Hak Angket Kecurangan Pemilu: Strategi Tidak Jelas dalam Minim Tenggat Waktu

0

Demonstrasi kecurangan Pemilu. Foto: Hafidz Mubarak/Antara

Indonesia telah menggelar Pemilihan Umum (Pemilu) serentak untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, Anggota DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pemilu yang dilaksanakan pada Rabu (14/2) lalu itu dinilai sebagai pemilu dalam sehari yang paling rumit dan terbesar di dunia. Tak heran, jika semua mata dunia tertuju pada Indonesia untuk melihat bagaimana demokrasi dijalankan dan siapa yang akan menjadi pemenangnya.

Meski hasil hitung resmi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan diumumkan pada Maret nanti, tetapi hasil hitung cepat dari semua lembaga survei menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran menang telak. Pasangan nomor urut 2 itu memimpin dengan perolehan suara di atas 55%, disusul Anies-Muhaimin mendapat suara sekitar 25% dan Ganjar-Mahfud rata-rata masih di bawah 20%. Perhitungan cepat dari sejumlah lembaga survei itu juga sejalan dengan hitungan dari KPU (real count) per Selasa (27/2) dengan suara masuk 77,46%, Prabowo-Gibran mendapat 58,84%, Anies-Muhaimin 24,46%, dan Ganjar-Mahfud 16,7%. Keunggulan Prabowo-Gibran dengan margin besar itu telah mematahkan prediksi bahwa Pilpres akan digelar dua putaran.

Namun, kemenangan Prabowo-Gibran ini dibangun atas banyak kontroversi seputar penyelenggaraan Pemilu. Mulai dari sejak putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 yang dinilai memuluskan proses pencalonan Gibran sebagai wapres, adanya dugaan cawe-cawe Presiden bersama sejumlah pejabat negara yang aktif berkampanye hingga tuduhan kecurangan saat dan setelah pemilihan. Dengan contoh-contoh mobilisasi negara tersebut dan kemenangan satu putaran yang tidak terduga, terdapat banyak kecurigaan bahwa Pemilu telah berlangsung secara tidak adil.

Berbagai upaya kemudian dilakukan untuk mengungkap dugaan tersebut, termasuk yang paling baru melalui jalur hak angket di DPR. Ganjar Pranowo memulai wacana penggunaan hak interpelasi maupun angket DPR tersebut untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu. Usulan itu juga disambut baik oleh calon presiden nomor urut satu Anies Baswedan. Lantas, apakah langkah ini cukup tepat dan realistis untuk bisa terwujud? 

Soliditas Partai Dipertanyakan Di Tengah Waktu yang Terbatas

Hak interpelasi maupun angket merupakan bentuk pelaksanaan fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif. Hak interpelasi dilakukan dengan meminta keterangan pertanggungjawaban dari pemerintah atas kebijakan yang strategis serta memiliki dampak luas bagi masyarakat. Apabila keterangan pemerintah ditolak, DPR bisa mengajukan hak angket untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai bertentangan dengan undang-undang tersebut. Pengusulan hak interpelasi dan angket ini minimal bisa diajukan oleh 25 anggota yang berasal dari lebih dari satu fraksi. Usulan itu harus disetujui dalam Rapat Paripurna yang dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota dan diputuskan oleh lebih dari jumlah anggota yang hadir dalam rapat. Jika semua syarat terpenuhi, DPR akan membentuk panitia angket yang terdiri dari semua fraksi dan apabila terbukti terdapat pelanggaran hukum terhadap undang-undang bisa berujung pada pemakzulan.

Jika melihat pada peta politik hari ini, maka peluang mengusulkan hak interpelasi dan angket ini memang terbuka lebar. Pasalnya, partai politik pendukung hak angket lebih besar dibanding partai-partai yang menolaknya. Partai pendukung Ganjar-Mahfud (PDIP memiliki 128 kursi dan PPP sebanyak 19 kursi) dan Anies-Muhaimin (Nasdem memiliki 59 kursi, PKB 58 kursi dan PKS 50 kursi), jika digabung menjadi 314 kursi atau 51,3% dari jumlah total 575 kursi di parlemen. Sedangkan, partai pengusung Prabowo-Gibran hanya memiliki total 261 kursi (Gerindra 78 kursi, Golkar 85 kursi, PAN 44 kursi, Demokrat 54 kursi). Jalur politik ini dianggap lebih menguntungkan dan lebih mungkin bisa terwujud bagi pihak-pihak yang merasa dicurangi. 

Akan tetapi, dinamika politik yang terjadi justru mempertanyakan apakah partai-partai dari pendukung paslon 01 dan 03 itu benar-benar solid. Sejauh ini, PPP belum menyatakan sikap secara tegas dan PDIP yang diharapkan menjadi pioner gerakan juga tak kunjung memimpin pengguliran hak angket. Belum lagi, Nasdem dan PKB yang memiliki tradisi bergabung ke pemerintahan akan sangat berdampak pada peta kekuatan di parlemen antara pendukung hak angket dan yang menolaknya. Hal itu juga sejalan dengan survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis pada Minggu (24/2) menunjukkan 47% pendukung PKB dan 53% pendukung Nasdem memilih Prabowo-Gibran. Survei exit poll Litbang Kompas pada Rabu (14/2) di Harian Kompas edisi Jumat (16/2) juga menunjukkan hal yang senada, hanya 36,6% pendukung PKB dan 49,2% pendukung Nasdem memilih Anies-Muhaimin. Bahkan, hanya 32,2% pendukung PPP mendukung Ganjar-Mahfud, justru sebanyak 47% memilih Prabowo-Gibran. Sekalipun hak angket ini berjalan, tentu dibutuhkan proses panjang mengingat keharusan untuk transisi pemerintahan yang semakin dekat.

Tujuan, Sasaran, dan Hasil Yang Tidak Jelas

Strategi politik melalui hak angket perlu tujuan, sasaran, dan hasil yang jelas. Penggunaan hak angket ini kurang tepat sasaran jika tujuannya ingin menyelidiki pelanggaran Pemilu berupa kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Di dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu maupun KPU memiliki peran untuk menyelidiki dan menindaklanjuti adanya dugaan pelanggaran pemilu.

Apabila hasil yang diinginkan dari pengajuan hak angket ingin membatalkan hasil pemilu, usulan tersebut juga kurang tepat karena bukan ranah dari DPR untuk melakukan itu tetapi Mahkamah Konstitusi (MK) lah yang berhak memutus sengketa hasil pemilu sesuai dengan UU Pemilu. MK bisa memerintahkan koreksi hasil pemilu jika memang terbukti ada kesalahan tapi apakah hal itu bisa mengubah jumlah suara dengan signifikan mengingat besarnya selisih suara dari Prabowo-Gibran. Sekalipun hak angket ini bisa berjalan hingga usai, hasil keputusan dari DPR itu tidak akan bisa mengubah keputusan dari KPU, Bawaslu, maupun MK.

Apabila hak angket ini ingin memberikan kejelasan terhadap narasi yang berkembang bahwa pemerintah tidak netral dan ikut cawe-cawe memenangkan Prabowo-Gibran sehingga pemilu 2024 ini tidak bisa dipercaya oleh masyarakat. Maka, asumsi itu juga perlu dipertanyakan. Pasalnya, mayoritas masyarakat justru menilai pemilu telah berjalan baik. Hal itu dapat dilihat dari temuan survei LSI yang dilakukan pada 19-21 Februari lalu bahwa sebanyak 60,5 persen masyarakat tidak percaya bahwa terjadi banyak kecurangan di pemilu 2024 serta sebanyak 76,4 persen masyarakat menilai pemilihan berlangsung jujur dan adil. Survei dari Indikator Politik yang dirilis pada Rabu (28/2) juga menunjukkan sebesar 56,3 persen masyarakat cukup puas dan 25,7 persen menyatakan sangat puas terhadap penyelenggaraan pemilu. Sedangkan, hanya 8,3 persen masyarakat menilai kurang puas dan 6,3 persen berpendapat sangat tidak puas atas pemilu 2024. Barangkali isu kecurangan pemilu ini memang berkelindan pada kelompok elit saja dan kurang relevan dengan mayoritas masyarakat yang saat ini lebih bersusah payah menghadapi kondisi buruk ekonomi akibat kenaikan harga beras.

Hak angket adalah ekspresi politik yang valid dan mungkin mewakili keresahan banyak orang terkait penyelenggaraan Pemilu 2024. Dengan keraguan atas institusi peradilan dan penyelenggara Pemilu, DPR menjadi jalan terakhir dari frustasi politik ini. Akan tetapi, nampaknya langkah tersebut tidak memiliki tujuan yang terdefinisikan secara jelas, selain sebagai ekspresi frustasi realistis untuk diwujudkan selain karena faktor peta kekuatan parlemen dan keterbatasan waktu, tujuan serta hasil yang diharapkan juga tidak cukup jelas.

Ilham Bagus Prasetyo merupakan lulusan sarjana Ilmu Hubungan Internasional Universitas Jember. Ilham dapat ditemui di Instagram dengan nama pengguna @ilhammbagus.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *