terjadi adalah perubahan buruk bagi Indonesia dalam ajang sepak bola internasional, yang kini masih dibayangi oleh sanksi lebih lanjut dari FIFA. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, demikianlah sepak bola Indonesia.

Muhammad Rifqi Daneswara adalah alumni Hubungan Internasional Universitas Indonesia. Dapat ditemukan di Instagram dengan nama pengguna @mdaneswara

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *